Tulisan ini terinspirasi puisi karya Tilaria Padika.
Kaum Toleran di Sunyi Fiksiana
Di ramai Kompasiana mereka bertahan
pada sunyi fiksiana mereka melawan
orang-orang yang bukan tokoh
membangun benteng kokoh
Silent majority bukan mereka
minoritas ribut adalah mereka
suarakan toleransi dengan tegas
melawan kebencian identitas
Ada Syantrie Aliefya
Ada Latifah Maurinta
Ada Ishak R. Boufakar
Ada Rudy Yuswantoro
Ada Arif R. Saleh
Juga para awak Planet Kenthir
dan banyak lagi, tak perlu khawatir
sebutkan saja nama-nama
Lihatlah puisi-puisi mereka
serukan Bhinneka Tunggal Ika
Bacalah cerpen-cerpen mereka
Ingatkan hakikat merdeka
Di benteng sunyi Fiksiana
mereka terus berkata-kata
mungkin kurang menarik
sebab berkubu mereka menolak
bukan haters
tak pula blind lovers
Di Fiksiana
Sunyi istana
***
Tilaria Padika
Timor, 12/01/2017
Aku tak mengenal Tilaria Padika. Juga belum bertatap muka dengan Syantrie Aliefya, Latifah Maurinta, Ishak R. Boufakar, Rudy Yuswantoro ataupun para awak Planet Kenthir yang memang kenthir-kenthir.
Namaku disebut. Membuat jidat ini berkerut. Secara subyektifitas kuakui. Aku bukanlah haters. Bukan pula blind lovers. Persis yang digambarkan Tilaria Padika pada puisi di atas.
Aku berpuisi. Memuntahkan isi hati. Tak ingin negeri yang aku dilahirkan dan juga kau. Hancur berantakan. Ini bukan jazirah Arab. Seperti yang dimuntahkan Syantrie Aliefya dalam puisi atau sajak berikut ini di kanal Fiksiana Kompasiana nan sunyi tapi berisik oleh kaum toleran.
Bukan Bangsa Pelupa
kita semua terlahir sebagai anak-anak merdeka
menghirup bumi dan tanah air khatulistiwa
tempat terindah untuk bercengkerama
semoga kita bukan bangsa pelupa
bahwa leluhur kita menjadi bidan Pancasila
sehingga yang mayoritas terkena wabah euforia
kita bukan keturunan bangsa durjana
yang memaksakan birahi dan nafsu pada syahwat dunia
menekan luar biasa pada siapa pun yang berbeda
kita menjadi ada bersama mereka yang berbeda
agama bukan alat politik dan pemecah negara bangsa
ia merajut benang yang berbeda menjadi indah berwarna
hentikan segala permusuhan dan kebencian
karena takdir tidak menuntut adanya persamaan
namun perbedaan bisa menjadi dahsyatnya sebuah kekuatan
semoga kita tidak menjadi bangsa pelupa
bahwa kita tidak berada di jazirah Arabia
tapi kita terlahir bersama menjadi Indonesia
jika masih saja ada ritual saling mengkafirkan itu
maukah kulucuti kumis dan jenggotmu satu persatu
atau kau pilih memelorotkan daster dan celanamu
Bandung, 11 januari 2017
Tegas dan gamblang menyuarakan keresahan. Tak ingin negeri tercinta ini hancur lebur seperti sebagian negeri yang ada di Jazirah Arab. Tegas meneriakkan ini negeri yang dibangun dari perbedaan untuk kebersamaan. Tempat terindah bercengkerama dipayungi Pancasila. Sesuai takdir yang tak menuntut adanya persamaan. Mengedepankan kebhinekaan agar negeri ini menjadi kuat dan jaya.
Akupun terhenyak. Teringat beberapa kejadian masa lalu. Kerusuhan Sampit, Sambas, Ambon dan yang lain, tak cukupkah membuat kita miris? Coba tengok lagi. Tak cukupkah membuka mata dan hati kita. Betapa harga diri kita sebagai bangsa luhur berbudaya, lebur dan diinjak-injak sendiri. Bahkan ternodai dan diludahi sendiri. Darah yang mengalir hingga beku. Tajam senjata yang saling tebas daging-daging bangsa sendiri, saudara-saudara, anak dan cucu yang tak tahu apa-apa. Masihkah belum mampu membuat kita sadar. Kita bukanlah binatang. Kita adalah manusia yang lahir dan ingin hidup damai di negeri tercinta.
Beyond Blogging, tanpa batas kami bersuara dan berteriak. Marilah kita sadar diri. Sudah cukup darah menetes dan mengaliri negeri anugerah Sang Maha Pencipta. Jangan lagi kau tumpahkan darah saudara sendiri.
Di kanal Fiksiana Kompasiana, adalah istana sunyi kami, tempat kami meneriakkan toleransi. Saling bertautan untuk satu tujuan. Mewujudkan kebersamaan dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika. Di tempat sunyi kami pajang harapan. Lewat kata dalam bingkai sastra. Agar bangsa ini tak retak. Seperti yang terlontar dari puisi Rudy Yuswantoro.
Jangan Berkaca Retak
Bersama deru ombak
Angin yang berhembus kencang
Kuarungkan keresahan jiwaku, dan
Mengkaramkan kemelut tak kunjung reda
Aku semakin lingkungannya
Hari-hari tak dapat ditemuinya
Isi pertiwi dipenuhi kepintaran diri
Seakan benar tiada punya rasa salah
Dimana dasar Pancasila
Yang isinya mencerminkan kedaulatan
Sudah bosankah dengan kerukunan hidup
Atau kepentingan adanya perpecahan antar umat
Namun pinta padamu
Wahai insan berhati mulia
Jangan kita berkaca pada keretakan
Sadar diri demi keutuhan bumi pertiwi
Surabaya, 27-12-2016 wib
Kompasiana dengan slogan “Beyond Blogging”, kami menembus batas dan menggantungkan harapan. Keutuhan bangsa di atas segalanya. Jangan sampai hancur lebur. Luluh lantak. Saling tikam dan tebas raga.
Di sunyi Fiksiana Kompasiana, kami tak mengharap sanjungan. Sekedar merangkai kata sastra. Dalam bentuk puisi, sajak, cerpen dan bentuk lainnya. Hanya satu tujuan untuk saling mengingatkan. Anak-anak bangsa, keluarga, dan saudara bukanlah mangsa. Mereka adalah harapan kita di masa kini dan masa yang akan datang. Mewujudkan Indonesia jaya dan sejahtera.
Di kanal Fiksiana Kompasiana, istana sunyi kami, kepada penguasa dan yang tak punya kuasa. Ingatlah Jasmerah (Jangan Sampai Melupakan Sejarah). Negeri ini dibangun dan tegak oleh para pejuang, bukan pecundang. Tegakkan panji-panji keadilan dan kebersamaan. Singkirkan intrik-intrik. Jangan lagi kau pantik. Demi terwujudnya rakyat dan negara Indonesia adil dan sejahtera dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika. Fiksiana Kompasiana adalah istana sunyi kami. Tempat kami berisik meneriakkan toleransi di negeri tercinta ini. Itulah peran Blog bagi kami sebagai bagian dari Blogger.
Ijinkan kami tutup secuil isi hati untuk NKRI lewat puisi di bawah ini.
Puisi Untuk NKRI
Dalam tidur, engkau mengigau di deru perang
Merah darah dan putih tulang
Tak lagi kau bentengi dengan tameng baja
Yang ada hanya tekad meletup dan menggelora
Tak kendur di gempur meriam
Tak surut di hujan peluru tajam
Merangsek ke depan
Menerjang menerabas lawan
Demi tekad yang membenam dalam di hati
Demi pekik “MERDEKA ATAOE MATI!”
Saat kau bangun, di ini masa
Merah darah dan putih tulang penopang raga
Kau sumpal panji-panji politik
Berbuntal hasut dan intrik-intrik
Amarahmu tertanam di bumi pertiwi
Sloganmu “AKU HIDUP LAWAN MATI!”
Menumpahkan darah sebangsa
Menancapkan keinginan bersampul SARA
Mencabik-cabik NKRI
Bukan lagi harga mati
Anak-anak yang kau lahirkan
Bukanlah korban-korban
Kedengkian
Kemurkaan
Keserakahan
Yang kau kibarkan atas nama perjuangan
Jiwa dan raga anak-anak bangsa
Keluarga dan saudara
Adalah harapan di tiap masa
Demi NKRI tercinta
Agar tetap jaya
Bukan kau jadikan mangsa
Ingat bung!
Jasmerah!
Negeri ini merdeka dan dibangun oleh para pejuang!
Bukan pecundang!
Semoga kalian sadar!
Senyampang negeri ini belum hancur terkapar!
NKRI, 13 Januari 2017
Facebook: Arif R. Saleh
Twitter: @ArifSaleh
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H