Mohon tunggu...
ARIF R. SALEH
ARIF R. SALEH Mohon Tunggu... Guru - SSM

Menyenangi Kata Kesepian dan Gaduh

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bakpao Pak Sumirat

17 Mei 2021   10:00 Diperbarui: 17 Mei 2021   10:21 644
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Siapa tak kenal bakpao? Makanan berbahan tepung terigu ini "sempat diviralkan" Fredrich Yunadi dalam kasus korupsi megaproyek e-KTP Setya Novanto.

Mendengar dan melihat bakpao, pikiran Agha pasti ingat Pak Sumirat. Lelaki umur 60 tahunan lebih yang masih setia menjual bakpao di trotoar Jalan Suroyo.

Umur yang mendekati uzur dan kelemahan fisik, bukanlah pantangan bagi Pak Sumirat untuk mengais rezeki. Meskipun harus tertatih-tatih mendorong gerobak bakpao sekitar 1 kilometer lebih dari rumahnya.

Perawakan Pak Sumirat tegap, berkulit bersih, wajah hampir seperti orang Arab. Pak Sumirat memiliki kelemahan fisik. Memakai tangan dan kaki palsu. Kondisi yang memang harus dijalani setelah kecelakaan saat berjualan bakpao tiga puluh tahun lalu.

Tanggung jawab keluarga dengan dua anak tidak mematahkan semangat mengais rezeki demi asap dapurnya tetap mengepul. Pantang bagi Pak Sumirat untuk mengemis bermodal kelemahan fisik.

Beruntung ada donatur menyumbangkan tangan dan kaki palsu. Cukup membantu kelemahan fisik menopang aktivitas keseharian Pak Sumirat untuk kembali berjualan bakpao.

***

Sore nan mendung. Awan-awan menggelayut manja di pundak langit. Angin dingin cukup kencang mulai menyapa dan membentur pemburu senja.

Angin dari arah timur nan cukup kencang, tanda "nemor" menjelang. Akan semakin kencang mencipta nama "Angin Gending" yang telah lama bergelut dengan alam di sekitar pesisir Kota Seribu Taman.

Dari arah alun-alun, Agha segera memburu satu titik. Tempat di mana Pak Sumirat mangkal dengan gerobak dorong berlabel "Pak Kumis".

"Pak, tolong bungkus bakpaonya 50 ribu rupiah"

"Rasa coklat, Gha?"

Dari suara saja, Pak Sumirat sudah hafal dengan siapa ia bicara.

"Coklat dan isi daging sapi, Pak. Jadikan dua bungkus, ya"

"Tumben dua bungkus?"

"Satu bungkus untuk anak-anak belajar Solawatan di Musholla. Satu bungkus untuk warga piket jaga di Poskamling"

"Baik. Tunggu sebentar, ya"

***

Agha memandang sosok tua di depannya. Gerak tangan kanan Pak Sumirat terlihat masih cekatan memindahkan dan menata bakpao ke kotak karton.

Saat ini Pak Sumirat hanya tinggal berdua dengan istrinya. Dua anaknya sudah berkeluarga dan hidup mapan. Di usia menjelang uzur, Pak Sumirat dan istrinya bertekad mandiri. Menggantungkan hidup kepada kedua anaknya bagi mereka pantangan, apalagi orang lain.

Banyak orang terkadang merasa iba dengan keadaan Pak Sumirat. Menurut pemikiran orang-orang, kelemahan fisik dan usia semakin menua sudah tidak sepatutnya mendorong gerobak. Menjual bakpao dari sore hingga larut malam.

Terkadang ada orang yang memberi uang dan bingkisan lainnya sebagai rasa iba. Pak Sumirat menolak dengan halus. Menurutnya, rezeki akan lebih barokah jika orang mau membeli bakpaonya daripada hanya memberi sesuatu atas dasar rasa iba.

***

"Gimana, ramai pembelinya, Pak?"

"Syukurlah, lumayan. Cuma tidak seramai waktu bakpao jadi perbincangan politik dulu"

"Masih sering banyak sisa, Pak?"

"Nggak juga, Gha. Lebih sering habis terjual meskipun sampai larut malam"

"Syukurlah. Pak Sumirat nggak capek jualan sampai larut malam?"

Senyum Pak Sumirat mengembang di antara kumisnya yang telah memutih. Bibirnya terlihat agak memucat, mungkin pengaruh angin yang cukup dingin dan kencang.

"Sudah biasa, Gha. Orang berjualan harus telaten. Rezeki datangnya tak bisa dikira. Kadang datang cepat. Kadang lambat, iya khan?"

Ganti Agha yang tersenyum dan semakin mengagumi sosok Pak Sumirat.

***

Sudah setahun Agha bekerja di Kota Kembang. Pandemi Covid yang belum kunjung lenyap menghalangi Agha dan istrinya untuk mudik.

Kesehatan dan keselamatan bersama lebih utama. Untunglah teknologi semakin canggih, hingga banyak cara untuk bisa silaturahmi dengan siapapun.

Takbir berkumandang dari berbagai penjuru kota. Agha membelokkan mobilnya ke masjid yang megah. Masih cukup ramai jamaah salat Maghrib.

Bergegas bersama istrinya memasuki pintu masjid sebelah kanan. Pandangan Agha terpaku pada sosok yang sangat ia kenal.

"Ada apa, Mas?" Tanya istrinya. Digamitnya tangan Agha yang masih tampak tertegun. Seakan tak percaya.

"Pak Sumirat. Lelaki yang sering aku ceritakan pada Mama"

Agha dan istrinya segera menuju ke lelaki yang duduk di kursi takmir. Menyendiri dan mengawasi dengan sigap setiap jamaah yang datang dan pergi.

"Maaf. Pak Sumirat?" Tanya Agha sambil mengulurkan jabat tangan.

"Lho!. Agha?"

"Ya, Pak. Perkenalkan ini istri saya"

Pak Sumirat mengangguk dan sedikit membungkuk. Istri Agha tersenyum dan mengangguk hormat.

"Pak Sumirat tidak jualan bakpao lagi?"

"Tidak, Gha. Semenjak istriku meninggal karena Covid 4 bulan lalu"

***

Agha dan istrinya terdiam cukup lama. Berdo'a dalam hati untuk almarhumah istri Pak Sumirat.

"Bapak sekarang tinggal di mana?"

"Di sini"

Singkat pak Sumirat menjawab tanya Agha. Segera Agha menoleh pada istrinya, seakan ada yang disampaikan walau secara batin. Istri Agha mengangguk sopan.

"Maaf. Di rumah masih ada kamar kosong. Kalau Pak Sumirat mau, bisa ditempati"

Pak Sumirat hanya tersenyum. Dipandangnya dengan tatapan teduh Agha dan istrinya.

"Terima kasih untuk kebaikan kalian. Sisa hidupku hanya untuk ibadah. Mau Salat Maghrib? Silahkan, mumpung masih ada waktu"

Agha dan istrinya mengangguk pelan dan terdiam. Seakan tidak ada lagi kata-kata yang mampu diucapkan. Agha sangat paham dengan karakter Pak Sumirat, Sang Penjual Bakpao.

*Nemor= Sebutan orang Probolinggo saat angin datang dari arah timur ke barat. Penanda musim kemarau.

       

  

       

   

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun