Mohon tunggu...
Array Nuur
Array Nuur Mohon Tunggu... -

krusuk-krusuk... pletuukkk... ketimprang..... bledugg.... jedoorrrr.... hapooowww.... cleebbb.... deziiiigggg... deziiiiggg..... tuuuuuuiiiiiingggg... duaaarrr.... 2654042D

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Rindu Itu Koma: Kisah Kecil Epilepsi #Stadium 3 Empat Puluh Tiga

16 Oktober 2013   14:31 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:28 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Empat Puluh Tiga

~ Teror Paling Menakutkan ~

Tujuh tahun kurang Koma terkungkung dalam dinginnya sel penjara. Bukan keberuntungan yang berhasil merayu sipir untuk mengurangi masa tahanannya. Lebih karena "hadiah" akumulasi remisi saja. Sebenarnya dia tak menginginkan remisi itu. Dia lebih betah tinggal di penjara. Menikmati saat tak diganggu keberuntungan. Menikmati saat sangat jarang orang peduli padanya. Menikmati saat tak ada yang memperlakukannya dengan istimewa, seperti perlakuan Asih, atau perlakuan Mat Boncel. Koma lebih menikmati kesendirian, menikmati keegoisan. Hidup terserah dia, tak ada yang ikut campur mengatur, tak juga ada yang mengintervensi dengan cita-cita masa depan.

Koma lebih cepat dikeluarkan juga lantaran teror menakutkan yang melanda penjara, halus namun menggemparkan. Ketakutan yang disebabkan teror Koma melebihi wabah penyakit mematikan, membuat seluruh penghuni, termasuk sipir-sipir begitu tak menginginkan kehadiran Koma.

Sebenarnya Koma tak berniat menciptakan horor bagi lingkungan penjara. Epilepsi Koma yang sering kambuh, secara tak sengaja menjadi teror menakutkan di penjara. Mereka ketakutan tertular, dan jijik saat menyaksikan acapkali Koma terserang epilepsi.

Berbagai jalan ditempuh sebagian penghuni penjara untuk mendepak Koma. Para sipir diwakili kepala sipir beberapa kali mengajukan permohonan agar Koma dipindahkan ke rumah tahanan lain, tapi tak terkabul. Alasannya, tidak ada penjara yang bersedia menerima Koma, karena tentu saja mungkin sebelumnya telah membaca riwayat si pesakitan itu.

Beberapa teman satu selnya menyuluti Koma untuk melarikan diri. Bahkan sipir-sipir dan napi-napi yang menyusun rencana pelarian beserta semua keperluannya. Sipir-sipir sengaja mengurangi penjagaan di titik-titik dan waktu-waktu tertentu untuk memancing Koma kabur, bahkan menyediakan rute khusus untuk pelariannya. Konspirasi sipir dan napi itu tak berhasil menyingkirkan Koma.

Cara lain, mereka berkomplot mengintimidasi Koma, supaya dia tidak betah berada di lingkungan penjara. Tetap, cara itupun tak berhasil. Koma ingin masa tahanannya sesuai dengan komitmen awal putusan hakim selama tujuh tahun.

Ketika kepala rutan akan menjamin Koma dan mengusahakan pembebasan bersyarat, dia menolak mentah-mentah. Sangat langka ada tahanan yang tak mau dibebaskan, di saat orang di penjara kebanyakan memohon dibebaskan, tiap tahun menerima remisi, bahkan mengajukan pembebasan bersyarat dengan jaminan, hingga mengajukan "grasi", tapi Koma malah menolak semua fasilitas itu.

Saatnya akan tiba dan tak dapat Koma tolak, sebab itu sesuai komitmen. Tinggal menghitung hari Koma akan menghirup udara bebas di luar penjara. Koma tak melalui masa asimilasi. Sebab, sepertinya orang-orang di dunia luar penjara enggan menerima kehadiran Koma setelah tahu riwayat epilepsinya.

Tekad Koma untuk mengalahkan keberuntungan bukan berarti menjadikan dia orang yang ingkar terhadap komitmen. Tiga minggu menjelang Ramadhan, Koma dibebaskan. Seorang sipir yang juga ustaz pengajar di suatu pesantren mengajak Koma tinggal di pesantrennya. Setelah keluar, Koma kebingungan hendak kemana, keluarga saja dia tak tahu dimana. Selama menghuni penjara, tak satu pun mengaku sanak famili datang menengoknya. Saat itu Koma sebatang kara.

Sebetulnya Koma labih memilih bertahan di penjara. Dia ingin menghabiskan seluruh sisa umurnya di rumah tahanan saja, baik masih dengan status sebagai napi atau seorang yang bebas bisa tinggal di penjara, entah bantu-bantu urusan penjara, bersih-bersih, atau melakukan apa saja yang bisa dikerjakan di lingkungan penjara. Koma sangat menginginkan tetap bertahan. Tapi antipati hampir seluruh penghuni tak menyisakan tempat untuk dia di penjara itu. Alasan utama, karena epilepsi itu menjelma teror yang tak mengizinkannya untuk tinggal lebih lama di penjara dengan status tahanan atau status apa pun. Alasan paling ideal memilih bertahan di penjara karena dia tak ingin orang-orang di luar penjara tahu epilepsinya. Koma tak ingin orang-orang mencemooh dia karena epilepsi. Dan, di penjara itu, dia sudah terlampau nyaman terbebas dari belitan keberuntungan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun