Banyaknya produsen tahu dan tempe yang gulung tikar tentu menimbulkan kelangkaan tahu dan tempe di pasaran. Akibatnya, Â banyak pedagang gorengan dan varian produk berbahan tahu maupun tempe yang ikut gulung tikar. Inilah efek domino yang terkadang tidak terpikirkan.Â
Bagaimanapun, tahu dan tempe sudah sangat merakyat. Di Indonesia, tahu mengalami indigenisasi (pengalihrupaan). Makanan yang asalnya dari Cina ini muncul dalam berbagai varian.
Tahu kuning di Kediri menjadi makanan khas yang dikenal dengan sebutan "tahu takwa". Tahu Sumedang sangat ikonik dengan Kota Sumedang yang dikenal sebagai "Kota Tahu". Berkat usaha tahu yang dirintis sebuah keluarga Tionghoa ratusan tahun lalu.
Begitu populernya tahu dan tempe, menjadi bagian tak terpisahkan yang ditemui di tempat makan berbagai tingkat sosial di Indonesia.
Aneka makanan berbahan tahu antara lain tahu bakso, tahu bacem, tahu isi, perkedel tahu, hingga tahu krispi. Begitupun varian berbahan tempe dari tempe penyet hingga burger tempe, jelas bikin "ngiler dan ngangeni".
Tentu makanan merakyat berbahan tahu dan tempe sangat disayangkan jika tidak ditemukan gara-gara harga kedelai naik. Menjadi pemikiran bersama untuk menstabilkan harga kedelai dan menjaga kualitasnya.
Kementerian pertanian hendaknya mampu segera mewujudkan swasembada kedelai. Sehingga pasokan dalam negeri untuk produksi tahu dan tempe tidak bergantung pada produk impor yang harganya fluktuatif. Cenderung merugikan para produsen maupun konsumen.
Harga dan pasokan kedelai berkualitas yang stabil, jelas berpengaruh terhadap ketahanan produsen tahu dan tempe maupun daya beli konsumen. Hanya dengan jalan swasembada kedelai sangat memungkinkan untuk bisa segera diwujudkan. Semoga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H