Seibarat prajurit kalap haus kemenangan
Merangsek ke depan menyeruak tak peduli rintangan
Di baris terdepan bertarung lihai memainkan pedang
Pun juga mahir melesakkan anak panah busur direntang
Mata tajam memancar kagum bukan hanya pada kata
Senyum dirangkai hanya untuk yang dituju semata
Jelas terlihat isi hati mengharap mutiara cinta
Pada guru yang hanya berniat menyalakan pelita
Pojok ruang yang sepi nekat menghadang tanpa sapa
Melesakkan berondongan peluru kata penuh makna
Merangkai nada memberi irama pada cinta buta
Yang sebenarnya belum saatnya dilepas di dini usia
“Demi cintaku akan kuberikan segalanya untukmu”
Menggelegar seibarat halilintar di siang bolong yang meledak tiba-tiba
Memekakkan telinga penyala pelita menggetarkan kedamaian di dada
“Belum saatnya kau bangun istana dengan lima belas anak”
Wajah yang terhenyak memoles gincu belum mampu memakna
Di jalanan ia melakonkan cinta monyet mengundang sinis ditanda
Atau lebih hina lagi menggadai kehormatan
Menanam bunga liar di seragam sekolah
Yang kau lempar di pojok kamar hotel berbintang
Memimpikan La Paiva hadir menyaksikan pertarungan
Dunia Fiksi, 29 Juni 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H