Tentu guru tidak bisa memutuskan. Sebab keputusan naik kelas dan lulus harus melalui rapat sekolah. Melibatkan kepala sekolah, kepala urusan, wali kelas, dan semua guru yang ada.
Setelah memberi pemahaman untuk tidak terpengaruh gunjingan, para ibu pamit. Nah, pada saat pamit inilah masing-masing ibu menyerahkan bungkusan yang katanya sekedar buah tangan.
Jelas saja guru menolak dengan halus. Sebab kewajiban guru untuk mendampingi anak sudah dibayar pemerintah dan atau pihak yang berkepentingan.
Lantas, pada saat apa seorang guru menangis? Ada satu yang paling berkesan kisahnya meskipun ada banyak kesan lain yang membuat guru harus setidaknya meneteskan air mata.
Apakah karena guru memiliki sifat cengeng? Sama sekali tidak. Keadaan yang memaksa guru dan terpaksa air mata terkadang tanpa sadar turun menyapa bumi nusantara.
Pernah guru berkunjung ke rumah seorang siswa (home visit), disebab siswa sudah 4 hari tidak masuk tanpa keterangan. Jalanan berbatu yang naik turun melewati sungai mengering disebab kemarau panjang dilewati menuju rumah siswa.
Sawah dan lahan kebun terlihat gersang. Hanya tersisa pohon jati rakyat yang mulai meranggas. Lingkungan sepi dari aktivitas laki-laki karena banyak yang bekerja ke luar daerah atau ke kota. Mengais rezeki lewat kerja sebagai buruh bangunan dan pekerjaan sebagai buruh lainnya.
Setiba di rumah siswa, hanya ditemui seorang ibu yang menggendong bayi perempuan umur sekitar sekian bulan. Sedangkan siswa yang dicari sedang tidur beralaskan tikar dan bantal kumuh di lincak (tempat tidur terbuat dari bambu).
Usut punya usut, siswa yang didatangi sudah 3 hari sakit demam dan tidak mau makan. Hanya diberi obat dari warung sebelah. Mau dibawa ke puskesmas tidak ada yang mengantar, sedangkan ongkos ojek orang tua tidak punya.
Guru cukup lama menemani siswa, sebab orang tua pamit ke belakang dan juga cukup lama tidak muncul di ruang tamu. Setelah hampir setengah jam, ibu siswa muncul dengan hidangan makan sederhana.
Betul, hidangan makan siang sederhana. Hanya berupa nasi, krupuk, sambal terasi, dan telur dadar. Sedemikian memaksa si ibu yang tidak mampu ditolak guru.