Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang bergulir jelang habisnya masa kepemimpinan Joko Widodo sebagai Presiden RI membuat masyarakat, khususnya kalangan pekerja meradang. Pasalnya, kebijakan ini dinilai sangat tidak masuk akal, dan dianggap menyusahkan masyarakat berpenghasilan rendah. Mantan Menteri Keuangan Chatib Basri mengatakan, bahwa program Tapera ini pernah ditolak di masa kepimpinan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono. Chatib bilang, Tapera tidak masuk akal jika dihubungkan dengan usia masyarakat untuk memiliki rumah.
Kata Chatib dalam podcast Malaka Project seperti dikutip dari Bisnis 24 menerangkan, usia masyarakat untuk memiliki rumah itu berada pada rentang 30 sampai 40 tahun. Sedangkan program Tapera ini baru bisa didapat pekerja pada usia 58 tahun. Selama puluhan tahun pula, pekerja harus menunggu lama untuk mendapatkan rumah. Dan kalaupun akhirnya pekerja mendapatkan hasil tabungannya di Tapera itu kelak, apakah uangnya cukup untuk membeli rumah?
Sedangkan kita ketahui, bahwa semua harga tanah termasuk bangunan akan mengalami kenaikan harga. Misalnya saja rumah program Kredit Kepemilikan Rumah (KPR). Tiap tahun, biaya cicilan rumah yang dipatok developer selalu naik. Tahun 2000-an, mungkin cicilan rumah masih Rp 800 ribu. Sedangkan saat ini, beberapa developer yang bekerjasama dengan pihak perbankan mematok cicilan rumah KPR perbulan bisa sampai Rp 1.200.000 atau Rp 1.300.000. Kenaikan cicilan rumah ini masih masuk akal, karena harga tanah dan bahan bangunan juga naik.
Lantas, bagaimana dengan Tapera yang uangnya bersumber dari 2,5 persen gaji pekerja? Apakah uang itu bakal cukup untuk membeli rumah di usia tua para pekerja? Tentu pertanyaan ini terus menggelayut di kepala masyarakat, khususnya kalangan buruh berpenghasilan rendah. Karena hal itu pula, Menteri PUPR Basuki Hadimuljo sampai mengungkapkan rasa penyesalannya setelah melihat kemarahan masyarakat. Ia pun mengatakan, mestinya keputusan soal Tapera ini tidak perlu diambil secara tergesa-gesa.
Kata Basuki, negara selama ini sudah memiliki program Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP). Anggaran yang bersumber dari APBN untuk mensubsidi bunga perumahan mencapai Rp 105 triliun. Sedangkan Tapera, kata Basuki, jika dikalkulasikan dalam 10 tahun kedepan mencapai Rp 50 trilun. Karena hal itu, Basuki pun mengaku tidak legowo dengan keputusan ini. Ia pun meminta agar aturan ini jangan buru-buru diterapkan.
Kalaupun mau menerapkan aturan ini, masyarakat meminta agar negara membangun terlebih dahulu rumahnya. Kalau sudah rumahnya ada dan bentuk fisiknya bisa dilihat masyarakat, mungkin buruh legowo dikutip uangnya. Jangan dikit-dikit kutip uang, tapi wujudnya tidak ada. Ini yang kadang membuat masyarakat murka.
Penuh Kecurigaan
Terbitnya keputusan pemerintah soal PP No 21 tahun 2024 ini turut menimbulkan kecurigaan masyarakat. Warga menduga-duga, bahwa munculnya aturan ini ada hubungannya dengan pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) dan program makan siang gratis pemerintah berikutnya. Namun, kecurigaan ini dibantah oleh Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko. Kata Moeldoko, Tapera tidak ada hubungannya dengan IKN dan makan siang gratis.
"Tapera ini tidak ada hubungannya dengan APBN, enggak ada upaya pemerintah untuk membayar makan gratis, apalagi untuk IKN. Semuanya sudah, IKN sudah ada anggarannya," kata Moeldoko, dilansir dari ANTARA.
Moeldoko bilang, bahwa dana Tapera dikelola secara transparan melalui Komite Tapera yang dipimpin oleh Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat dan beranggotakan Menteri Keuangan, Menteri Ketenagakerjaan, Komisioner OJK serta kalangan profesional. Meski begitu, faktanya Menteri PUPR sendiri menolak aturan ini. Sebab penerapan Tapera dianggap ssangat tidak masuk akal.
Mesti Dihentikan
Karena banyaknya penolakan dari masyarakat, sudah sepatutnya kebijakan mengenai Tapera ini segera dihentikan saja. Sebab dapat dipastikan, masyarakat, khususnya kalangan pekerja merasa keberatan dengan aturan ini. Apalagi pekerja yang sudah memiliki rumah, tetap dipotong gajinya untuk keperluan Tapera tersebut.