Humor ini awalnya berjudul "Jangan Pernah Menentang dan Menantang Sesepuh", nggak jadi. Lalu diubah Jijay menjadi "Jangan Pernah Menentang dan Menantang Tetua", nggak jadi jugak.
Kok bisa Jijay nggak jadi ngasih judul seperti di atas. Ada sebabnya dan bisa dibuktikan dengan logika bahasa. Â
Jijay coba ngetik "sepuh" dan nyari arti kata "sepuh" di KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), lha kok artinya mengerikan. Sebab KBBI mengartikan kata "sepuh" sebagai "cara mengeraskan sabit, pisau dan sebagainya dengan membakar lalu mencelupkannya ke dalam air".
Aih, jadi teringat sesepuh Gang Sapi dan Lebakwana. Semoga yang empunya memaklumi makna dan manfaatnya.
Ganti ngetik "tetua" dan kembali nyari artinya di KBBI. Lha kok oleh KBBI diartikan "bintik-bintik hitam pada kulit muka (pipi)".
Waduh, kagak berani mengaitkan dengan mpok-mpok penghuni Gang Sapi. Sebabnya, mereka bisa salah mengartikan dan atau menafsirkan.Â
Suer, bisa habis tomat sepekarangan yang sudah matang bergelantungan buat lempar sasaran. Apalagi mereka sudah terlatih sejak Engkong membangun kandang.
Padahal, sekali lagi padahal. Pinginnya cari arti sepuh dan tetua terkait dengan orang yang dituakan dan atau disepuhkan di suatu tempat, daerah dan atau wilayah. Bisa pula sebatas Gang Sapi dan sebelah.
Sebenarnya Jijay pengen sekali pakai kata "sesepuh" atau "tetua" di judul agar masyarakat lebih paham. Juga kesannya lebih menghargai yang ditokohkan. Maklumlah, Jijay seringkali mendengar sambutan acara di masyarakat yang menyebut "para sesepuh' atau "para tetua".Â
Lha nyatanya, kalau kata "sepuh" di KBBI diartikan seperti di atas, jika dipaksakan ke judul, maka akan dapat diartikan "jangan pernah menentang dan menantang para pengeras sabit, pisau dan sebagainya".