Koma mencoba lagi, dia menawarkan diri menjadi anak angkat seorang penjaga WC umum di terminal. Menjadi anak WC umum yang bisa membantu bersih-bersih, atau gantian menjaga sementara sang penjaga pergi untuk suatu keperluan tertentu. Jawabannya masih sama seperti sebelumnya, tak bersedia. Kalau tiba-tiba sang penjaga WC membawa Koma tinggal di rumah sempitnya, bisa-bisa pecah perang dunia keempat, istrinya bisa curiga bocah itu anak hasil selingkuhannya.
Tak berhenti, Koma coba lagi pada pedagang asongan, sama juga, jawabannya tidak. Dia coba pada seorang polisi yang bertugas di daerah itu, masih sama, tidak. Malah polisi menyarankan agar Koma melaporkan sebagai anak hilang supaya bisa melacak keluarganya. Terakhir, dia mencari solusi dengan mendatangi kepala terminal, tapi malah dianggap lelucon.
***
Tak satu pun yang Koma temui bersedia menerimanya dengan berbagai alasan. Kebanyakan alasan klise untuk berkelit. "Bilang saja tak sudi menerima anak yang sedang dikuntit keberuntungan. Huuh, mengapa begitu sulit mencari orang yang mau menampungku," keluh Koma.
"Tunggu! kata itu. 'sulit'. Itu kata kuncinya." Koma baru menyadari, secara tidak langsung ternyata dia telah mencicipi kesulitan sekaligus kegagalan. Tak berhasil menemukan orang yang mau menampungnya, itu termasuk sudah mencecap kesulitan dan kegagalan.
Koma menikmati rasa kegagalan itu. Dia membanding-bandingkan rasa kegagalan itu dengan perasaan lain, seperti perasaan diperlakukan istimewa Mat Boncel, perasaan ketika menerima uang dengan jumlah banyak saat mengemis atau mengamen, perasan ketika dia menjadi pedagang bunga dan bunganya dibeli seorang remaja lelaki untuk diberikan kepada remaja perempuan. Ternyata Koma merasa kegagalan itu rasanya begitu nikmat. Dia makin bersemangat untuk merasakan kesulitan dan kegagalan yang lebih lagi. Meski tak mampu melupakan Mat Boncel, Agus dan bocah-bocah di rumah itu, tapi kenikmatan sulit dan gagal itu telah mengalihkan fokus ingatannya dari keberuntungan.
Empat Puluh Dua
~ Mengalahkan Keberuntungan ~
Saat sendirian menikmati kegagalan itu tiba-tiba Koma berkenalan dengan Mehong, seorang yang ahli memindahkan barang tanpa diketahui si empunya -lebih cocok disebut pencopet. Diawali basa-basi kecil, dan selanjutnya menjadi akrab walau pertama kali ketemu. Mehong menawarkan Koma tempat tinggal. Tanpa basa-basi, seolah sudah tahu persis apa yang paling diinginkan Koma, Mehong mengatakan akan mengajari Koma mencopet. Mehong mendapati dalam diri bocah itu tersimpan bakat besar.
Koma merasa menemukan kejanggalan. Aneh, di saat dia menganggap sudah jauh dari keberuntungan, dan keberuntungan juga tak dapat membuat orang-orang yang dijumpai bersedia menampungnya, dan itu Koma sadari sebagai awal keberhasilan telah mencicipi kesulitan dan kegagalan, tiba-tiba ada seorang yang bersedia menampung, bahkan bersedia mengajari sesuatu yang menantang. Itu merevisi anggapan dia telah mencicipi kegagalan. Koma hanya merasakan kegagalan temporer, sesaat, tidak lama. Dia belum menemukan kegagalan sejati yang bersifat abadi. Dan itu sama saja, keberhasilan juga. Buktinya ada orang yang mau menampungnya.
"Apa itu ulah keberuntungan?" Koma merasa dipermainkan keberuntungan.