Mohon tunggu...
ARIF R. SALEH
ARIF R. SALEH Mohon Tunggu... Guru - SSM

Menyenangi Kata Kesepian dan Gaduh

Selanjutnya

Tutup

Kurma Artikel Utama

Cerpen: Sarung Kumal Mbah Suro Ugal

10 Mei 2021   07:59 Diperbarui: 10 Mei 2021   21:23 2399
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi jalan rimbun nan sepi. Sumber: Darwis Alwan on Pixabay.com

Senja setengah mengintip mayapada. Sinarnya menandakan kantuk. Semburat jingga nan memesona sedang melakonkan perindu pada pembaringan.

Orang-orang bergegas berbuka puasa. Menikmati aneka hidangan di tempat-tempat mewah. Mereguk kesederhaan di tempat-tempat terpinggirkan.

Jalan raya masih menyisakan sekelumit raungan. Jalan-jalan tikus menyisakan kenangan pemburu rindu kampung halaman. Sedangkan gang-gang sempit menandingi kuburan.

Di surau sebuah desa terpencil, lima orang laki-laki berjamaah salat Maghrib. Menuntaskan tambahan tabungan amal perbuatan penutup pekan.

"Pakde, boleh nanya nggak?"

"Nanya apa, Fha?"

"Ehmmm, nanti aja dach di rumah, setelah berbuka puasa."

Mbah Wiro hanya mengangguk. Mempercepat langkah menuju rumah yang sudah terlihat di depan mata. Arfha mengimbangi langkah Mbah Wiro tanpa lagi memuntahkan kata-kata.

***

"Fha, sini ngobrol di teras!" Panggil Mbah Wiro.

Arfha segera beranjak ke teras. Meninggalkan istri Mbah Wiro di ruang tengah yang merapikan meja makan. Hampir tiap mudik hari raya, Arfha mampir ke rumah Mbah Wiro, adik kandung ayahnya.

Arfha menuju *lincak satu-satunya yang ada di teras. Tempat nyaman menitipkan pantat untuk ngobrol tentang segala hal dalam keluarga. 

"Tadi kau mau nanya apa?"

Arfha tidak segera menjawab. Pantatnya diputar empat puluh lima derajat dan menghadap tepat ke arah Mbah Wiro. Dipandangnya wajah teduh di depannya.

"Pakde perhatikan nggak, sarung Mbah Suro?"

"Kenapa dengan sarung Mbah Suro?"

"Sejak lima kali mampir ke sini. Aku perhatikan sarung Mbah Suro yang itu-itu saja!"

"Itu-itu saja bagaimana maksudnya, Fha?"

"Ya hanya dua itu saja yang dipakai. Satu motif kotak-kotak warna hitam. Satunya lagi motif kotak-kotak warna merah. Kumal dan ada beberapa tambalan lagi!"

***

Mbah Wiro tidak segera menjawab. Disantapnya ketela rebus yang masih mengepulkan asap tipis. Menghangatkan suasana dingin yang sedang dimain-mainkan angin sepoi-sepoi.

"Ada lagi yang ingin kau sampaikan?"

"Ada. Dua kali aku beri sarung baru, rasanya nggak pernah dipakai!"

Mbah Wiro tersenyum dan segera beranjak ke lemari jati kuno yang bersanding dengan televisi tabung di ruang tamu.

"Inikah sarung pemberianmu?"

Mata Arfha melotot. Dua sarung yang pernah diberikannya pada Mbah Suro tampak masih baru. Sepertinya belum pernah satu kalipun terpakai.

"Jangan heran. Ada fakta tersembunyi tentang sarung kumal Mbah Suro. Juga terkait dengan sarung pemberianmu di lemari pakaianku."

Mbah Wiro segera duduk kembali di lincak. Dua sarung pemberian Arfha ditaruhnya di tengah lincak.

"Sarung yang kau berikan ke Mbah Suro disuruh pakai ke aku. Tetapi, selama Mbah Suro masih hidup, aku juga tidak akan memakainya."

"Aneh?"

"Nggak juga."

"Kok bisa, Pakde?"

***

Mbah Wiro menatap sisa senja yang mulai redup tersapu warna hitam pekat nun jauh di arah Barat.

"Mbah Suro itu pimpinanku. Tiga sekawan begal yang ditakuti di desa ini dan desa sekitarnya. Dua puluh tahun lalu kami terbiasa merampas motor yang lewat di tempat sepi. Bahkan tak segan membunuh pemiliknya yang berusaha melawan. Mbah Suro eksekutornya. Makanya dinamai Mbah Suro Ugal!"

Suasana tiba-tiba hening. Angin sepoi-sepoi nan usilpun meringkuk di balik dedaunan dan pepohonan yang mulai kedinginan.

"Hingga suatu ketika Mbah Suro tanpa sengaja membunuh anak semata wayangnya sendiri!"

"Tanpa sengaja?"

"Ya Arfha! Anak muda itu melawan saat akan dirampas sepeda motornya."

"Apa Mbah Suro tidak mengenal anak dan sepeda motornya?"

"Saat itu anak Mbah Suro kuliah di Malang. Terkadang pulang hampir tiap bulan. Dia pulang kemalaman tanpa memberitahu penyebabnya. Saat kejadian memakai helm teropong. Sedang sepeda motor yang dibawanya milik teman kuliahnya."

***

Kembali suasana hening. Tak satupun suara hewan-hewan malam menghiasi gelapnya sudut-sudut desa.

"Lantas, apa kaitannya dengan sarung Mbah Suro?"

"Dalam aksi, kami terbiasa menggunakan dua sarung dan clurit ekor ayam. Sarung untuk menutupi wajah seperti Ninja dan satu lagi kami belitkan di pinggang untuk sewaktu-waktu digunakan mengusir dingin malam saat berburu korban di tempat-tempat sepi dan terasa dingin."

"Jadi yang membegal motor adalah Mbah Suro dan termasuk Pakde?"

"Betul Arfha. Keesokan harinya desa gempar. Sebab anak Mbah Suro mati mengenaskan di jalan sepi penuh rimbun pepohonan. Mbah Suro menyalahkan dirinya sendiri. Seperti orang kesetanan, dia berteriak-teriak sembari mengacungkan clurit sepanjang jalan menuju kantor Polsek. Seorangpun tak ada yang berani mendekat".

"Ngapain ke kantor Polsek?"

"Menyerahkan diri"

"Dan bertobat seperti yang terlihat sekarang?"

"Ya"

"Apa yang diteriakkan Mbah Suro waktu itu, Pakde?"

"Dia bersumpah untuk bertobat dan melarang aksi begal maupun bentuk kejahatan lainnya. Jika ada yang melanggar dia akan memburunya!"

"Terus bagaimana nasib Pakde saat itu"

"Aku pulang dan tertangkap. Sedangkan Warno kabur dan terus berulah dengan komplotan pembegal lainnya. Tetapi itupun hanya berlangsung tiga tahun di desa sebelah."

"Kenapa hanya tiga tahun?"

"Aku membunuh Warno atas perintah Mbah Suro. Tidak seorang pun mampu mengendus termasuk Polisi. Sejak itu desa ini dan sekitarnya aman tenteram hingga kini. Itu saja, Arfha!"

***

Suara Azan Isya jelas terdengar lantang dari surau. Alis Arfha masih menekuk dan terbaca oleh Mbah Wiro.

"Sepertinya masih ada yang ingin ditanyakan?"

"Betul, Pakde!. Sarung kumal yang dipakai Mbah Suro belum terjawab"

"Sebelum Mbah Suro menyerahkan diri, sarung itu dititipkan ke aku untuk diamankan. Setelah sebelas tahun dipenjara dan bebas, aku serahkan sarungnya"

"Satu lagi Pakde. Pertanyaan terakhir"

"Silahkan!"

"Apa Mbah Suro memang tidak punya keluarga?"

"Punya. Istrinya meninggal sakit jantung setelah tahu anak satu-satunya dibunuh ayahnya sendiri. Inilah yang membuat Mbah Suro sangat menyesali perbuatannya dan totalitas insaf dengan memperbanyak istighfar dan selalu rajin ibadah di surau"

Arfha terdiam. Semua yang disampaikan Mbah Wiro direkamnya baik-baik. Benang merah sarung kumal Mbah Suro sudah terjawab tuntas.

***

Bergegas Mbah Wiro dan Arfha berangkat ke surau. Arfha sengaja mengambil tempat salat Isya dan tarawih di samping Mbah Suro.

Sesekali Arfha melirik sarung kumal Mbah Suro. Seakan ada bau anyir darah menguar. Arfha hanya diam.

  

*Lincak (Bahasa Jawa) = Bangku panjang dari bambu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun