Mohon tunggu...
Array Nuur
Array Nuur Mohon Tunggu... -

krusuk-krusuk... pletuukkk... ketimprang..... bledugg.... jedoorrrr.... hapooowww.... cleebbb.... deziiiigggg... deziiiiggg..... tuuuuuuiiiiiingggg... duaaarrr.... 2654042D

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Rindu Itu Koma: Kisah Kecil Epilepsi #Stadium 1 - Tujuh & Delapan

30 Mei 2013   12:37 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:48 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Pekerjaan ringan pun saat berbadan dua terasa melelahkan. Tapi lelah fisik tidak seberapa dibandingkan lelah hati ketika harapannya hancur sebab berkali-kali gagal merajut kebahagiaan. Di rumah itu, Asih terbiasa bangun sebelum azan Subuh bersahutan di masjid-masjid. Dia mulai dengan bersiap menunaikan kewajibannya, salat. Ketaatan yang melekat kuat, tak tertinggal meski berada di lingkungan penuh kemunafikan. Selepas salat, Asih masih harus terjaga untuk segera membersihkan isi rumah, lalu bersibuk diri di dapur. Menjelang pagi, mencucikan pakaian seisi rumah, disambung melayani dan menyiapkan keperluan sekolah anak-anak Eman. Menjelang siang, memasak untuk makan siang. Sore, menyetrika. Begitu seterusnya, setiap hari. Asih tak begitu sukar membiasakan diri dengan semua rutinitas membosankan itu, perlahan dia begitu menikmati. Cukup untuk mengalihkan diri dari kepedihan menangisi nasib buruk.

Delapan

~ Dejavu ~

Mentari bersiap meninggi di tengah langit. Di rumah, hanya Asih dan Eman yang urung pergi bekerja dengan alasan sakit perut. Surya, sang mantan kekasih yang masih ngotot ingin menikahi Asih, tiba-tiba datang. Asih tak menyangka Surya tahu keberadaanya, padahal dia berpesan pada Abah agar tak siapapun orang-orang desa tahu, termasuk lelaki itu.  Dia menduga pasti Ema yang memberitahukan.

Lelaki punya seribu cara mengejar wanita yang sangat diinginkannya. Kedatangan Surya, masih dengan tujuan sama, mengajak Asih kembali dan menikahinya. Lelaki itu tipikal yang tak main-main dengan tekadnya. Sekali sudah tertancap tekad itu, tak mudah tercerabut.

Adegan-adegan yang hampir sama seperti saat dulu, di rumah Asih, terulang di rumah Eman. Seperti adegan masa lalu yang direka ulang. Surya keukeuh berharap, setia menunggu hingga Asih mau menerima kembali dan bersedia dinikahi, apapun keadaannya. Juga dialog yang sama, andainya menikahi gadis lain, Surya ingin tetap bersama Asih dengan memadunya, atau bila harus, Surya bersedia menceraikan istrinya. Hasilnya pun tak berbeda dengan sebelumnya. Terlampau sukar merubah pendirian Asih. Sekali tak mau, tetap tak mau, entah sampai kapan itu dipertahankan Asih. Lelah menempuh puluhan mil menemui Asih menjadi sia-sia manakala Surya terpaksa pulang membawa kekecewaan untuk kedua kalinya.

Eman yang menguping dibalik tirai dapur gusar dalam hatinya, "Kenapa kau menolak lelaki itu? Ah, bodoh sekali kau!"

Eman segera menghampiri Asih, "Lihat dirimu sekarang. Apa kau mau hidup seperti ini terus? Apakah kau tidak ingin memperbaiki keadaanmu?"

Pikir Eman, bodoh sekali Asih menolak malaikat penolong di saat kebanyakan gadis yang tertimpa kemalangan seperti itu sangat membutuhkannya. Begitu ceroboh membiarkan kesempatan emas berlalu dengan menampik kehadiran seseorang yang penuh ketulusan hendak menyelamatkan, memperbaiki keadaan, dan menghapuskan aibnya. Tapi, betapapun seolah menutup mata pada peluang emas, Asih berhak menerima atau menolaknya.

Sempat terlintas keinginan Asih untuk segera melepaskan diri dari situasi berat itu. Ketakutan akan nasib diri dan anaknya kelak, selalu membayangi. Akankah selamanya dia di sana, di rumah Eman, sampai kapan, sedangkan kerinduan pada Abah, Ema dan desa tak mau berhenti bergelayut di hati, setiap hari. Bagaimana kelak bila bayi itu lahir Asih tak segera menemukan lelaki yang dapat menjadi bapak pengganti bagi anaknya, dapat melindungi dia dan anaknya? Kekhawatiran-kekhawatiran lain susul menyusul membayangi.

Eman merasa perlu ikut campur, "Lalu bagaimana nasib anakmu nanti? Siapa yang akan membiayainya? Jangan hanya memikirkan dirimu sendiri, tapi pikirkan juga nasib anakmu! Kalau kau menerima lelaki itu, hidupmu akan lebih baik, anakmu akan punya ayah, takkan lagi dipanggil anak haram. Lelaki itu takkan menyia-nyiakanmu, aku yakin dia sangat mencintaimu."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun