Mohon tunggu...
ARIF R. SALEH
ARIF R. SALEH Mohon Tunggu... Guru - SSM

Menyenangi Kata Kesepian dan Gaduh

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Siswa Dapat Nilai 100 di Rapor, Mungkinkah?

2 April 2016   22:24 Diperbarui: 3 April 2016   11:19 1831
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Ilustrasi siswa. Sumber: Kompas.com"][/caption]Pernahkah kita dihadapkan pada kenyataan seorang guru tidak pernah memberikan nilai 90 atau bahkan 100 di rapor kepada anak didiknya? Kadang kita juga mendengar ada seorang guru yang menetapkan standar penilaian hasil belajar anak didiknya seenaknya sendiri? Rentang nilai anak didik hanya antara digit 60 sampai 80. Sedangkan nilai 90 untuk guru. Nilai 100 (sempurna) hanyalah milik Tuhan Yang Maha Sempurna.

Yang lebih “mengerikan”, kadang ada guru yang menetapkan hasil belajar peserta didik berdasarkan tampilan “fisik”. Artinya, ada guru yang memberikan nilai 80 hanya untuk “anak cantik”, nilai 70 untuk anak “lumayan cantik,” sedang yang tidak masuk kriteria “keduanya” diberi nilai 60. Jelas guru yang semacam ini hanya mengedepankan subjektivitas “fisik” dan mengesampingkan dampak “psikis” dalam menetapkan hasil belajar anak didiknya. Imbasnya, minat dan usaha obyektif hasil belajar anak didik “dikebiri”. Semoga ini hanya terjadi jaman dulu dan tidak untuk jaman sekarang dan seterusnya.

Kalau jaman sekarang masih ada guru yang masih menetapkan standar penilaian sebagai hasil belajar peserta anak didik seperti di atas, itu namanya “tidak adil”. Mungkin bahkan ada yang bilang “terlalu”. Atau bisa juga “bukan guru profesional” dan “tidak kompeten”. Ini bukan jamannya lagi dan “tidak dibenarkan”.

Menjadi seorang guru tidaklah mudah. Guru adalah jabatan profesi yang memiliki berbagai keahlian khusus seperti profesi lainnya. Dalam hal menilai hasil belajar anak didik, ada standar tertentu yang harus menjadi kepatutan dan patut diterapkan. Bukan sembarang menilai dan menentukan kriteria penilaian hasil belajar peserta didik seenaknya sendiri. Apalagi hanya mengedepankan faktor “subjektivitas” dalam proses dan penetapan akhir hasil belajar anak didik.

Untuk sekolah yang masih menerapkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), acuan penilaian tertuang pada Permendiknas Nomor 20 Tahun 2007. Pada Pasal (1) menegaskan bahwa “Penilaian hasil belajar peserta didik pada jenjang pendidikan dasar dan menengah dilaksanakan berdasarkan standar penilaian pendidikan yang berlaku secara nasional”. 

Artinya, seorang guru dalam melaksanakan penilaian hasil belajar harus berdasar pada standar pendidikan yang berlaku secara nasional sesuai dengan Permendiknas Nomor 20 Tahun 2007. Bukan dengan cara menentukan sendiri mekanisme, prosedur, dan instrumen penilaian hasil belajar peserta didiknya. 

Standar Penilaian Pendidikan kurikulum 2013 mengacu pada Permendikbud No. 66 tahun 2013 tentang standar penilaian pendidikan yakni kriteria mengenai mekanisme, prosedur, dan instrumen penilaian hasil belajar peserta didik. 

Penilaian pendidikan sebagai proses pengumpulan dan pengolahan informasi untuk mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik mencakup: penilaian otentik, penilaian diri, penilaian berbasis portofolio, ulangan, ulangan harian, ulangan tengah semester, ulangan akhir semester, ujian tingkat kompetensi, ujian mutu tingkat kompetensi, ujian nasional, dan ujian sekolah/madrasah.

Jika pada kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP), penilaian hasil belajar lebih ditekankan pada aspek kognitif yang menjadikan tes sebagai cara penilaian yang dominan, maka kurikulum 2013 menekankan aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik secara proporsional. Sistem penilaiannya berdasarkan test dan portofolio yang saling melengkapi. 

Jika tujuan pendidikan untuk mewujudkan insan madani, sepatutnya penilaian secara holistik mencakup aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik.

Lantas, apakah anak didik dapat memperoleh nilai 100 dan sepatutnya tertulis pada rapor dengan angka 100? Jawabannya “ya” dan sepatutnya itu adalah “hak anak didik” yang perlu ditulis dengan hati gembira oleh guru. Asalkan anak didik mampu memenuhi kriteria ketercapaian hasil belajar untuk mencapai nilai 100. Baik pada ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik.

Dalam hal ini guru harus mengedepankan “asas keadilan” dan “obyektifitas” sebagai suatu hak dalam merancang, menerapkan, dan menetapkan hasil belajar peserta didik. 

Transparansi dan kesinambungan dalam proses perancangan, penerapan, penetapan, dan pelaporan penilaian hasil belajar mutlak dikedepankan, disampaikan, dan disepakati kepada anak didik dan pihak-pihak yang berkepentingan. Sehingga ada keseimbangan antara tugas sebagai kewajiban dan hak sebagai hasil akhir dalam proses penilaian hasil belajar yang dilakukan oleh guru dan sepatutnya didapat oleh anak didik. Semoga.

Probolinggo, 02 Maret 2016

Acuan:

Permendiknas Nomor 20 Tahun 2007 tentang Standar Penilaian Pendidikan (KTSP)

Permendikbud No. 66 tahun 2013 tentang Standar Penilaian Pendidikan (Kurikulum 2013)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun