Mohon tunggu...
Array Nuur
Array Nuur Mohon Tunggu... -

krusuk-krusuk... pletuukkk... ketimprang..... bledugg.... jedoorrrr.... hapooowww.... cleebbb.... deziiiigggg... deziiiiggg..... tuuuuuuiiiiiingggg... duaaarrr.... 2654042D

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Rindu Itu Koma: Kisah Kecil Epilepsi #Stadium 3 Empat Puluh Satu - Empat Puluh Dua

16 Oktober 2013   12:20 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:28 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Amboi! Inilah puncak kegagalan itu. Koma merasakan begitu asyiknya saat dipukuli. Tinju yang mendarat di hidungnya, tamparan yang membekas di pipinya, begitu terasa nikmat dirasakan, seolah belaian seorang ibu. Semakin sakit, dia semakin merasakan sensasi kenikmatannya. Ini sebuah kegilaan! Koma sangat menikmati kesakitan itu. Ini benar-benar bentuk kegilaan dalam balutan ketagihan pada kegagalan. Dia merasa sukses besar telah mengalahkan keberuntungan. Buktinya, keberuntungan tak mampu berbuat apa-apa, hanya diam menyaksikan kemalangan Koma.

Koma merasa memenangkan pertarungan. Keberuntungan tak mampu membuat dia kebal dari pukulan orang-orang. Keberuntungan tak mampu menghilangkan rasa sakit dan memar-memar di tubuhnya. Dan, yang paling nikmat, keberuntungan tak mampu membelanya. Tak juga mampu mengurangi vonis hukuman pengadilan yang menghadiahi Koma tujuh tahun kurungan penjara.

Hukuman wajar untuk mencopet seharusnya pidana ringan, apalagi ukuran Koma yang terbilang masih di bawah umur. Menurut kebijaksanaan hukum, paling hanya satu atau dua tahun. Sedangkan dia mendapat ganjaran tujuh tahun penjara. Dimana letak keadilan itu? Tapi bagi Koma, justru itulah puncak keberhasilan mengalahkan keberuntungan. Itu yang diinginkannya. "Ha... Ha... Ha..!" Koma tertawa puas.

Koma mendapat tiga kali lipat hadiah juara yang didapatkan karena mengalahkan keberuntungan. Pertama, babak belur dihajar penumpang yang memergokinya hendak mencopet. Kedua, tujuh tahun mendekam di penjara. Ketiga, epilepsi yang kembali sering kambuh dan tak mampu ditunda setelah sekian lama dia dapat menangguhkannya.

Koma menghabiskan sebagian masa remaja menginjak dewasa di penjara. Koma senang, sebab dia mengira keberuntungan akan benar-benar meninggalkannya. Tingginya tembok penjara Lembaga Pemasyarakatan Banceuy, kawat berduri dan penjagaan ketat akan membuat keberuntungan tak mampu menembus, menghampiri dan menguntit Koma. Bahkan sekadar membesuk pun, keberuntungan akan kesulitan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun