Mohon tunggu...
ARIF R. SALEH
ARIF R. SALEH Mohon Tunggu... Guru - SSM

Menyenangi Kata Kesepian dan Gaduh

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ilmu Pelet Kembang Kanthil

1 Oktober 2020   13:16 Diperbarui: 2 Oktober 2020   14:17 1276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pelet Kembang Kanthil. Sumber Gambar : pixabay.com. Diolah lebih lanjut oleh penulis.

Heran. Betul-betul Harsa dibuat heran. Kurang apalagi? Di wilayah kabupaten, Harsa dikenal paling kaya. Andai dikalkulasi, kekayaannya mungkin sebanding dengan bupati, yang memang sama-sama pengusaha sukses.

Kedudukan? Rasanya, hanya Harsa politisi termuda. Wakil rakyat yang lagi naik daun se-kabupaten. Bisa jadi, politisi termuda di senayan. Nantinya.

Wajah dan bodi? Ah, andai saja Harsa mau merayu Vanessa Angel, nggak sulit rasanya. Jelas sebanding. Pasangan serasi jika diajak jalan-jalan di sepanjang Pantai Kuta. Tampan dan atletis, itu yang banyak orang bilang.

Namun, semua yang Harsa punya, tak berarti apa-apa. Takada guna di depan Adelicia Calista. Sungguh, gadis semampai yang super manis nan cantik, sedikitpun tak menaruh hati pada Harsa.

Kulit Licia kuning gading dan bersih. Rambutnya sebahu, lebat berkilau. Mata nan mempesona, mirip Marissa Haque, namun lebih lentik. Seperti maskara terindah. Senyumnya, ah....membikin sakaw yang melihatnya. Sungguh, cipta pesona keagungan Sang Maha Kuasa.  

Sudah tiga bulan Harsa berusaha merebut hati Licia. Tetapi, seakan membentur tembok benteng nan kokoh. Sedikitpun, Licia tidak terpengaruh rayuan Harsa. Sama sekali tak tertarik dengan tampilan, harta, dan kedudukan yang Harsa miliki.

Padahal, kedua orang tua Licia, sudah memberi kode alam. Setuju dengan keinginan Harsa mempersunting Licia. Namun, mereka wanti-wanti, agar Harsa hati-hati merebut hati Licia. Jangan terlalu memaksa, karena Licia sepertinya sudah tertarik pada seseorang. Entah siapa.

Sore itu, Harsa menyempatkan singgah ke rumah Licia. Mumpung Sabtu sore. Kesempatan tepat kembali mengutarakan isi hati. Andai Licia mau, malam Minggu akan terasa lebih indah bagi Harsa.

"Licia, mau nggak jalan-jalan ke pantai? Nanti malam"

"Maaf Mas, Licia banyak kerjaan. Mempersiapkan proposal skripsi. Mana harus disetor online lagi"

"Oh...., ya sudah. Nggak apa-apa"

Kembali kalimat singkat. Betul-betul singkat yang mampu ke luar dari bibir Harsa. Tak lebih. Tak kurang. Seakan ada kekuatan berusaha mengunci bibirnya. Apalagi melihat wajah Licia yang mempesona. Luruh maksud Harsa untuk lebih jauh menyemburkan isi hatinya.

****

Malam Minggu kelabu. Awan tipis menutupi sang bulan sabit. Melengkapi kelabunya hati Harsa. Sendiri, Harsa duduk di beranda. Menatap taman dan kolam yang dipenuhi ikon koi.

Diambilnya smartphone di meja samping kanan. Tangan Harsa mempermainkan layar smartphone, naik turun. Ada sesuatu yang dicari. Lantas jemarinya memanggil seseorang.

"Hai, ini Adji?"

"Ya. Ini siapa?"

"Harsa. Bisa main ke rumah Dji? Atau aku yang ke rumah situ"

"Wah! Boss rupanya. Bisa boss. Biar aku yang ke rumah boss. Tunggu ya...."

"OK. Terima kasih. Aku tunggu dengan senang hati"

Tak lama, Adji sampai di rumah Harsa. Rumah mewah dengan segala kelengkapan yang ada.

"Dji, bagaimana kabarmu?"

"Baik dan sehat boss"

"Ah, kamu. Jangan panggil boss, seperti biasanyalah. Ayo, kita ngobrol di ruang tamu"

"Di sini saja. Anginnya sejuk dan suasananya alami"

"OK. Sebentar ya..., aku ambilkan minum"

Seperti biasa, Adji tak menjawab, lebih memilih langsung duduk menghadap kolam. Taman yang indah dilengkapi air terjun mini dan kolam ikan koi, cukup membuat suasana menyenangkan. Dapat lebih santai menikmati gemericik air di sela deru kendaraan yang cukup jauh di depan sana.

"Nah, ini minum dulu. Terserah yang mana, panas atau dingin"

"Dua-duanya, hahaha...."

"Ah kau Dji, tetap saja tengil. Gak berubah. Eh, gimana kabar istrimu?"

"Hamil lagi. Hampir tujuh bulan"

"Wah, jebol kedua kali ya...."

"Hahahaha...., betul. Jalani saja seperti air mengalir. Eh, Harsa sendiri bagaimana? Sudah ada calon khan?"

Harsa terdiam. Dipandanginya Adji, sahabat lamanya, cukup tajam.

"Yahhhh, ada yang perlu aku sampaikan ke kamu, Dji. Makanya langsung aku telepon. Masalahku ini sepertinya lebih tepat jika kusampaikan ke kamu"

"Memangnya ada masalah. Masalah apaan?"

Gemericik air kembali terdengar dominan, seiring Harsa kembali terdiam. Lantas Harsa menyampaikan masalah yang dihadapinya ke Adji. Masalah berkaitan dengan keiginan Harsa mendekati Licia. Namun sayang, seakan bertepuk sebelah tangan.

"Ada jalan keluarnya. Dan aku yakin banyak berhasilnya. Asal kau mau dengan syarat dan lainnya"

"Apa syaratnya Dji? Asalkan jangan ada tumbal, aku mau"

"Ya nggak ada tumballah. Sekedar ilmu pelet biasa. Tetapi lebih ampuh. Hanya butuh kesepakatan harga. Juga kembang kanthil sebagai media. Mau apa nggak?"

"Ilmu pelet apaan Dji?"

"Pelet kembang kanthil. Gimana?"

"OK. Kapan bisa dieksekusi?"

"Besok sore. Kebetulan hari Minggu. Orangnya lebih senang melakukan ritual antara malam Senin dan malam Jum'at. Bagaimana?"

"Baik, Dji. Deal ya!"

****

Sesuai janji. Harsa dan Adji meluncur ke sebuah tempat. Menuju rumah dengan halaman cukup luas di sebuah desa. Rumah Bu Rosminah, begitu biasa dipanggil.

Tanpa pikir panjang, Adji menyampaikan maksud kedatangannya. Begitupun Harsa, menambahkan lebih detail maksud kedatangannya diantar oleh Adji.

Bu Rosminah menyampaikan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh Harsa. Semua syarat disanggupi. Cuma, sore ini Bu Rosminah ada janji dengan orang lain. Bisanya melakukan ritual hari Kamis depan. Tepatnya, hari Kamis malam Jum'at.

Harsa dan Adji pamit pulang. Tak lupa, amplop cukup tebal disampaikan ke Bu Rosminah. Sebagai kesepakatan awal hajat hidup.

Halaman rumah Bu Rosminah cukup luas. Ada banyak bunga mawar dan melati di beranda. Juga bunga kenanga yang harum di samping kiri rumah. Sekilas, Harsa merasakan perasaan aneh. Hawa sangat dingin terasa di tengkuk, sewaktu mau masuk mobil. Saat menoleh ke belakang, tepat di belakang pintu rumah Bu Rosminah, Harsa melihat sosok perempuan. Sosok semampai berbaju putih. Hanya sekilas terlihat dan entah menghilang ke mana.

****

Malam Jum'at. Bu Rosminah sudah di rumah Harsa. Semua syarat sudah siap. Termasuk hanya Harsa dan Bu Rosminah yang ada di rumah. Tidak boleh seorangpun boleh masuk setelah Isya. Saat ritual dimulai.

Perempuan paruh baya itu menyiapkan toples cukup besar. Diisi air jernih sekitar tiga perempat toples. Lantas duduk bersila. Mata dipejamkan dengan tangan disilangkan, bersedekap. Mantra diucapkan dan ditiupkan ke bunga Kanthil.

"Siapa nama lengkap perempuan yang kau senangi?"

 "Adelicia Calista. Itu saja"

"Panggilannya?"

"Licia"

Tiba-tiba lampu mati. Namun, keadaan tak berubah. Harsa hanya merasakan hawa dingin di tengkuk. Rasa yang sama sewaktu akan meninggalkan rumah Bu Rosminah.

Saat lampu menyala, Harsa memandangi sekitar. Tidak terjadi apa-apa. Bu Rosminah masih memejamkan mata membaca mantra.

"Harsa, taruh tiga bunga kanthil ini di toples. Jaga sampai ketiga bunga itu menyelam ke dasar toples dengan sendirinya. Ingat, sedetikpun kau tidak boleh tertidur. Paham?"

"Siap Bu Rosminah"

"Aku mau istirahat dulu"

"Silahkan tidur di ranjang. Aku tetap di sini, sesuai perintah Bu Rosminah"

"Baik. Terima kasih"

Detik demi detik berputar lambat. Pukul 23.00, satu bunga kanthil tenggelam. Wangi bunga semakin merebak. Diliriknya Bu Rosminah, masih tertidur pulas. Pukul 24.00, satu bunga kanthil kembali tenggelam. Hanya satu yang masih mengapung.

Pukul 01.00 rasa kantuk menyergap Harsa. Serasa berat kelopak mata diajak menatap satu bunga kanthil yang masih mengapung. Diliriknya Bu Rosminah.

Aneh! Gaun Bu Rosminah berubah. Awalnya berwarna hitam, berubah putih bersih. Wangi kembang kanthil menyeruak ke segala ruang kamar. Seiring bunga kanthil ketiga tenggelam.

Harsa menghampiri Bu Rosminah, tetapi perempuan paruh baya itu menggeliat. Nampaklah sosok perempuan lain. Perempuan paruh baya nan cantik. Tapi, bukan Bu Rosminah. Perempuan semampai yang pernah Harsa lihat sewaktu di rumah Bu Rosminah.

Harsa salah tingkah. Namun, sepatah kata tak mampu diucapkan. Perempuan itu tersenyum. Melambai mesra. Mengajak Harsa tidur di sampingnya.

****

"Ingat Harsa. Semua yang kita alami, bagian dari perjanjian. Jangan sekali-kali kau langgar, jika kau ingin tetap dicintai Licia. Paham maksudku?"

"Paham Bu Ros" Jawab Harsa singkat. Sembari memandang mesra Bu Rosminah.

"Harsa. Cukup sebulan sekali kau menemuiku. Itu saja. Apa ada yang ingin kau sampaikan lagi?"

"Sementara cukup. Kalau Bu Rosminah butuh uang, kontak saja di nomor yang aku berikan. Jangan sungkan"

Bu Rosminah tersenyum, dan segera beranjak masuk rumahnya. Harsapun segera pulang. Sepanjang perjalanan, bayangan perempuan yang semalam hadir seakan menemani perjalanan Harsa. Perjalanan serasa indah dan singkat.

Setibanya di depan pagar rumahnya yang menjulang, Harsa kembali dibuat kaget. Dadanya serasa naik turun cepat. Degup jantungnya juga cepat. Bukan karena sosok perempuan semampai kembali hadir di depan pintu pagar Harsa. Tetapi, sosok wanita muda yang sangat Harsa harapkan.

Adelicia Calista. Ya, Licia berdiri melambaikan tangan. Menyambut Harsa dengan senyum menawan. Senyum yang sangat Harsa impikan. Semakin menambah pesona berbalut busana lipatan-lipatan kecil atau pleats warna pink. Mungkinkah ini pengaruh pelet kembang kanthil? Gumam Harsa tercekat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun