Ahaaa, menjelang sore hujan deras mulai reda di sebagian wilayah Jakarta. Angin semilir menambah sejuk udara. Pos ronda Gang Sapi nan legendaris tak lagi sepi dari senda gurau para penghuninya.
Kicau burung-burung emprit menambah seru suasana. Beterbangan dari pohon ke pohon glodokan tiang yang berjejer rapi sepanjang jalan. Pepohonan tegak ideal serupa tentara nan khidmat mengikuti upacara kemiliteran.
Begitupun nyanyian kodok dan suara mengeong kucing-kucing yang sedang kasmaran. Menambah riuh rendah suara-suara alam nan kembali tersenyum menyapa.
***
"Hiks." Jijay tetiba bersuara aneh dan lirih. Aneh sebab alam sedang bersenandung gembira, Jijay justru menelurkan suara duka yang tersendat.
"Kenapa, Jay? Kamu terlihat sedih." Ibud menyahut sekenanya sembari menelisik muka Jijay nan seakan lempai.
"Bukan sedih. Aku terhura." Singkat Jijay menimpali.
Ibud, Inot, dan Idur mengernyitkan dahi. Sedangkan Iwur dan Ardni asyik bermain dengan gawainya, cuek bebek pada keadaan yang menimpa si Jijay.
"Maksudmu terharu karena bahagia, Jay?" Tanya Idur menebak sembari memperdalam kernyitan dahinya. Membentuk padanan garis-garis bukit dan ngarai yang putus nyambung sekenanya.Â
"Ya iyalah. Masak kagak ngerti bahasa anak zaman now!" Jawab Jijay mantap.