“Walaaah! orang-orang kurang kerjaan. Dari zaman Majapahit senengannya menggunjing yang tidak masuk akal!. Dasar orang-orang kurang berpendidikan!”
Ketus Bu Broto menimpali pernyataan Hendra. Kembali memasang kacamata dan membaca majalah kesukaannya.
Hendra hanya diam. Menyeruput kopi jahe yang tinggal sedikit.
***
Waktu beranjak semakin malam dan gelap. Sedikitpun tidak tampak sinar rembulan. Hanya sebagian sinar titik-titik bintang berusaha mengintip dari celah-celah gulungan awan hitam.
Jam dinding berdentang dua belas kali. Suasana ruang beranda telah sepi. Hanya tinggal Pak Amin, centeng satu-satunya keluarga Bu Broto.
Tiba-tiba angin berhembus halus. Membawa rasa dingin hingga menusuk tulang-belulang penyangga badan.
Lolongan anjing-anjing hutan di kejauhan seakan memberi tanda akan datangnya keganjilan-keganjilan alam.
Suara burung hantu yang panjang dan serak, sesekali terdengar. Mengikuti liukan dan tarian dedaunan yang bergerak lamban.
Bau wangi bunga melati tiba-tiba menebar dan suara-suara cicak terdengar riuh bersahutan. Memecah kegelapan dari berbagai arah.
Pak Amin masih menikmati sedotan rokok linting tembakau kesturi. Belum menyadari kemunculan makhluk ganjil yang sudah berdiri. Tepat di depannya.