Tujuh
~ Cinderella di Cicadas ~
Bandung kala itu usai dilanda musim hujan paling mengerikan selama lebih dari sebulan, padahal seharusnya sudah masuk kemarau. Deras hujan tercurah seakan hampir sama seperti hujannya zaman Nabi Nuh. Jika saja hujan tak reda tiga hari berturut-turut, Bandung yang cekung seperti mangkuk dapat saja tergenang lalu tenggelam. Entah, serupa azab dari Allah sebab kemaksiatan merajalela. Atau mungkin hanya anomali cuaca yang terjadi setiap kurun waktu tertentu.
Manakala hujan reda untuk beberapa jam, udara lebih dingin menusuk tulang, sebanding sepertiga dingin kutub utara. Tiang-tiang jemuran dan lapak-lapak kayu pedagang pasar Cicadas terasa beku dalam sentuhan. Dalam seminggu, hanya satu hari tak hujan. Kadang Sabtu, kadang hari Selasa, sisanya, hari-hari tak luput diguyur hujan. Kelembapannya membuat barang-barang mudah rusak, terutama buah dan sayuran menjadi cepat busuk. Kayu-kayu bercendawan. Jalanan berlubang banyak digenangi. Air pekat bercampur limbah bau menyengat meluap dari saluran got yang tersumbat. Aroma lembap dan busuk berseliweran.
Salah satu kerabat Abah bersedia menampungnya, paling tidak, hingga keadaan desa tenang dan masyarakat dapat menerima kehadiran Asih lagi. Rumah Eman -adik sepupu Abah, dipilih sebagai pengungsian sementara sebelum menemukan tempat lain yang lebih baik. Dari desa yang tenang pindah ke kota. Cicadas sebenarnya tidak lebih aman dan nyaman dari pada kaki Gunung Galunggung. Itu serupa memindahkan Asih dari kandang harimau ke kandang serigala. Tapi, Abah punya pertimbangan lain.
Di tempat itu, bagi yang lemah, sangat riskan menjadi korban. Tapi untuk pendatang seperti Asih yang terbuang, masyarakatnya lebih terbuka. Sebagian tetangga tahu Asih hamil dan belum menikah. Keluarga Eman merasa tak perlu menyembunyikan apapun mengenai Asih, termasuk sisi kelamnya. Walau ditutup-tutupi, suatu saat akan diketahui juga. Tanpa disengaja, opini tetangga segera terbentuk bahwa Asih korban pergaulan bebas, belum kawin lantaran lelaki yang menghamilinya kabur tak mau bertanggungjawab.
Di tempat baru itu, Asih tak mudah cepat bergaul akrab dengan warga lain. Belum banyak tetangga dia kenal. Orang-orang di tempat itu acuh tak acuh. Tidak terang-terangan menyambut, juga tidak terang-terangan menolak keberadaan Asih. Seolah label nista atas keadaan Asih tidak terlalu dipermasalahkan dan sudah mafhum, daerah itu terbuka, terbuka menerima buangan para pendosa, penjahat dan siapapun yang merasa tidak ragu atau malu mempertunjukkan kemaksiatan, kecurangan dan ketidaklayakan lainnya. Daerah itu terbuka bagi siapa saja yang ingin tinggal dan membiasakan diri dengan kesemrawutan.
Walau terkesan tidak peduli, tak ambil pusing, tapi orang-orang di sana dipenuhi kecurigaan. Omongan, penglihatan, bahkan impian orang-orang baru akan dicurigai. Mata mereka senantiasa waspada terhadap ancaman yang akan ditimbulkan pendatang.
Bagi Asih, awal-awal, keindahan kota itu, tak lebih dari samaran, sesungguhnya adalah belantara diselimuti bangunan-bangunan urban. Sebagian penghuni ibarat hewan-hewan yang menyamar menjadi manusia, dengan bahasa dan tingkah laku menyerupai manusia.
Eman juga jelmaan hewan, dari jenis srigala. Dia dapat bersikap manis jika perutnya kenyang dan menjadi buas manakala kelaparan. Eman lebih tepatnya manusia serigala, bukan binatang seutuhnya, karena dia masih punya rasa malu dan iba. Yang menjinakkannya adalah rasa memiliki banyak utang budi pada keluarga Asih. Alasan itu yang menjadi sebab Eman dan keluarganya bersedia menerima Asih. Selain itu, keluarga Eman tidak akan sudi menerima orang baru menumpang di rumahnya, meski itu masih kerabat.
Awalnya Eman memperlakukan Asih bak putri raja. Keluarganya iri dengan perhatian Eman pada Asih yang sering dinilai berlebihan. Tapi perlakuan itu tak lama, hanya enam hari. Lepas itu, Eman tak membiarkan Asih tinggal dengan enaknya. Tak peduli sedang mengandung, manusia srigala itu memperlakukan Asih tak ubah pembantu. Berbagai pekerjaan dari mencuci, masak, membersihkan rumah, hingga pekerjaan sedikit berat yang lazim dilakukan pria dewasa dikerjakan Asih. Tak ada yang gratis di sana, harus mau bekerja, itu sebagai bunga yang harus dibayar Asih saat menumpang di rumah Eman. Sang puteri itu kembali menjadi Cinderela.
Pekerjaan ringan pun saat berbadan dua terasa melelahkan. Tapi lelah fisik tidak seberapa dibandingkan lelah hati ketika harapannya hancur sebab berkali-kali gagal merajut kebahagiaan. Di rumah itu, Asih terbiasa bangun sebelum azan Subuh bersahutan di masjid-masjid. Dia mulai dengan bersiap menunaikan kewajibannya, salat. Ketaatan yang melekat kuat, tak tertinggal meski berada di lingkungan penuh kemunafikan. Selepas salat, Asih masih harus terjaga untuk segera membersihkan isi rumah, lalu bersibuk diri di dapur. Menjelang pagi, mencucikan pakaian seisi rumah, disambung melayani dan menyiapkan keperluan sekolah anak-anak Eman. Menjelang siang, memasak untuk makan siang. Sore, menyetrika. Begitu seterusnya, setiap hari. Asih tak begitu sukar membiasakan diri dengan semua rutinitas membosankan itu, perlahan dia begitu menikmati. Cukup untuk mengalihkan diri dari kepedihan menangisi nasib buruk.
Delapan
~ Dejavu ~
Mentari bersiap meninggi di tengah langit. Di rumah, hanya Asih dan Eman yang urung pergi bekerja dengan alasan sakit perut. Surya, sang mantan kekasih yang masih ngotot ingin menikahi Asih, tiba-tiba datang. Asih tak menyangka Surya tahu keberadaanya, padahal dia berpesan pada Abah agar tak siapapun orang-orang desa tahu, termasuk lelaki itu. Dia menduga pasti Ema yang memberitahukan.
Lelaki punya seribu cara mengejar wanita yang sangat diinginkannya. Kedatangan Surya, masih dengan tujuan sama, mengajak Asih kembali dan menikahinya. Lelaki itu tipikal yang tak main-main dengan tekadnya. Sekali sudah tertancap tekad itu, tak mudah tercerabut.
Adegan-adegan yang hampir sama seperti saat dulu, di rumah Asih, terulang di rumah Eman. Seperti adegan masa lalu yang direka ulang. Surya keukeuh berharap, setia menunggu hingga Asih mau menerima kembali dan bersedia dinikahi, apapun keadaannya. Juga dialog yang sama, andainya menikahi gadis lain, Surya ingin tetap bersama Asih dengan memadunya, atau bila harus, Surya bersedia menceraikan istrinya. Hasilnya pun tak berbeda dengan sebelumnya. Terlampau sukar merubah pendirian Asih. Sekali tak mau, tetap tak mau, entah sampai kapan itu dipertahankan Asih. Lelah menempuh puluhan mil menemui Asih menjadi sia-sia manakala Surya terpaksa pulang membawa kekecewaan untuk kedua kalinya.
Eman yang menguping dibalik tirai dapur gusar dalam hatinya, "Kenapa kau menolak lelaki itu? Ah, bodoh sekali kau!"
Eman segera menghampiri Asih, "Lihat dirimu sekarang. Apa kau mau hidup seperti ini terus? Apakah kau tidak ingin memperbaiki keadaanmu?"
Pikir Eman, bodoh sekali Asih menolak malaikat penolong di saat kebanyakan gadis yang tertimpa kemalangan seperti itu sangat membutuhkannya. Begitu ceroboh membiarkan kesempatan emas berlalu dengan menampik kehadiran seseorang yang penuh ketulusan hendak menyelamatkan, memperbaiki keadaan, dan menghapuskan aibnya. Tapi, betapapun seolah menutup mata pada peluang emas, Asih berhak menerima atau menolaknya.
Sempat terlintas keinginan Asih untuk segera melepaskan diri dari situasi berat itu. Ketakutan akan nasib diri dan anaknya kelak, selalu membayangi. Akankah selamanya dia di sana, di rumah Eman, sampai kapan, sedangkan kerinduan pada Abah, Ema dan desa tak mau berhenti bergelayut di hati, setiap hari. Bagaimana kelak bila bayi itu lahir Asih tak segera menemukan lelaki yang dapat menjadi bapak pengganti bagi anaknya, dapat melindungi dia dan anaknya? Kekhawatiran-kekhawatiran lain susul menyusul membayangi.
Eman merasa perlu ikut campur, "Lalu bagaimana nasib anakmu nanti? Siapa yang akan membiayainya? Jangan hanya memikirkan dirimu sendiri, tapi pikirkan juga nasib anakmu! Kalau kau menerima lelaki itu, hidupmu akan lebih baik, anakmu akan punya ayah, takkan lagi dipanggil anak haram. Lelaki itu takkan menyia-nyiakanmu, aku yakin dia sangat mencintaimu."
Ucapan Eman, lebih terasa mendikte, dalam sekejap menyentak di dada Asih. Selama ini dia menerima baik buruk ucap dan sikap Eman. Semua yang dihendaki Eman selalu Asih lakukan tanpa bertanya atau menyanggah. Kali ini, Asih merasa harus berontak. Dia merasa pengorbanannya tak dihargai sedikitpun. Sikap diamnya tak memperbaiki apa pun, malah bentuk penindasan itu semakin berlangsung. Seringkali Eman memanfaatkan Asih untuk mengeruk keuntungan dari laki-laki yang berkunjung atas nama ketertarikan pada kecantikannya, meski mereka tahu Asih sedang hamil.
Yang paling tak bisa diterima Asih adalah kedatangan Surya yang dipersilahkan Eman. Itu lebih mirip pengkhianatan besar yang takkan tersedia kesempatan pengampunan secuil pun. Asih menjadi muak dengan Eman dan segala yang berhubungan dengan rumah itu.
"Tidak! Mamang picik!" Pemberontakan atas penindasan yang selama ini berlaku pada Asih di rumah Eman, hanya diwakili tiga kata itu saja.
"Heh Asih! Mau kemana kau?"
Asih tak menjawab, tak mempedulikan Eman, bahkan menoleh pun sama sekali tidak. Entah akan pergi kemana, dia tak tahu, yang ada hanya sesak, emosi, rasa lelah teramat lelah menghadapi Eman dan keluarganya, juga Surya.
"Asih! Asih! Dasar udik!"
Asih keluar, entah, dia sendiri bingung kemana arah akan dituju. Yang ada di pikirannya, hanya pergi, pergi dan pergi, kemana saja. Di benaknya hanya keluar, keluar dan keluar, untuk membebaskan diri dari kebosanan itu, melepaskan diri dari penindasan, dan sisanya adalah ketidaktahuan. Asih tak menghiraukan panggilan Eman, tak juga peduli di luar rumah banyak mata pemabuk beringas mengawasi seakan siap menjamah -dan menikmati kemolekannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H