Mohon tunggu...
ARIF R. SALEH
ARIF R. SALEH Mohon Tunggu... Guru - SSM

Menyenangi Kata Kesepian dan Gaduh

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kuntilanak dan Wangi Bunga Kantil

29 Oktober 2020   19:06 Diperbarui: 29 Oktober 2020   19:20 862
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : Pete Linforth. Pixabay.com

Dunia gaib dan dunia nyata. Beda wujud, nyata adanya. Dunia yang dihuni oleh makhluk-makhluk ciptaan Tuhan. Tata lakunya sama, hanya wujudnya yang beda.

Kata-kata Ustad Mansur masih terngiang. Jelas berusaha menggambarkan secara gamblang adanya dua dunia. Saling berdampingan. Meskipun wujudnya tidak sama.

Aku berdiri di depan rumah. Kulihat jam tangan menunjukkan pukul 01.00 WIB. Gelap menyelimuti sekelilingku. Maklum, malam ini awan begitu pekat menghalangi indahnya langit nan maha luas. Menghalangi bulan bulat sempurna yang seharusnya menyapa dengan senyum genitnya.

Hembusan angin Gending begitu riuh. Mampu meniup atap-atap rumah bersiul lirih. Begitupun dedaunan, bergoyang sakaw tak tentu arah. Membentuk bayang-bayang warna rupa makhluk-makhluk malam dalam pikiranku.

Dari arah utara muncul sosok laki-laki tegap. Ciri-ciri fisiknya aku hafal betul. Sosok yang semakin mendekat. Sempat sejenak berdiri dekat pohon nangka. Lalu bergerak cepat ke arahku.

"Belum tidur, Pak?" Tanya Pak Sumandi.

"Baru bangun, Pak Sumandi. Di dalam rumah hawanya pengap" Jawabku singkat.

"Jangan lama-lama. Mau hujan sepertinya. Saya permisi dulu. Mau lihat air di sawah selatan"

"Nggak ngopi dulu?"

"Terima kasih. Lain waktu saja. Jangan lama-lama di luar rumah"

"Kenapa, Pak?"

Tidak ada jawaban. Pak Sumandi bergegas kembali melangkah. Meninggalkan aku yang kembali mematung. Menikmati kesendirian menemani gaduhnya angin Gending.

***

Sosok Pak Sumandi menghilang di tikungan jalan. Kembali, sepi dan gelap terasa. Burung-burung malam tak satupun bersuara. Begitupun suara binatang-binatang malam lainnya, membisukan diri.

Aku menoleh ke arah utara. Arah datangnya Pak Sumandi. Tidak ada sesuatu. Hanya lebat daun jagung nan pekat terlihat.

Kini, aku merasakan bau harum. Bau yang mengingatkanku pada sekuntum bunga nan wangi. Bunga kantil. Benar, yang aku rasakan bau harum bunga kantil.

Harum bunga kantil semakin terasa. Bahkan mampu membuatku sejenak terpejam. Menikmati semerbak wanginya. Menguar, menemani sepiku.

Aku membuka mata. Saat kembali memandang arah utara, terlihat sesosok perempuan berdiri. Sosok perempuan semampai samar-samar berdiri di bawah pohon nangka. Samar-samar pula, perempuan itu memperhatikanku.

"Apakah tetangga sebelah? Lantas kenapa pula berdiri sendiri di luar rumah?" Gumamku penuh tanda tanya.

Ah, tak pantaslah aku bertanya langsung padanya. Maka, sepinya alam kembali bercengkerama denganku. Menatap langit. Meniup awan-awan gelap agar segera menyingkir. Namun, tak pernah berhasil.

Iseng, aku kembali menoleh arah utara. Aih! Sosok itu masih mematung. Memperhatikanku. Membuatku kikuk. Betul-betul kikuk. Segera aku beranjak ke dalam rumah. Menemui pengap yang tertawa terpingkal-pingkal. Sialan! Pikirku.

***

"Yah, aku ke rumah tetangga sebentar" Ujar istriku yang cantik. Di pagi nan cerah ini.

"Ada keperluan apa?"

"Ada dech, urusan perempuan. Laki-laki gak boleh tahu"

"Boleh nggak nitip tanya"

Istriku terdiam. Matanya menatap tajam. Serupa mata elang betina.

"Hanya nitip tanya. Apa benar Bu Ratna tadi malam sekitar jam satu ada di luar rumah"

Bola mata istriku seakan mau meloncat.

"Yah! Ada apa sebenarnya tadi malam. Ayah ke luar rumah?"

"Iya, Bunda. Hanya cari udara segar. Bunda tahu sendiri khan, udara terasa begitu pengap di dalam rumah. Saat di luar, aku lihat sosok perempuan di bawah pohon nangka. Aku pikir Bu Ratna, tetangga sebelah. Mau tanya langsung, enggak enaklah"

Aku nyerocos. Meyakinkan istriku satu-satunya untuk tidak berpikiran macam-macam. Cukup satu macam, percaya pada apa yang aku tanyakan. Itu saja.

Istriku tak menjawab. Ngeloyor pergi. Tanpa uluk salam pula.

***

"Yah. Bu Ratna, tetangga sebelah bilang bahwa tadi malam tidak ke luar rumah"

Tiba-tiba istriku sudah di sampingku. Membuatku terhenyak dan menghentikan ketikan artikel yang belum kelar-kelar.

"Benarkah?"

"Benar! Nggak percaya sama jawaban istrimu ini?"

Aku diam. Ingatan kembali menghadirkan sosok perempuan. Sosok yang begitu lekat memperhatikanku di bawah pohon nangka.

Segera aku mengetik sesuatu di google. Kata kunci bunga kantil dan makhluk gaib mulai bermunculan. Memberi satu kesimpulan, bunga kantil adalah bunga kesukaan Kuntilanak.

"Yah. Benarkah tadi malam ayah melihat sosok perempuan di bawah pohon nangka?"

Aku tidak segera menjawab pertanyaan istriku. Justru kembali menanyakan sesuatu.

"Apakah tadi Bunda melihat ada bunga kantil di depan rumah Bu Ratna?"

"Ya. Aku melihatnya. Ada bunga kantil. Bunganya mekar-mekar dan harum baunya"

Aku dan istriku saling berpandangan. Pandangan istriku seperti menyimpan ketakutan.

"Kau kenapa? Seperti orang yang ketakutan?"

"Aku pernah melihatnya juga. Malam Jum'at kemarin. Sewaktu menunggu ayah pulang lembur dari kantor"

Kami diam dan saling pandang.

Probolinggo. 29.10.2020      

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun