Mohon tunggu...
ARHIEF ER. SHALEH
ARHIEF ER. SHALEH Mohon Tunggu... Guru - SSM

Menyenangi Sepi dan Gaduh

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Gara-Gara Orangtua Siswa Berutang, Guru Menangis!

29 Juni 2022   19:42 Diperbarui: 29 Juni 2022   19:57 603
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi menangis. Sumber: Susan Cipriano on pixabay.com

Gara-gara orang tua siswa berhutang, seorang guru menangis. Betulkah? Sangat betul dan pengalaman nyata yang pernah dialami seorang guru.

Tetapi, sebelum mengungkap lebih jauh mengapa guru sampai menangis, ada beberapa kenangan manis yang perlu diuraikan. Menyangkut hal pemberian yang mungkin "terpaksa" diterima guru.

Pekerjaan guru adalah profesi. Bidang pekerjaan yang dilandasi keterampilan untuk mengajar. Dilakukan dengan perencanaan, pelaksanaan, hingga penilaian yang terstruktur dan sistemik.

Lebih dari sekedar mengajar (transfer of knowledge), di pundak guru terdapat tanggung jawab besar untuk mendidik (transfer of value). Sehingga dunia persekolahan lebih identik dengan dunia pendidikan, bukan dunia pengajaran.

Tanggung jawab guru semakin luas, manakala harus mengajar dan mendidik anak-anak titipan orang tua. Bukan hanya satu atau dua anak, tetapi puluhan, dan bahkan ratusan.

Di mata anak-anak dan para orang tua, guru dianggap serba bisa dan menjadi teladan. Sehingga pada diri guru melekat peribahasa "Guru Kencing Berdiri, Murid Kencing Berlari". Pada titik inilah tanggung jawab guru sebagai teladan dipertaruhkan.

Bisa jadi, guru di mata para siswa dan orang tua dianggap serba bisa dan serba baik tingkah lakunya. Guru dianggap serba tahu dan serba benar tentang apa yang dilakukannya. Baik di lingkungan sekolah maupun di lingkungan masyarakat luas.

Stempel guru serba bisa dan patut diteladani berimplikasi pada penghormatan anak dan orang tua pada sosok guru. Terkadang memberikan sesuatu berharga dan tak terduga.

Pernah guru mendapatkan hadiah istimewa dari anak-anak didiknya. Berupa kue tart yang dihadirkan secara tiba-tiba di ruang kelas bertepatan saat hari lahir guru. Memberi kesan yang tak kan pernah lupa sepanjang hidup.

Pernah pula guru yang rangkap sebagai wali kelas didatangi 4 orang tua siswa. Hanya ibu-ibu tanpa didampingi bapak-bapak. Kedatangan mereka meminta supaya anaknya "naik kelas". Permintaan mereka didasarkan ramainya gunjingan teman di sekolah bahwa 4 anak mereka yang satu geng (kelompok remaja) tidak naik kelas.

Tentu guru tidak bisa memutuskan. Sebab keputusan naik kelas dan lulus harus melalui rapat sekolah. Melibatkan kepala sekolah, kepala urusan, wali kelas, dan semua guru yang ada.

Setelah memberi pemahaman untuk tidak terpengaruh gunjingan, para ibu pamit. Nah, pada saat pamit inilah masing-masing ibu menyerahkan bungkusan yang katanya sekedar buah tangan.

Jelas saja guru menolak dengan halus. Sebab kewajiban guru untuk mendampingi anak sudah dibayar pemerintah dan atau pihak yang berkepentingan.

Lantas, pada saat apa seorang guru menangis? Ada satu yang paling berkesan kisahnya meskipun ada banyak kesan lain yang membuat guru harus setidaknya meneteskan air mata.

Apakah karena guru memiliki sifat cengeng? Sama sekali tidak. Keadaan yang memaksa guru dan terpaksa air mata terkadang tanpa sadar turun menyapa bumi nusantara.

Pernah guru berkunjung ke rumah seorang siswa (home visit), disebab siswa sudah 4 hari tidak masuk tanpa keterangan. Jalanan berbatu yang naik turun melewati sungai mengering disebab kemarau panjang dilewati menuju rumah siswa.

Sawah dan lahan kebun terlihat gersang. Hanya tersisa pohon jati rakyat yang mulai meranggas. Lingkungan sepi dari aktivitas laki-laki karena banyak yang bekerja ke luar daerah atau ke kota. Mengais rezeki lewat kerja sebagai buruh bangunan dan pekerjaan sebagai buruh lainnya.

Setiba di rumah siswa, hanya ditemui seorang ibu yang menggendong bayi perempuan umur sekitar sekian bulan. Sedangkan siswa yang dicari sedang tidur beralaskan tikar dan bantal kumuh di lincak (tempat tidur terbuat dari bambu).

Usut punya usut, siswa yang didatangi sudah 3 hari sakit demam dan tidak mau makan. Hanya diberi obat dari warung sebelah. Mau dibawa ke puskesmas tidak ada yang mengantar, sedangkan ongkos ojek orang tua tidak punya.

Guru cukup lama menemani siswa, sebab orang tua pamit ke belakang dan juga cukup lama tidak muncul di ruang tamu. Setelah hampir setengah jam, ibu siswa muncul dengan hidangan makan sederhana.

Betul, hidangan makan siang sederhana. Hanya berupa nasi, krupuk, sambal terasi, dan telur dadar. Sedemikian memaksa si ibu yang tidak mampu ditolak guru.

Selepas makan, guru pamit sebentar ke belakang. Bukan ingin buang hajat kecil, hanya ingin mencari informasi lebih lanjut tentang keluarga siswa ke tetangga yang ada.

Kebetulan di belakang rumah siswa ada warung kelontong. Warung yang menyediakan kebutuhan sehari-hari khas desa atau daerah terpencil.

Guru menanyakan seputar keadaan ekonomi keluarga siswa. Didapat data memang dari keluarga kurang mampu. Bahkan untuk kebutuhan makan sering berhutang ke warung kelontong. Termasuk baru saja berhutang 3 butir telur ayam, 4 bungkus krupuk, dan sebungkus minyak goreng curah.

Secepatnya guru menanyakan semua hutang orang tua siswa. Total sekitar 100 ribu rupiah lebih sedikit. Langsung oleh guru dilunasi dan berpesan untuk tidak ditagih lagi.

Selepas dari warung kelontong, guru berhenti sejenak di belakang rumah siswa. Di titik inilah, sembari memandang rumah siswa yang mulai kumuh, air mata guru tiba-tiba menetes ke bumi nusantara tercinta.

Itu saja kisahnya. Tentu ada banyak kisah lain yang lebih memilukan. Cerita yang masih tersembunyi di daerah-daerah terpencil, terisolir, dan terdepan yang juga dialami guru-guru hebat lainnya.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun