Mohon tunggu...
Array Nuur
Array Nuur Mohon Tunggu... -

krusuk-krusuk... pletuukkk... ketimprang..... bledugg.... jedoorrrr.... hapooowww.... cleebbb.... deziiiigggg... deziiiiggg..... tuuuuuuiiiiiingggg... duaaarrr.... 2654042D

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Rindu Itu Koma: Kisah Kecil Epilepsi #Stadium 3 - Tiga Puluh Tujuh s/d Tiga Puluh Sembilan

15 Oktober 2013   12:35 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:31 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

***

Koma mengajukan permintaan pada Mat Boncel untuk berganti pekerjaan lagi. Mat Boncel mengamini, dengan prasyarat target pemasukan dari Koma diusahakan tetap besar. Bagi Mat Boncel, Koma serupa pohon yang selalu berbuah di semua musim. Tak peduli Koma menjadi pohon apa pun, yang penting menghasilkan buah.

Sangat menarik bagi Koma mencoba pekerjaan baru yang belum pernah dilakukannya. Dia berfikir, akan menyenangkan membuat barang lama menjadi mengkilat dan seperti baru. Terlintas dalam benak, "Sepatu".

Koma berpendapat sepatu harus mendapat perhatian yang layak. Orang-orang kerap menganggap sepatu hanya benda khusus diinjak, lalu setelah itu, disimpan dan dilupakan begitu saja. Sepatu juga perlu mendapat penghormatan serupa dengan barang lain. Dia adalah pelindung yang baik dan sedia berkorban. Dia paling pertama merasakan panas, dingin, basah dan kotor. Tapi dia tak pernah protes manakala dibiarkan begitu saja di sudut, bahkan menjadi sarang nyamuk, laba-laba atau kecoa.

Koma merasa terhormat melakukan pekerjaan itu. Apapun alasannya, apa itu serupa wacana pemuliaan sepatu sekalipun, dia tak peduli. Yang penting dia merasakan tertantang untuk memuliakan sepatu. Dan bagi Mat Boncel, Koma adalah pohon, apakah dia akan menjadi pohon mangga, jambu, alpukat, atau buah apa pun, tetap dapat dipanen Mat Boncel.

Koma sangat menikmati setiap gosokan, sikatan dan lumuran semir untuk sepatu-sepatu yang dilayaninya. Setelah puas dengan profesi penyemir sepatu, dan sudah merasa cukup mengerjakan tugas mulia memberikan penghargaan tempat terhormat bagi sepatu, serta merasakan nikmatnya menerima beberapa rupiah dari orang-orang yang bahkan tak mengindahkan keberadaan sepatu, dia terpacu mencoba pekerjaan lain. Dia bereksplorasi lagi untuk menemukan sesuatu yang baru dan penuh tantangan yang dapat mengalihkan dari kerinduan pada sang ibu.

Koma pikir, mungkin melayani saja. Menghampiri dan memudahkan orang-orang yang disebut "konsumen". Pekerjaan baru itu adalah menukar sesuatu yang dibutuhkan mereka dengan sesuatu yang kita butuhkan. Serupa dengan menukarkan kepastian dengan kepastian lainnya. Sesuatu yang berantai. Mereka mendapatkan dari orang lain keempat, orang lain keempat mendapatkan dari orang lain ketiga, orang lain ketiga mendapatkan dari orang lain kedua, dan seterusnya. Koma meneruskan dari entah orang lain ke berapa kepada yang membutuhkannya.

Koma merasa gagah menyandang kotak di dadanya. Kotak itu berisi berbagai barang-barang yang dibutuhkan orang-orang di jalanan. Dia begitu bangga, seolah kotak itu berisi nyawa cadangan bagi prajurit yang sekarat di medan perang. Seperti menyandang kotak berisi labu-labu darah untuk mereka yang membutuhkan transfusi dengan segera.

Dia menjadi kutu loncat, berpindah dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain. Kebosanan yang kembali cepat mendera membuat dia memikirkan beralih ke pekerjaan baru. Bukan lantaran menjadi pedagang asongan membuatnya kerepotan menghadapi aneka rupa permintaan orang. Bukan pula karena pekerjaan itu lebih berat sebab selain menjual, dia juga harus bersuara. Serupa dua item kerja digabung jadi satu. Tapi suaranya tidak ikut dijual. Hanya sebagai pemanggil, ibarat gelegar petir yang memanggil datangnya hujan. Dia beralih ke pekerjaan lain lantaran sudah merasa cukup menjadi seorang perantara, antara produsen dan konsumen. Juga bukan karena hitung-hitungan keuntungan, toh Koma masih anak ajaib yang senantiasa dinaungi keberuntungan.

Koma menjadi haus akan sesuatu baru dan penuh tantangan, yang di dalamnya terdapat sensasi kenikmatan "kesulitan". Dan, sebetulnya dia banyak memburu kesulitan adalah satu cara untuk mengalihkannya dari kerinduan, untuk memetamorfosiskan diri agar tidak menjadi kepompong picisan.

Koma tertarik pada mawar. Bunga bermacam warna dengan masing-masing warna memiliki interpretasi dan penggambaran simbolis berbeda-beda. Mawar warna ini mengandung maksud dan arti simbolik ini, sedangkan mawar warna itu mengandung perlambang simbolik itu. Dia tertarik pada mawar bukan karena berubah feminis, yang pandangan dan jiwanya menjadi sehalus perempuan. Tapi lebih dilantarankan permainan makna dalam bentuk dan warna, juga aroma yang menggelitik perhatiannya. Pada mawar, Koma mencoba menangkap ruh bukan memerangkap raganya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun