Meski tak ada yang dapat sebanding dengan sosok ibu, tapi bukan berarti tiada yang dapat menggantikannya untuk beberapa waktu. Koma menjadikan sosok Mat Boncel sebagai ibu. Ibu yang tercetus dari kerinduannya. Ibu yang terlahir dari rahimnya sendiri. Mat Boncel adalah Ibu ciptaannya. Mereka-reka rasa dan ruh ibu dalam sosok Mat Boncel adalah ketidakmungkinan yang cukup signifikan, seperti anggapan ketidakmungkinan ada petir di siang bolong di langit musim kemarau. Tapi, Koma tak peduli.
Dalam perbendaharaan kata di kamus hidup Koma tidak ada kata ayah. Bahkan dalam novel hidupnya, tak ada tokoh ayah di halaman berapa pun. Koma menganggap kelahirannya seperti kelahiran Nabi Isa, tanpa sosok ayah. Dia menganggap ayahnya adalah angin yang menyetubuhi ibunya. Ayahnya adalah badai yang datang tiba-tiba, mengganas dan berlalu begitu saja meninggalkan berbagai kerusakan, dan penderitaan.
Tak pernah tersimpan dalam laci memori Koma, bagaimana rupa, suara, nama dan semua tentang ayah, bahkan hikayat ayahnya pun begitu tabu dibicarakan sang ibu. Tidak ada secuil waktu pun yang disempatkan untuk membahas sosok ayah sebenarnya. Kalaupun hampir terbetik Koma menanyakan siapa ayahnya, Asih selalu saja dapat mengalihkannya. Hingga Koma terbiasa tanpa bayangan dan tanda tanya mengenai sejarah ayah kandungnya. Bahkan, lambat laun itu membuat dia sangat jarang sekali merasa iri manakala menyaksikan anak lain punya ayah. Hanya perasaan biasa, yang semakin biasa, polos, tanpa interpretasi apa pun. Baginya, titik! Dan, Koma tak membiarkan wacana ayah mengganggu kisah hidupnya, biar suatu saat saja, manakala sudah tercetus keberanian dan haknya diakui untuk mempertanyakan dan menghakimi.
Tiga Puluh Delapan
~ Penyembunyi Cerdik dan Penangguhan Epilepsi ~
Waktu, tekanan kepolosan, dan gebrakan yang dilakukan Koma berhasil menyulap hati seorang pria liar menjadi selembut sosok ibu. Mendadak menjadi murah hati, Mat Boncel berubah dari yang tak acuh menjadi sangat peduli akan masa depan Koma dan bocah-bocah jalanan asuhannya. Mat Boncel memasukkan Koma dan sebagian anak-anak lain ke sebuah sekolah dasar terdekat. Sang jenderal rumah penampungan itu memberi keleluasaan untuk membagi waktu antara waktu pribadi anak-anak jalanan asuhannya, yang banyak diisi dengan bermain atau belajar baik di sekolah maupun di luar sekolah, dan waktu dengan judul membela kepentingan kelangsungan hidup, yaitu tugas pokok mereka mencari uang di jalanan.
Sangat terbiasa di jalanan membuat rata-rata anak jalanan di sana enggan bersekolah. Pikir mereka, buat apa bersekolah kalau ujung-ujungnya nanti setelah tamat tetap saja merasakan bagaimana susahnya mencari uang. Bagi sebagian mereka, tak ada tempat yang paling nyaman selain di jalanan. Tempat duduk yang nyaman bagi mereka bukanlah bangku sekolahan, tapi marka jalan dan trotoar. Tempat yang teduh bagi mereka bukanlah di bawah naungan gedung sekolah, tetapi di bawah rindang pohon peneduh jalan yang berderet di sepanjang trotoar jalan. Bagi mereka, belajar bukanlah bagaimana menghafal aljabar dan menghitung perkalian, tapi bagaimana mencari uang sebanyak-banyaknya di jalanan. Dan, prestasi bagi mereka bukanlah mendapat rangking pertama atau lulus dengan nilai memuaskan, tapi ketika mendapatkan uang banyak hasil dari pekerjaannya di jalanan.
Mat Boncel sekarang bisa lebih demokratis. Dia tak memaksa bocah yang tidak mau sekolah dan tetap betah dengan semua ketidakberaturan itu, yang tidak mau menatap masa depan dan mempertanyakan apa yang dilakukan hari ini akan menentukan masa depan.
***
Enam tahun berjalan, rutinitas itu menghiasi hari-hari Koma. Jika sekolah pagi, dia bekerja siang hari usai belajar. Dan jika masuk siang, paginya walau hanya dua jam, Koma beraksi di jalanan. Mat boncel tak lagi mempersoalkan kekurangan setoran dari anak-anak asuhannya. Nurani Mat Boncel sebagai manusia yang telah pergi entah kemana, telah kembali. Tak ada yang mampu mengundang nurani lelaki itu, hanya Koma yang mampu mendatangkannya lagi.
Koma menjadi bocah penyembunyi cerdik menyembunyikan riwayat epilepsinya. Sesekali dalam waktu tertentu, tak pasti jangka waktunya, adakalanya epilepsi itu kambuh. Koma selalu dapat menyembunyikan epilepsinya dari pandangan mata siapa pun. Dia menjadi terlatih mengendalikan epilepsinya. Bahkan dia dapat menangguhkan kekambuhannya. Bila suatu waktu dia merasakan gejala epilepsinya akan kambuh, dia segera meminta agar ditangguhkan sampai saat yang tepat.