Mohon tunggu...
Array Nuur
Array Nuur Mohon Tunggu... -

krusuk-krusuk... pletuukkk... ketimprang..... bledugg.... jedoorrrr.... hapooowww.... cleebbb.... deziiiigggg... deziiiiggg..... tuuuuuuiiiiiingggg... duaaarrr.... 2654042D

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Rindu Itu Koma: Kisah Kecil Epilepsi #Stadium 3 - Tiga Puluh Tujuh s/d Tiga Puluh Sembilan

15 Oktober 2013   12:35 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:31 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Suatu siang di jalanan pada jam kerja, Koma mengendus pertanda epilepsinya akan segera kambuh, dia meminta agar ditangguhkan sampai saat tepat dan di tempat yang tepat. Saat tepat itu adalah malam hari, di sebuah tempat yang jauh dari jangkauan penglihatan siapapun. Selama hidup di ibukota permintaan penangguhan kekambuhan epilepsinya selalu terkabul dan tiada satu pun yang tahu. Koma memilih merahasiakan epilepsinya bukan lantaran malu atau takut dijauhi orang-orang, tapi dia merasa itu suatu keharusan. Dia tak ingin episode hidupnya diganggu oleh adegan-adegan epilepsi. Koma ingin orang-orang murni mengenang hikayat dia di jalanan tanpa diselingi bagian epilepsinya.

Tiga Puluh Sembilan

~ Kutu Loncat yang Dinaungi Keberuntungan ~

Pekerjaan mendasar yang dilakukan hampir semua anak jalanan adalah sama, berjualan, menjual iba. Bertahun-tahun Koma mengemis, dia ingin mencoba pekerjaan baru yang lebih menantang. Selain menjual iba, dia juga ingin mencoba menjual suara. Rata-rata pekerjaan ini dilengkapi peralatan khusus. Ada yang memakai kepingan tutup botol minuman ringan yang dipakukan ke sebuah kayu kecil sebagai gagangnya. Alat itu mewakili sebuah tamborin, yang bila digoyang-goyangkan atau diketukkan ke pergelangan tangan akan menghasilkan sebuah simfoni pengiring. Simfoni begitu berani yang seringkali tak peduli notasi, yang terpenting adalah mengiringi.

Koma berganti pekerjaan menjadi pengamen. Mengamen bukanlah hal yang baru Koma temui. Sejak awal terjun di jalanan, Koma banyak bersentuhan dengan pengamen seusianya maupun yang sudah dewasa. Sejak Koma beralih profesi, rata-rata bocah seangkatannya ikut-ikutan Koma menjadi pengamen. Sebagai anak jalanan, mesin pengeruk keuntungan yang lalu lalang di jalanan, di perempatan jalan, di angkutan umum, mereka dirancang Mat Boncel untuk tak sekedar menadahkan tangan. Selain memberi kesempatan pada generasi berikutnya, yang berarti juga mengurangi persaingan di antara pengemis, Mat Boncel juga memberikan gambaran bahwa mengemis bagi anak yang beranjak remaja sudah tak lagi sesuai dengan umur. Pengembangan lain diperlukan supaya mereka menguasai beragam pekerjaan di jalanan, dan aliran pemasukan Mat Boncel tidak terputus.

Tingkat iba dan hasrat memberi sedekah pada anak jalanan pengemis yang menginjak umur remaja menurun dibanding pada bocah jalanan usia balita. Itu pula yang membuat Mat Boncel berfikir mengganti profesi beberapa anak asuhannya dari mengemis menjadi mengamen, apalagi setelah diilhami Koma. Mat Boncel berfikir harus ada yang dijual, sebagai timbal balik, sama halnya dengan menjual suara. Dan seperti prinsip dagang "konsumen adalah raja", orang boleh suka boleh tidak, boleh membeli atau tidak, boleh memberi atau tidak, dan tentu saja boleh menutup kuping rapat-rapat, tak acuh, atau memaki. Pekerjaan baru itu dinilai Mat Boncel lebih baik, lebih manis, dan sedikit lebih bergengsi.

Bocah pengamen lain yang tidak dilengkapi dengan perlengkapannya karena tak mampu membuat, atau malas membuat, hanya mengandalkan tangan sebagai sumber pengiringnya. Seringkali musik pengiringnya bukan lagi fals, tidak harmonis antara musik dan vokal, tapi sudah kacau. Ibarat plesetan ungkapan klasik "mensana in corporesano, musiknya ke sana nyanyinya ke sono". Tapi tepukan tangan itu, jika sesuai tempo yang stabil, akan menghasilkan harmonisasi simfoni pengiring statis yang konsisten. Mereka beralasan, dan sebuah pembenaran, ketukan-ketukan tak beraturan lebih alami, lebih jujur dan lebih tulus, sekaligus lebih memperlihatkan ketakberdayaan sangat mengharap belas orang untuk menghargai dengan sejumlah rupiah.

Dasar bocah beruntung, dan pada dasarnya Koma bocah ajaib yang selalu dinaungi keberuntungan. Pekerjaan apa pun yang dilakukannya senantiasa ada campur tangan keberuntungan. Di profesi baru itu, Koma menampuk hasil yang sama dan cenderung meningkat dibanding profesi sebelumnya sebagai pengemis. Lagi-lagi setoran Koma membuat senyum Mat Boncel melebar bak potongan tengah martabak Bangka.

***

Bertahun-tahun waktu siang banyak dihabiskan di jalanan, di bawah terik mentari langsung, kulit Koma menjadi legam. Tapi dia tetap manis. Bocah hitam manis yang tetap mempesona. Beberapa orang menganggap dia bukan anak jalanan, tapi artis cilik. Wajah dan tampilan Koma lebih mirip aktor cilik yang sedang syuting di jalanan sebagai pengamen cilik dengan kamera tersembunyi yang tak diketahui, agar adegan-adegannya lebih alami. Ibarat saat berperan sebagai pengamen cilik dalam sebuah produksi film itulah, orang-orang menganggap harus menghargai Koma dengan sepadan. Lazimnya di bioskop, untuk menyaksikan cerita dan adegan-adegan pemeran film tertentu, orang harus membayar. Itu serupa orang yang menonton film di bioskop manakala membeli tiket sesungguhnya salah satunya adalah membayar peran-peran aktornya. Jadi sebetulnya yang menggaji aktor dan aktris adalah penonton.

Bocah ajaib itu selalu diikuti keberuntungan di mana pun berada, membuat kehidupan di jalanan seringkali dilalui dengan indah. Selalu saja dapat dilewati dengan mudah, dan sangat jarang disisipi kesulitan. Sesekali hari-hari Koma diselingi kesedihan yang tercipta dari jelmaan kesepian dan kerinduan pada sang ibu. Kehidupan sekolah, jalanan dan di rumah penampungan yang selalu dilaluinya dengan mudah perlahan memunculkan kebosanan. Menurutnya, mesti ada sesuatu yang baru, tantangan baru yang lebih sulit. Koma remaja mulai tertarik pada sesuatu baru berjudul "tantangan" dan "kesulitan".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun