Mohon tunggu...
Array Nuur
Array Nuur Mohon Tunggu... -

krusuk-krusuk... pletuukkk... ketimprang..... bledugg.... jedoorrrr.... hapooowww.... cleebbb.... deziiiigggg... deziiiiggg..... tuuuuuuiiiiiingggg... duaaarrr.... 2654042D

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Rindu Itu Koma: Kisah Kecil Epilepsi #Stadium 3 Empat Puluh Satu - Empat Puluh Dua

16 Oktober 2013   12:20 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:28 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

***

Mencopet, tampaknya suatu pekerjaan menarik. Namun Koma belum menemukan alasan tepat untuk langsung menerima tawaran Mehong. Seperti dulu, berkali-kali beralih pekerjaan, itu karena dia mempunyai alasan tepat. Menjadi pencopet pun, harus ada alasan tepat. Memakai alasan terpaksa, terdesak kebutuhan, sepertinya bukan itu. Kemampuan mengemis, mengamen dan berdagang pun bagi Koma sudah bisa mengatasi persoalan melanjutkan hidup dan menepis alasan keterdesakan.

Koma mendapat alasan tepat, ialah tantangan dan sensasi yang mungkin akan lebih nikmat dibanding pekerjaan lain, sebelumnya. Apalagi tingkat kesulitan dan kegagalan dengan resiko terburuk lebih besar dibanding tingkat keberhasilan, itulah sisi menarik, yang bisa dipakai sebagai alasan memikat untuk melakukan pekerjaan itu.

Secara teori, yang diperlukan dalam mencopet adalah kejelian dan ketepatan. Teori pertama adalah kesigapan, tangan yang sigap untuk merogoh dan mengambil. Mata yang sigap untuk memperhatikan korban, dan kaki yang sigap untuk melarikan diri. Teori kedua adalah insting, insting yang kuat terhadap kesempatan dan peluang. Naluri yang kuat untuk memilih korban.

***

Cukup dua hari saja Koma diajari dan dilatih kecepatan tangan, juga latihan berkelit dan melarikan diri. Menurut pertimbangan Mehong, Koma sudah siap beraksi. Dia seakan tahu bocah itu ingin segera mencoba. Jadi tidak perlu bertele-tele, langsung saja praktek di lapangan. Pagi-pagi atau sore pada jam-jam sibuk, saat bus padat penumpang, itu adalah saat tepat untuk beraksi. Emas-emas bergelimpangan dalam dompet-dompet calon korban menunggu untuk ditambang.

Aksi pertama, Koma mendapatkan pengawasan langsung dari sang guru, Mehong. Koma bergegas naik bus yang sesak penumpang, berpura-pura sebagai pelajar yang menumpang bus untuk berangkat atau pulang sekolah. Dengan gaya pakaian dan dandanan persis pelajar, orang takkan menyangka kalau dia pencopet.

Sesuai petunjuk-petunjuk Mehong, satu menit untuk memilih calon korban. Satu atau tiga menit untuk mendekati, mengalihkan perhatian dan menunggu saat tepat beraksi ketika calon korban lengah. Kalau bisa, jangan lebih dari sepuluh detik untuk mengambil dompet atau barang-barang berharga korban. Jangan lebih dari dua menit untuk segera kabur dan luput dari penglihatan orang. Dan, terserah butuh beberapa menit untuk merayakan keberhasilan. Terdengar sederhana dan mudah, tapi tidak begitu kenyataannya, selalu ada kemungkinan gagal, dan bagi Koma itu bagian yang menarik, "kegagalan".

Tak ada firasat keberhasilan atau kegagalan dirasakan Koma saat hendak beraksi. Dia menatap teliti orang-orang untuk menentukan calon korban. Koma memilih satu calon korban, seorang ibu dengan tas menyelendang di samping kanannya. Sepertinya mangsa yang mudah, dengan perkiraan delapan puluh persen prosentase keberhasilannya. Tapi rupanya, jauh dari perkiraan Koma tentang kesuksesan awal. Dia hampir ketahuan saat hendak merogoh dompet di dalam tas calon korban. Koma segera turun dari bus untuk meloloskan diri dari mata-mata waspada penumpang yang penuh tatapan curiga padanya. Kalau sampai kepergok, sial akan menimpa, dan Koma sudah tahu konsekuensinya sesuai yang digambarkan Mehong.

Awal yang sangat buruk, aksi pertama Koma gagal total. Mehong melihat kegagalan muridnya itu tak berkomentar. Hanya senyum kecil. Senyum yang mengandung makna sederhana seakan berkata, "Ayo coba lagi! Kamu pasti bisa!" Senyum itu cukup memotivasi Koma untuk mencoba lagi, dengan harapan merasakan keberhasilan pekerjaan ini tanpa campur tangan si "keberuntungan".

Aksi kedua, kembali Koma naik bus Damri sarat muatan penumpang. Dia melakukan langkah-langkah sesuai teori dari Mehong. Tapi untuk kedua kali, hasilnya lebih  buruk dari aksi pertama. Koma tertangkap tangan saat beberapa detik lagi selesai mencabut dompet dari saku celana belakang seorang pria. Apes bagi Koma, dia tak sempat berkelit, kalah cepat keburu diteriaki copet. Dia babak belur dihajar beberapa penumpang. Hampir saja hidup Koma berakhir di tangan orang-orang yang terus menghadiahinya dengan pukulan-pukulan kesal. Dan bonus tambahan, akomodasi lengkap untuk menginap beberapa tahun di hotel prodeo.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun