Update berita media daring, Kamis 25 April 2019, 225 orang Petugas KPPS meninggal dunia. Rabu, 01 Mei 2019, berjumlah 380 orang.
Prediksi jatuhnya korban terus bertambah, benar adanya. Data dan fakta mengemuka di berbagai media. Melampaui angka 300 orang. Angka yang tidak sedikit. Menjadi catatan sejarah. Catatan krusial. Betapa pentingnya re-evalusi dan re-formulasi pelaksanaan Pemilu serentak ke depan.
Begadang semalam suntuk. Bahkan ada yang hingga dua malam satu hari tidak tidur sama sekali. Bukti bahwa tugas penyelenggara Pemilu 2019 tidaklah ringan. Tidak semudah membalik telapak tangan. Tinggal catat lalu selesai.
Bayangkan, dengan rasa kantuk sangat dan lelah mendera. Bahkan pegal di pundak dan pinggang tetiba melanda. Para pejuang demokrasi berusaha tetap fokus dan cekatan menyelesaikan tugas. Mencatat lembar demi lembar hasil penghitungan. Meskipun sebelumnya sebagian tenaga dan pikiran terkuras untuk menghitung surat suara dari pengguna hak pilih.
Di bawah tekanan mental dan detak waktu yang terus berputar. Petugas KPPS diburu target menyelesaikan rekapitulasi hasil penghitungan suara hari itu juga. Rekapitulasi yang tidak mudah. Harus akurat sesuai petunjuk pada Buku Panduan KPPS.
Tugas berat yang di luar dugaan. Berbanding terbalik saat pelaksaan Pilkada Serentak tahun sebelumnya. Menyisakan trauma bagi sebagian Petugas KPPS pasca Pemilu 2019 digelar.
Beberapa orang menyampaikan secara implisit, tidak ingin lagi menjadi Petugas KPPS. Tanggung jawab yang berat. Pekerjaan harus tuntas dalam waktu singkat. Tidak boleh ditunda. Â Cepat dan tepat dalam tahapan pemungutan, penghitungan, dan pelaporan. Menjadi pertimbangan logis didasari tidak adanya cukup waktu dan jeda untuk sejenak istirahat.
Mereka terus fokus untuk menuntaskan tugas dengan sebaik-baiknya. Hingga ada yang tidak sempat mandi siang ataupun sore. Bahkan untuk sekedar makan siang/malam dan sholat 5 waktu, dilakukan secara bergilir. Ini semua dilakukan semata untuk tetap fokus dan konsentrasi penuh.Â
Mengingat tahapan pemungutan, penghitungan, dan pelaporan Pemilu 2019 yang komplek tidak boleh sedikitpun terjadi kesalahan. Sedikit salah menghitung dan merekap, akibatnya fatal. Mencederai proses pemungutan suara. Menyisakan masalah di proses penghitungan. Melukai dan bahkan mengubur makna demokrasi.
Lantas, apakah pernyataan "Kapok Menjadi Petugas KPPS" dapat dibenarkan? Tergantung pada masing-masing personal. Pernyataan ini adalah hak pribadi. Tetapi tidak harus mutlak diikuti. Masih ada argumentasi lain yang juga perlu dipikirkan secara mendalam. Jika semua "kapok" (jera) menjadi Petugas KPPS. Lantas siapa yang akan berperan sebagai ujung tombak suksesnya pelaksanaan Pemilu yang akan datang?...
Ingat, salah satu indikator sukses penyelenggaraan Pemilu adalah membutuhkan peran serta orang yang berpengalaman sebagai petugas KPPS. Orang yang dengan cermat dan tepat mempersiapkan, melaksanakan pemungutan, penghitungan, dan pelaporan Pemilu.
Tak ada gading yang tak retak. Pasti ada kekurangan dalam suatu acara. Apalagi pelaksanaan Pemilu yang berskala besar. Melibatkan hampir seluruh komponen bangsa. Dari Sabang sampai Merauke. Dari titik terdekat hingga jauh ke tapal batas negara. Terluar hingga terisolir. Memeras tenaga dan pikiran. Mengetuk empati dan simpati.
SolusiÂ
Kejadian nyata banyaknya jatuh korban jiwa di Pemilu 2019, harus menjadi cerminan. Menatap Pemilu ke depan lebih baik. Lebih proporsional. Lebih manusiawi. KPU, Bawaslu, Pemerintah, dan Lembaga Legislatif harus duduk satu meja. Untuk re-evaluasi dan re-formulasi Pemilu ke depan.
Pemilu serentak hendaknya tetap dipertahankan untuk efisiensi biaya yang sangat besar. Efisiensi waktu agar tidak tumpang tindih dengan PHBN (Peringatan Hari Besar Nasional). Tidak berbenturan dengan agenda edukasi dan waktu kerja efektif secara nasional. Tetapi harus memperhitungkan beban kerja dan tanggung jawab para petugas di lapangan.
Pemilu serentak hendaknya dikemas dalam dua agenda besar. Pilpres satukan dengan Pileg DPR RI dan DPD RI. Sedangkan Pileg DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, satukan dengan Pilkada. Format ini cukup berimbang dalam beban dan tanggung jawab kerja petugas Pemilu di lapangan.
Tenggat waktu tahapan pemungutan, penghitungan, dan pelaporan Pemilu hendaknya lebih dinamis. Tidak kaku dalam arti "hari ini juga harus kelar". Mengakibatkan petugas di lapangan kelelahan dikejar target tanggung jawab "yang kaku".Â
Beri mereka waktu yang cukup "manusiawi", jika tidak selesai hingga pukul 21.00 waktu setempat, proses pelaporan dapat dilanjutkan esok pagi. Tentu dengan memperhatikan tingkat pengamanan di TPS, PPS, PPK, hingga KPU. Format ini memungkinkan petugas di lapangan untuk dapat cukup istirahat. Meminimalkan jumlah korban, baik yang sakit maupun meninggal dunia.
Petugas KPPS, Pengawas, Saksi, dan Pengamanan hendaknya dijaring secara selektif. Mereka harus sehat fisik dan mental. Mampu bekerja secara kolektif dan kolaboratif. Tidak hanya menggantungan pada personal tertentu untuk mensukseskan tahapan pemungutan, penghitungan, dan pelaporan Pemilu serentak.
Sosialisasi dan simulasi juga berpengaruh pada tahapan pemungutan, penghitungan, dan pelaporan Pemilu serentak. Peran Ketua KPPS harus mampu menggerakkan Anggota KPPS menyelesaikan tahapan demi tahapan secara jelas dan terukur.Â
Petugas KPPS wajib melaksanakan gladi bersih untuk menentukan tugas masing-masing, baik secara personal, kolektif, dan kolaboratif. Sehingga pekerjaan dan tanggung jawab dapat diselesaikan dengan baik, efektif, dan efisien.
Dengan re-evaluasi dan re-formulasi yang lebih manusiawi dan logis, semoga tidak ada lagi istilah "Kapok" menjadi petugas KPPS dan yang lainnya. Demi tanggung jawab bersama. Menegakkan demokrasi. Mewujudkan pemerintahan yang amanah di lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Probolinggo, 01.05.2019.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H