Mohon tunggu...
Array Nuur
Array Nuur Mohon Tunggu... -

krusuk-krusuk... pletuukkk... ketimprang..... bledugg.... jedoorrrr.... hapooowww.... cleebbb.... deziiiigggg... deziiiiggg..... tuuuuuuiiiiiingggg... duaaarrr.... 2654042D

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Rindu Itu Koma: Kisah Kecil Epilepsi #Stadium 3 Empat Puluh Satu - Empat Puluh Dua

16 Oktober 2013   12:20 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:28 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Empat Puluh Satu

~ Mencicipi Kegagalan ~

Koma terjaga mendengar kegaduhan khas terminal, suara kondektur, calo-calo bus dan para pedagang asongan yang menawarkan barang dagangannya. Bus sampai di Terminal Leuwi Panjang, Kota Bandung. Koma tak ingat di kota ini dia dilahirkan dan pernah tinggal lama. Segala kehidupan di ibukota bersama keberuntungan, dan oleh keberuntungan pula ingatan tentang Pasar Cicadas dan Ujung Berung disembunyikan rapat. Tak satu pun yang diingat tentang Kota Bandung. Hanya cuaca dan beberapa suara di sana pernah terlintas dalam telinga seolah begitu dikenal, namun teramat sulit untuk dia identifikasi.

Semua penumpang sudah turun, tinggal Koma yang masih duduk terpaku dengan pikiran melayang tak tahu harus kemana dan melakukan apa. Yang dia tahu hanya harus segera memulai sesuatu yang dapat membuat keberuntungan tak lagi mengikutinya. Dan yang paling pertama disadari dan harus dilakukan adalah mencari makan, lapar sudah memberontak dalam perutnya. Koma lekas turun dari bus lalu mencari kedai makan di sekitar terminal. Sejak terbangun, yang terkungkung di pikirannya hanya tanya bagaimana cara dan apa yang harus dilakukan agar bisa segera menghindar dan lepas dari keberuntungan.

***

Lepas makan, langkah pertama yang tercetus Koma adalah mencari seseorang yang bersedia menampungnya, bersedia diikuti, bersedia direpotkan, bersedia menerima sebagai anak angkatnya, dan bersedia membantu dia menghindar dari keberuntungan. Juga bersedia membantunya segera mencicipi "kesulitan" dan "kegagalan".

"Bu, saya baru datang dari Jakarta. Di sini saya tak punya siapa-siapa. Apa ibu bersedia menampung saya? Apa ibu mau mempekerjakan saya bantu-bantu di warung ini. Biar tidak dibayar juga, asal dapat makan saja sudah cukup. Apa ibu juga bisa membantu saya menemukan kegagalan?" kata Koma pada perempuan pemilik warung makan itu.

Sang pemilik warung heran, dengan ujug-ujug ada bocah yang mengungkapkan keinginan anehnya. Tentu saja dia tak bersedia menampung Koma, apalagi mempekerjakannya. Pikir sang pemilik warung, takkan banyak untungnya menampung dan mempekerjakan bocah. Apalagi, dia tahu bocah yang tumbuh di jalanan tidak semanis bocah yang tumbuh di rumah.

"Ah, burung sugan budak teh," penjaga warung ketus setengah mengusir.

Pada seorang sopir bus, Koma menyampaikan keinginan untuk menjadi anak angkatnya, menjadi bagian perjalanan bus kemana pun tujuan trayek. Koma meminta agar bisa ditampung di rumah sang supir, tak lupa mengungkapkan niatnya untuk menjalankan program menghindari keberuntungan dan mencicipi kesulitan beserta kegagalan.

Sang sopir menolak mentah-mentah. Membawa Koma tinggal, sama saja dengan membawa satu lagi sumber penderitaan. Sang sopir sudah merasa empat orang anaknya saja adalah sumber penderitaan, apalagi ditambah satu, seorang anak yang tak jelas asal-usul, dan tak jelas masa depannya. Sang sopir saja belum yakin apa anak-anaknya mampu mengganti penderitaannya dengan  kesenangan, serupa balas budi. Tak ada yang gratis di dunia ini. Kasih sayang ayah kepada anak-anaknya pun sesungguhnya tidak gratis. Kelak, kalau ayah sudah tua dan anak sudah dewasa, anak-anak harus membayar utangnya dengan merawat dan memberikan kesenangan di hari tua sang ayah.

Koma mencoba lagi, dia menawarkan diri menjadi anak angkat seorang penjaga WC umum di terminal. Menjadi anak WC umum yang bisa membantu bersih-bersih, atau gantian menjaga sementara sang penjaga pergi untuk suatu keperluan tertentu. Jawabannya masih sama seperti sebelumnya, tak bersedia. Kalau tiba-tiba sang penjaga WC membawa Koma tinggal di rumah sempitnya, bisa-bisa pecah perang dunia keempat, istrinya bisa curiga bocah itu anak hasil selingkuhannya.

Tak berhenti, Koma coba lagi pada pedagang asongan, sama juga, jawabannya tidak. Dia coba pada seorang polisi yang bertugas di daerah itu, masih sama, tidak. Malah polisi menyarankan agar Koma melaporkan sebagai anak hilang supaya bisa melacak keluarganya. Terakhir, dia mencari solusi dengan mendatangi kepala terminal, tapi malah dianggap lelucon.

***

Tak satu pun yang Koma temui bersedia menerimanya dengan berbagai alasan. Kebanyakan alasan klise untuk berkelit. "Bilang saja tak sudi menerima anak yang sedang dikuntit keberuntungan. Huuh, mengapa begitu sulit mencari orang yang mau menampungku," keluh Koma.

"Tunggu! kata itu. 'sulit'. Itu kata kuncinya." Koma baru menyadari, secara tidak langsung ternyata dia telah mencicipi kesulitan sekaligus kegagalan. Tak berhasil menemukan orang yang mau menampungnya, itu termasuk sudah mencecap kesulitan dan kegagalan.

Koma menikmati rasa kegagalan itu. Dia membanding-bandingkan rasa kegagalan itu dengan perasaan lain, seperti perasaan diperlakukan istimewa Mat Boncel, perasaan ketika menerima uang dengan jumlah banyak saat mengemis atau mengamen, perasan ketika dia menjadi pedagang bunga dan bunganya dibeli seorang remaja lelaki untuk diberikan kepada remaja perempuan. Ternyata Koma merasa kegagalan itu rasanya begitu nikmat. Dia makin bersemangat untuk merasakan kesulitan dan kegagalan yang lebih lagi. Meski tak mampu melupakan Mat Boncel, Agus dan bocah-bocah di rumah itu, tapi kenikmatan sulit dan gagal itu telah mengalihkan fokus ingatannya dari keberuntungan.

Empat Puluh Dua

~ Mengalahkan Keberuntungan ~

Saat sendirian menikmati kegagalan itu tiba-tiba Koma berkenalan dengan Mehong, seorang yang ahli memindahkan barang tanpa diketahui si empunya -lebih cocok disebut pencopet. Diawali basa-basi kecil, dan selanjutnya menjadi akrab walau pertama kali ketemu. Mehong menawarkan Koma tempat tinggal. Tanpa basa-basi, seolah sudah tahu persis apa yang paling diinginkan Koma, Mehong mengatakan akan mengajari Koma mencopet. Mehong mendapati dalam diri bocah itu tersimpan bakat besar.

Koma merasa menemukan kejanggalan. Aneh, di saat dia menganggap sudah jauh dari keberuntungan, dan keberuntungan juga tak dapat membuat orang-orang yang dijumpai bersedia menampungnya, dan itu Koma sadari sebagai awal keberhasilan telah mencicipi kesulitan dan kegagalan, tiba-tiba ada seorang yang bersedia menampung, bahkan bersedia mengajari sesuatu yang menantang. Itu merevisi anggapan dia telah mencicipi kegagalan. Koma hanya merasakan kegagalan temporer, sesaat, tidak lama. Dia belum menemukan kegagalan sejati yang bersifat abadi. Dan itu sama saja, keberhasilan juga. Buktinya ada orang yang mau menampungnya.

"Apa itu ulah keberuntungan?" Koma merasa dipermainkan keberuntungan.

***

Mencopet, tampaknya suatu pekerjaan menarik. Namun Koma belum menemukan alasan tepat untuk langsung menerima tawaran Mehong. Seperti dulu, berkali-kali beralih pekerjaan, itu karena dia mempunyai alasan tepat. Menjadi pencopet pun, harus ada alasan tepat. Memakai alasan terpaksa, terdesak kebutuhan, sepertinya bukan itu. Kemampuan mengemis, mengamen dan berdagang pun bagi Koma sudah bisa mengatasi persoalan melanjutkan hidup dan menepis alasan keterdesakan.

Koma mendapat alasan tepat, ialah tantangan dan sensasi yang mungkin akan lebih nikmat dibanding pekerjaan lain, sebelumnya. Apalagi tingkat kesulitan dan kegagalan dengan resiko terburuk lebih besar dibanding tingkat keberhasilan, itulah sisi menarik, yang bisa dipakai sebagai alasan memikat untuk melakukan pekerjaan itu.

Secara teori, yang diperlukan dalam mencopet adalah kejelian dan ketepatan. Teori pertama adalah kesigapan, tangan yang sigap untuk merogoh dan mengambil. Mata yang sigap untuk memperhatikan korban, dan kaki yang sigap untuk melarikan diri. Teori kedua adalah insting, insting yang kuat terhadap kesempatan dan peluang. Naluri yang kuat untuk memilih korban.

***

Cukup dua hari saja Koma diajari dan dilatih kecepatan tangan, juga latihan berkelit dan melarikan diri. Menurut pertimbangan Mehong, Koma sudah siap beraksi. Dia seakan tahu bocah itu ingin segera mencoba. Jadi tidak perlu bertele-tele, langsung saja praktek di lapangan. Pagi-pagi atau sore pada jam-jam sibuk, saat bus padat penumpang, itu adalah saat tepat untuk beraksi. Emas-emas bergelimpangan dalam dompet-dompet calon korban menunggu untuk ditambang.

Aksi pertama, Koma mendapatkan pengawasan langsung dari sang guru, Mehong. Koma bergegas naik bus yang sesak penumpang, berpura-pura sebagai pelajar yang menumpang bus untuk berangkat atau pulang sekolah. Dengan gaya pakaian dan dandanan persis pelajar, orang takkan menyangka kalau dia pencopet.

Sesuai petunjuk-petunjuk Mehong, satu menit untuk memilih calon korban. Satu atau tiga menit untuk mendekati, mengalihkan perhatian dan menunggu saat tepat beraksi ketika calon korban lengah. Kalau bisa, jangan lebih dari sepuluh detik untuk mengambil dompet atau barang-barang berharga korban. Jangan lebih dari dua menit untuk segera kabur dan luput dari penglihatan orang. Dan, terserah butuh beberapa menit untuk merayakan keberhasilan. Terdengar sederhana dan mudah, tapi tidak begitu kenyataannya, selalu ada kemungkinan gagal, dan bagi Koma itu bagian yang menarik, "kegagalan".

Tak ada firasat keberhasilan atau kegagalan dirasakan Koma saat hendak beraksi. Dia menatap teliti orang-orang untuk menentukan calon korban. Koma memilih satu calon korban, seorang ibu dengan tas menyelendang di samping kanannya. Sepertinya mangsa yang mudah, dengan perkiraan delapan puluh persen prosentase keberhasilannya. Tapi rupanya, jauh dari perkiraan Koma tentang kesuksesan awal. Dia hampir ketahuan saat hendak merogoh dompet di dalam tas calon korban. Koma segera turun dari bus untuk meloloskan diri dari mata-mata waspada penumpang yang penuh tatapan curiga padanya. Kalau sampai kepergok, sial akan menimpa, dan Koma sudah tahu konsekuensinya sesuai yang digambarkan Mehong.

Awal yang sangat buruk, aksi pertama Koma gagal total. Mehong melihat kegagalan muridnya itu tak berkomentar. Hanya senyum kecil. Senyum yang mengandung makna sederhana seakan berkata, "Ayo coba lagi! Kamu pasti bisa!" Senyum itu cukup memotivasi Koma untuk mencoba lagi, dengan harapan merasakan keberhasilan pekerjaan ini tanpa campur tangan si "keberuntungan".

Aksi kedua, kembali Koma naik bus Damri sarat muatan penumpang. Dia melakukan langkah-langkah sesuai teori dari Mehong. Tapi untuk kedua kali, hasilnya lebih  buruk dari aksi pertama. Koma tertangkap tangan saat beberapa detik lagi selesai mencabut dompet dari saku celana belakang seorang pria. Apes bagi Koma, dia tak sempat berkelit, kalah cepat keburu diteriaki copet. Dia babak belur dihajar beberapa penumpang. Hampir saja hidup Koma berakhir di tangan orang-orang yang terus menghadiahinya dengan pukulan-pukulan kesal. Dan bonus tambahan, akomodasi lengkap untuk menginap beberapa tahun di hotel prodeo.

Amboi! Inilah puncak kegagalan itu. Koma merasakan begitu asyiknya saat dipukuli. Tinju yang mendarat di hidungnya, tamparan yang membekas di pipinya, begitu terasa nikmat dirasakan, seolah belaian seorang ibu. Semakin sakit, dia semakin merasakan sensasi kenikmatannya. Ini sebuah kegilaan! Koma sangat menikmati kesakitan itu. Ini benar-benar bentuk kegilaan dalam balutan ketagihan pada kegagalan. Dia merasa sukses besar telah mengalahkan keberuntungan. Buktinya, keberuntungan tak mampu berbuat apa-apa, hanya diam menyaksikan kemalangan Koma.

Koma merasa memenangkan pertarungan. Keberuntungan tak mampu membuat dia kebal dari pukulan orang-orang. Keberuntungan tak mampu menghilangkan rasa sakit dan memar-memar di tubuhnya. Dan, yang paling nikmat, keberuntungan tak mampu membelanya. Tak juga mampu mengurangi vonis hukuman pengadilan yang menghadiahi Koma tujuh tahun kurungan penjara.

Hukuman wajar untuk mencopet seharusnya pidana ringan, apalagi ukuran Koma yang terbilang masih di bawah umur. Menurut kebijaksanaan hukum, paling hanya satu atau dua tahun. Sedangkan dia mendapat ganjaran tujuh tahun penjara. Dimana letak keadilan itu? Tapi bagi Koma, justru itulah puncak keberhasilan mengalahkan keberuntungan. Itu yang diinginkannya. "Ha... Ha... Ha..!" Koma tertawa puas.

Koma mendapat tiga kali lipat hadiah juara yang didapatkan karena mengalahkan keberuntungan. Pertama, babak belur dihajar penumpang yang memergokinya hendak mencopet. Kedua, tujuh tahun mendekam di penjara. Ketiga, epilepsi yang kembali sering kambuh dan tak mampu ditunda setelah sekian lama dia dapat menangguhkannya.

Koma menghabiskan sebagian masa remaja menginjak dewasa di penjara. Koma senang, sebab dia mengira keberuntungan akan benar-benar meninggalkannya. Tingginya tembok penjara Lembaga Pemasyarakatan Banceuy, kawat berduri dan penjagaan ketat akan membuat keberuntungan tak mampu menembus, menghampiri dan menguntit Koma. Bahkan sekadar membesuk pun, keberuntungan akan kesulitan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun