Keberagaman di Indonesia
Indonesia dikenal sebagai negara multiagama, multietnik, dan multibudaya. Terdapat sekitar 931 etnik dengan 731 bahasa. Ibarat sebuah taman, tumbuh subur bunga berwarna-warni. Keragaman yang indah dipandang. Elok dinikmati. Nyaman ditempati.
Keberagaman di Indonesia akan menakjubkan, jika hidup selaras. Hidup dalam bingkai "Bhinneka Tunggal Ika". Sebagai sebuah negara nasional bernama "NKRI".
Akan tetapi, jika keselarasan mulai terkikis kepentingan global dan primordial, dapat menimbulkan bermacam benturan. Baik benturan peradaban, maupun benturan kepentingan.
Konflik jelas akan terus terjadi dan tidak dapat dihindarkan. Menimbulkan banyak korban. Baik korban harta, bahkan nyawa satu-satunya melayang. Nyawa, barang yang paling berharga di dunia. Begitu mudah dilepas dari raga.
Kenyamanan hidup, begitu mudah dibakar habis. Kerukunan masyarakat, begitu gampang dibabat habis. Mengancam keutuhan bangsa yang bermoral. Meruntuhkan kedaulatan negara yang kita satukan dengan darah juang.
Benturan ideologi komunis dan liberalis, sejarah mencatatnya dengan tinta darah. Konflik Sambas, Ambon, Wamena dan lainnya, betapa membuat kita miris. Bangsa ini seakan lupa pada peradaban. Lupa hakikat sebagai makhluk bernama manusia.
Pancasila dan Gempuran Konflik
Pancasila digali dari nilai-nilai luhur sosial budaya bangsa. Sebagai dasar negara, Pancasila menjadi pedoman hidup dalam berbangsa dan bernegara. Memberikan arah, tujuan, dan batas-batas perilaku dalam mengarungi kehidupan.
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar. Bangsa yang lahir dari darah juang untuk merdeka. Rela mengorbankan harta dan nyawa demi tetap tegak NKRI. Lepas dari penjajahan yang tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan. Mempunyai tujuan dapat hidup berdampingan seutuhnya. Mewujudkan masyarakat adil dan makmur.
Seiring berdirinya NKRI, Pancasila sebagai dasar negara tak lepas dari rongrongan. Baik rongrongan dari luar maupun dari dalam diri bangsa. Negara yang baru merangkak, bertubi-tubi harus menghadapi dan bertahan dari gempuran frontal ideologi global. Ideologi yang dipaksakan dengan berbagai cara.
Perbedaan pandangan ideologi, silih berganti berupaya menggantikan Pancasila sebagai dasar negara. Pemberontakan DI/TII dan PKI tak lepas dari pengaruh ideologi global yang berkembang secara masif. Mampu dibentengi hingga masa orde baru.
Di era reformasi, rongrongan terhadap Pancasila sebagai dasar negara dan pandangan hidup bangsa bergeser ke arah sentimen menguatnya kesadaran etnik (ethnic consciousnes). Masih ditimpuk pula oleh kepentingan kontestasi politik lokal.
Reaktualisasi Nilai-Nilai Pancasila
Konflik di masyarakat multietnik seakan melekat, jika bangsa ini tak lagi menjiwai nilai-nilai Pancasila. Nilai-nilai yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, sebagai makhluk beradab. Mengedepankan toleransi agama, budaya, sosial, dan ekonomi yang madani.
Indonesia, bangsa yang besar. Bangsa yang kenyang dengan hantaman gelombang perubahan. Tetap tegak seperti batu karang. Tumbuh dan besar berkat usaha bersama. Usaha yang tak pernah lelah. Membingkai perbedaan dalam kesatuan pandangan "Bhinneka Tunggal Ika".
Membumikan nilai-nilai Pancasila di lembaga keluarga, mutlak diimplementasikan. Keteladanan orang tua adalah kunci. Karakter anak meniru. Apa yang akan anak tiru? sikap dan perilaku orang tua. Sikap dan perilaku yang mencerminkan nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah, dan keadilan sesuai porsinya.
Lembaga pendidikan mempunyai peran penting. Membumikan paradigma "Pancasila adalah Jati Diri Bangsa". Tetap meluruskan pandangan untuk menjiwai dan mengamalkan nilai-nilai Pancasila. Nilai-nilai luhur dan akan selalu aktual dalam kehidupan sehari-hari.
Paradigma pendidikan abad 21 bertujuan meningkatkan kompetensi siswa yang berorientasi pada berpikir tingkat tinggi (Higher Order Thinking Skills/HOTS). Lembaga pendidikan, seharusnya mampu menanamkan nilai-nilai Pancasila sebagai transfer of knowledge, critical and creative thinking, dan problem solving.
Di jaman digital, peran masyarakat luas mengalami pergeseran nilai. Masyarakat yang semula hanya sekedar menjadi penonton dan pembaca, mulai ambil peran sebagai pemain dan konten kreator.
Di sinilah, masyarakat sebagai pemain dan konten kreator hendaknya menjadi sosok influencer yang Pancasilais. Sosok yang mampu menjiwai dan mengamalkan nilai-nilai Pancasila secara dinamis.
Demikian pula pemerintah. Upaya aktualisasi nilai-nilai Pancasila lewat Penataran P4 model Orde Baru, jelas hanya titipan penguasa. Di jaman reformasi, praktik-praktik KKN masih melekat pada sebagian penguasa dan kroninya. Menjadi contoh, betapa mereka yang menggaungkan pentingnya nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sebenarnya menjadi pecundang atas ideologi yang kita gaungkan demi utuh bangsa dan negara ini.
Pemimpin, seharusnya melekat dengan jiwa Pancasila. Nilai ketuhanan menjiwai dalam bersikap dan bertindak. Menjauhi apa yang dilarang oleh agama dan menjalankan ajaran agama dalam pemerintahan. demi terwujudnya masyarakat madani.
Indonesia bukanlah negara agama (theocracy state) maupun negara sekuler (secular state). Negara dan bangsa Indonesia dibangun dengan visi sebagai “religious nation state” (negara kebangsaan yang berketuhanan), negara gotong royong, bersatu dalam keberbedaan, bhinneka tunggal ika.
Tunjukkan bahwa kita cinta Pancasila. Tunjukkan bahwa bangsa Indonesia tegak berdiri dari sejarah panjang. Sejarah yang tak pernah lepas dari nilai-nilai luhur. Bangsa yang mampu menghayati dan mengamalkan nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah, dan berkeadilan dalam kehidupan sehari-hari. Jayalah Pancasila. Tetap tegak NKRI.
Rujukan:
https://indonesia.go.id/ragam/budaya/kebudayaan/keniscayaan-keragaman-indonesia-dan-pancasila
https://id.wikipedia.org/wiki/Konflik_horizontal
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H