Apa kita pernah atau bahkan sering melupakan sesuatu? Lupa berarti tidak ingat. Tidak ingat ya itu berarti lupa. Jadi kalau kita melupakan sesuatu yang tidak ingin kita ingat, itu berarti kita tak ingin mengingat apa yang seharusnya dilupakan. Kalau mau mengingat sesuatu yang ingin kita ingat ya jangan lah melupakan. Weuuh.
Pernahkah terliintas bahwa ternyata “lupa” punya berkah kenikmatan tersendiri. Tuhan maha sempurna, di samping menyertakan otak untuk menyimpan jutaan memori ingatan, sekaligus pula Tuhan menyertakan “lupa”. Bayangkan jika ingatan itu permanen, muncul setiap waktu di hari-hari kita. Berapa banyak manusia yang akan terus dibayangi ketakutan, kekhawatiran dan kegelisahan dari ingatan buruk masa kecil sampai dewasa hingga tua usia. Bayangkan bila tidak ada lupa. Berapa banyak waktu terbuang dengan mengenang ingatan. Bayangkan pula bila kenangan manis bersama sang mantan terus terbayang, berapa banyak waktu terbuang yang menghambat untuk move on :D. Maka bersyukurlah adanya “lupa”. Tentu saja dalam beberapa hal tertentu, “lupa” itu sungguh nikmat.
Hebatnya Lupa
Lupa sangat membantu kita, sebagai orang Indonesia yang konon sudah terbiasa menghadapi berbagai macam bentuk penderitaan dari jaman penjajahan hingga kini, kesusahan, kesengsaraan, dizalimi dan dikhianati. Konon, saking terbiasanya menderita hingga lupa bagaimana rasanya sakit penderitaan itu.
Setujukah kita kalau orang Indonesia yang pelupa itu hebat? Bagaimana tidak hebat, orang Indonesia yang pelupa itu seringkali dan konon sudah terbiasa lupa pada penderitaan. Usut punya usut, ternyata sebagian besar orang Indonesia itu yang pelupa adalah mereka yang tidak “pundungan”, alias bermental baja, mungkin. Ambil contoh, rakyat yang dilupakan pejabat negara, lupa disejahterakan, lupa kepentingannya disepelekan, dan lupa nasib mereka diperhatikan. Mereka itu hebat kan?
Pejabat negara yang pelupa juga “hebat”. Hebat sekali melupakan amanah memimpin dan melayani masyarakat bangsa ini. Pejabat yang hebat lantaran pelupa itu, hebat pada sisi “lupa” bagaimana jargon niat awal untuk memegang tanggungjawab jabatan sebaik-baiknya, lupa tekad mensejahterakan masyarakat, lupa untuk melayani kepentingan masyarakat banyak. Mungkin juga mereka lupa pada imannya, lupa pada agama, lupa kelak amanah jabatan itu akan dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan dan diganjar dengan balasan setimpal.
Padahal pejabat itu seharusnya lupa mengejar keuntungan pribadi dan golongannya. Seharusnya pejabat itu melupakan dirinya sendiri, karena kalau sudah jadi pejabat berarti dalam konteks tertentu ia adalah abdi masyarkat, pelayan masyarakat dan pemegang tanggungjawab jabatan itu. Seharusnya mereka itu lupa pada egonya dengan melupakan bahwa yang paling utama itu adalah kepentingan masyarkat umum, bukan kepentingan pribadi dan konco-konconya.
Tapi bagaimana lagi, sebagian besar masyarakat kita juga lupa mengingatkan pejabatnya. Entahlah, mungkin tak berdaya, takut, gengsi atau malas. Sehingga sebagian dari mereka yang tak lupa dan punya keberanian berusaha mengingatkan pejabat dengan demo, protes, dan lain-lainnya.
Para Pelupa
Dari item kebutuhan dasar manusia, kiranya perlu mencantumkan komoditas “lupa” sehingga kebutuhan dasar manusia tidak hanya sandang, pangan dan papan. Karena di negeri pelupa ini, dibutuhkan banyak lupa untuk tidak mengingat betapa kesulitan, ketidakadilan dan ketimpangan menjadi makanan keseharian. Sebagai warga negara yang baik, diwajibkan banyak-banyak lupa agar tidak ingat akan tuntutan janji-janji muluk kampanye pejabat dan pemimpin-pemimpin kita. Sebagai warga yang baik juga diwajibkan banyak lupa agar tidak mengingat kesewenang-wenangan dan penyelewengan-penyelewengan oknum pejabat.
Jadi kalau mau sukses bertahan di negeri pelupa ini, tips terbaik adalah harus punya ilmu lupa dan mengamalkan sebanyak-banyaknya agar lupa kesulitan ekonomi, lupa karena harga BBM naik harga kebutuhan pokok ikut naik dan setelah harga BBM turun harga kebutuhan pokok juga lupa turun lagi. Para motivator kesuksesan diwajibkan pula untuk menghegemonikan “motivasi sukses dengan lupa”, agar yang dikasih motivasi itu lupa bahwa hari esok sulitnya sama dan mungkin lebih sulit dari pada hari kemarin. Agar mereka termotivasi melupakan kesusahan dan yang harus selau diingat adalah optimisme dan semangat juang.
Dan hebatnya juga sebagian besar warga Indonesia juga lupa pada nasionalisme. Lupa bahwa NKRI ini merdeka tidak gratis tapi diperjuangkan atas jerih payah, bahkan pengorbanan para pahlawan bangsa. Sehingga akibat lupa pada nasionalisme dan lupa pada jasa-jasa para pahlawan, para oknum yang pelupa ini tega menggadaikan bangsa ini demi kepentingan pribadi dan kelompoknya.
Lagi-lagi, tak sedikit pula yang lupa di negeri ini ada aturan dan landasan hukum yang mengatur segala aspek kehidupan. Sehingga karena lupa itulah secuil oknum bertindak sesuka udelnya langgar sana langgar sini merugikan orang lain, merasa punya kekuatan bisa membuat lupa aparat penegak hukum menindaknya.
Sungguh menggelikan di negeri pelupa ini, orang dibuat tak sulit melupakan. Seiring datangnya musim hujan dan konon kebakaran hutan sudah padam karena curahan air dari langit lantas membawa hanyut kasus kebakaran hutan entah ke laut mana. Walhasil lupalah orang pada kebakaran hutan yang dampaknya menyengsarakan rakyat, bahkan memakan tumbal nyawa rakyat tak berdosa. Tapi lain dari itu, warga masyarakat yang kebagian dampak asap kebakaran lahan juga dengan hebat dan legowo lupa beberapa bulan di tahun kemarin mereka menderita karena dampak asap. Hebat bukan?
Konon di negeri pelupa ini, selain mudah lupa, orang-orangnya juga jago membuat lupa. Entahlah, setelah penulis yang pelupa juga sempat terbersit kalau peristiwa-peristiwa yang menjadi isu besar itu adalah upaya membuat lupa. Misalnya, konon untuk membuat publik lupa pada kasus kebakaran, muncullah isu besar ramai-ramai menyorot papa minta saham. Konon juga sorotan papa minta saham upaya untuk melupakan desas-desus Freeport. Lantas setelah itu ada peristiwa teroris Sarinah Thamrin yang konon untuk melupakan isu besar sebelumnya. Dan masih banyak lagi. Entahlah. Dan tentu saja penulis juga lupa bahwa penulis bukan pengamat yang kompeten. Ini sekadar asumsi iseng.
Harus Banyak Lupa
Tapi memang jika Indonesia ingin menjadi bangsa yang lebih hebat lagi, mungkin harus lebih banyak lupa. Supaya bangsa ini menjadi bangsa yang tidak “pundungan”, yang bermental baja dan tidak banyak sakit hati. oleh karena Indonesia, dan kebanyakan rakyatnya cepat melupakan para pendosa, lupa pada banyak kasus penyelewengan, korupsi dan kesewenang-wenangan yang terjadi di negeri sehingga Indonesia akan dinobatkan sebagai negara “move on” tercepat di seantero jagad.
Sebagai rakyat kecil, da kita mah apa atuh, cuma bagian kecil di negeri pelupa ini. Mau bagimana lagi kalau ingin hidup tenang dan tidak banyak galau, mungkin harus banyak-banyak lupa. Kalaupun mau menyalahkan si “lupa”, ah tidak mungkin juga, karena lupa adalah bagian dari fitrah manusia. Jadi, lupa sungguh membantu mengingatkan kita adalah manusia. Lupa sungguh membantu kita semakin menjadi manusia hebat bukan?
Tuh kan, penulis juga akhirnya lupa membuat kesimpulan, konklusi, hipotesi, saran rekomendasi tulisan ini. Dan, tadinya sih buuaanyak ide yang hendak dituliskan di sini, tapi ah lupa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H