Mohon tunggu...
ARHIEF ER. SHALEH
ARHIEF ER. SHALEH Mohon Tunggu... Guru - SSM

Menyenangi Sepi dan Gaduh

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Harga Kedelai Naik, Hati-hati Efek Domino Tahu dan Tempe

22 Februari 2022   20:41 Diperbarui: 25 Februari 2022   04:16 661
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi tahu goreng krispi. Sumber: gianyasa on pixabay.com

Harga kedelai naik lagi. Produk pertanian ini sangat dibutuhkan oleh produsen tahu dan tempe, jenis makanan yang hadir di meja makan untuk mensubstitusi daging dan ikan. Bahkan menjadi kudapan favorit berbagai lapisan masyarakat di Indonesia.

Naiknya harga kedelai seperti peristiwa musiman. Datang secara tiba-tiba yang diikuti alibi ketergantungan situasi global. Sebab kebutuhan kedelai di Indonesia masih menggantungkan dari produk impor.

Alhasil, produsen tahu dan tempe menjerit. Bahkan berniat menghentikan sementara untuk memproduksi tahu dan tempe. Jalan pintas sebagai bentuk protes sosial yang disebabkan kebuntuan logika berbisnis dan jelas akan menimbulkan efek domino.

Kebuntuan logika bisnis tahu dan tempe akibat naiknya harga kedelai sangat terkait dengan biaya produksi yang meningkat. Sedangkan di sisi lain, menggerus keuntungan yang akan didapat. Bertolak belakang dengan tujuan bisnis secara umum.

Contoh logis produksi tahu, dalam 1 kotak (cetak tahu ukuran standar sebelum diiris) membutuhkan 2 kg kedelai. Jika harga 1 kg kedelai 8.000 rupiah/kg naik menjadi 11.000 rupiah/kg, maka dalam 10 kotak terjadi kenaikan biaya produksi 60.000 rupiah.

Jika harga jual dan volume tetap sedangkan biaya produksi jelas membengkak, maka keuntungan 60.000 rupiah/hari menguap. Jika sebulan, maka keuntungan 1.800.000 rupiah menguap. Kalau 20 kotak/hari, maka keuntungan 3.600.000 rupiah menguap.

Tingginya biaya produksi tentu harus disiasati oleh para produsen tahu dan tempe. Para produsen terpaksa mengakali dengan dua pilihan sama sulit.

Pilihan pertama, menambah irisan atau mengurangi ketebalan volume tahu dan tempe. Siasat ini dapat mengurangi minat pembeli atau konsumen. Apalagi pedagang varian olahan tahu dan tempe seperti produsen makanan gorengan, jelas ikut dirugikan. 

Pilihan kedua, menaikkan harga. Volume tahu dan tempe tidak mengalami penyusutan atau bertambah tipis, tetapi harga dinaikkan. Pasti konsumen keberatan, apalagi pameo jika harga naik, maka susah dan atau tidak akan turun. Konsumen tahu dan tempe akan beralih ke ikan dan daging yang mungkin lebih murah atau harganya stabil.

Akibatnya, tahu dan tempe kurang laku dan lambat laun mengakibatkan kerugian di pihak produsen. Jika hal ini dibiarkan cukup lama, bisa jadi produsen tahu dan tempe banyak yang akan gulung tikar. Tidak mampu menutupi tingginya biaya produksi tahu dan tempe.

Banyaknya produsen tahu dan tempe yang gulung tikar tentu menimbulkan kelangkaan tahu dan tempe di pasaran. Akibatnya,  banyak pedagang gorengan dan varian produk berbahan tahu maupun tempe yang ikut gulung tikar. Inilah efek domino yang terkadang tidak terpikirkan. 

Bagaimanapun, tahu dan tempe sudah sangat merakyat. Di Indonesia, tahu mengalami indigenisasi (pengalihrupaan). Makanan yang asalnya dari Cina ini muncul dalam berbagai varian.

Tahu kuning di Kediri menjadi makanan khas yang dikenal dengan sebutan "tahu takwa". Tahu Sumedang sangat ikonik dengan Kota Sumedang yang dikenal sebagai "Kota Tahu". Berkat usaha tahu yang dirintis sebuah keluarga Tionghoa ratusan tahun lalu.

Begitu populernya tahu dan tempe, menjadi bagian tak terpisahkan yang ditemui di tempat makan berbagai tingkat sosial di Indonesia.

Aneka makanan berbahan tahu antara lain tahu bakso, tahu bacem, tahu isi, perkedel tahu, hingga tahu krispi. Begitupun varian berbahan tempe dari tempe penyet hingga burger tempe, jelas bikin "ngiler dan ngangeni".

Tentu makanan merakyat berbahan tahu dan tempe sangat disayangkan jika tidak ditemukan gara-gara harga kedelai naik. Menjadi pemikiran bersama untuk menstabilkan harga kedelai dan menjaga kualitasnya.

Kementerian pertanian hendaknya mampu segera mewujudkan swasembada kedelai. Sehingga pasokan dalam negeri untuk produksi tahu dan tempe tidak bergantung pada produk impor yang harganya fluktuatif. Cenderung merugikan para produsen maupun konsumen.

Harga dan pasokan kedelai berkualitas yang stabil, jelas berpengaruh terhadap ketahanan produsen tahu dan tempe maupun daya beli konsumen. Hanya dengan jalan swasembada kedelai sangat memungkinkan untuk bisa segera diwujudkan. Semoga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun