Tidak ada jawaban. Pak Sumandi bergegas kembali melangkah. Meninggalkan aku yang kembali mematung. Menikmati kesendirian menemani gaduhnya angin Gending.
***
Sosok Pak Sumandi menghilang di tikungan jalan. Kembali, sepi dan gelap terasa. Burung-burung malam tak satupun bersuara. Begitupun suara binatang-binatang malam lainnya, membisukan diri.
Aku menoleh ke arah utara. Arah datangnya Pak Sumandi. Tidak ada sesuatu. Hanya lebat daun jagung nan pekat terlihat.
Kini, aku merasakan bau harum. Bau yang mengingatkanku pada sekuntum bunga nan wangi. Bunga kantil. Benar, yang aku rasakan bau harum bunga kantil.
Harum bunga kantil semakin terasa. Bahkan mampu membuatku sejenak terpejam. Menikmati semerbak wanginya. Menguar, menemani sepiku.
Aku membuka mata. Saat kembali memandang arah utara, terlihat sesosok perempuan berdiri. Sosok perempuan semampai samar-samar berdiri di bawah pohon nangka. Samar-samar pula, perempuan itu memperhatikanku.
"Apakah tetangga sebelah? Lantas kenapa pula berdiri sendiri di luar rumah?" Gumamku penuh tanda tanya.
Ah, tak pantaslah aku bertanya langsung padanya. Maka, sepinya alam kembali bercengkerama denganku. Menatap langit. Meniup awan-awan gelap agar segera menyingkir. Namun, tak pernah berhasil.
Iseng, aku kembali menoleh arah utara. Aih! Sosok itu masih mematung. Memperhatikanku. Membuatku kikuk. Betul-betul kikuk. Segera aku beranjak ke dalam rumah. Menemui pengap yang tertawa terpingkal-pingkal. Sialan! Pikirku.
***