Mohon tunggu...
Array Nuur
Array Nuur Mohon Tunggu... -

krusuk-krusuk... pletuukkk... ketimprang..... bledugg.... jedoorrrr.... hapooowww.... cleebbb.... deziiiigggg... deziiiiggg..... tuuuuuuiiiiiingggg... duaaarrr.... 2654042D

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Rindu Itu Koma: Kisah Kecil Epilepsi Stadium 4 # Lima Puluh Lima

4 Januari 2014   19:50 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:09 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Untuk beberapa saat, perasaan girang membuat Koma tak mengacuhkan pertanyaan, dan mencegahnya mencari-cari dimana dan dari siapa sumber suara itu berasal. Tapi ada yang terasa ganjil. Jika Koma bisa mendengar suara itu, berarti juga dapat mendengar suara-suara lain, bisa mendengar suara daun bergesekan diterpa angin, suara kincir bambu, dan suara sayup-sayup santri mengaji di masjid pesantren. Koma mencoba lagi mendengar-dengar lebih jelas. Namun, tidak ada suara lain yang mampu ditangkap pendengarannya. Yang ada hanya sunyi, terasa lebih sunyi, serasa di ruang kedap suara.

"Jalu...!" Kedua kalinya suara itu muncul lagi. Koma dengarkan lebih teliti lagi, hanya suara sosok lelaki itu yang terdengar jelas dalam hening, tanpa latar suara lain. Ketiga kalinya, suara itu muncul dengan nada gusar seakan kesal sapaannya tak dihiraukan. Koma tergerak mencari-cari dimana sumber suara itu. Siapa di balik gema suara berwibawa itu. Tapi tak mendapati seseorang. Di asrama putra, hanya dia sendirian, santri-santri penghuni asrama itu sedang sibuk dengan aktivitas relijius mereka.

"Hei, siapa kamu? Dimana kamu?" Koma gesit menoleh ke berbagai arah, matanya berusaha menangkap sesuatu yang menjadi sumber suara itu.

"Jaluu...! Jangan kaget! Jangan cari aku di manapun! Karena aku tak kan kau temukan. Aku ada di manapun. Aku ada di dalam dirimu." Suara itu terasa semakin menggaung, seolah begitu dekat di ujung telinga. Koma semakin dibuat penasaran, dia kembali mencari-cari dimana sumber suara itu. Suara itu, tak jelas asal usul sumbernya, pikir Koma, mungkin suara gaib.

"Siapa kamu?" Koma mendelik ke atas. Dia melacak sumber suara hingga ke atas rimbun pohon beringin tua di samping asrama putra.

"Aku, Rakean Surawisesa. Aku akan menitis padamu. Aku akan menuntunmu. Aku akan memberikan kelebihan padamu!" suara gaib itu makin menggema dalam pendengaran Koma.

"Kelebihan apa?" Koma bertanya menyelidik pada suara gaib itu untuk membedah keingintahuannya. Tapi beberapa saat ditunggu, tak ada jawaban lagi. Suara itu menghilang seakan sosok sumber suara itu sudah pergi meninggalkan Koma yang terjeruji kepenasaran. ***

TAK mengenal waktu, pagi, siang, sore bahkan malam hari, kalau suara itu muncul maka Koma akan mengasyikinya sendiri. Dan, selama ini Koma banyak asyik sendiri. Tak peduli ocehan orang tentang keganjilan tingkah lakunya yang identik sebagai bentuk kegilaan, karena pada dasarnya Koma tak mendengar apa pun selain suara sosok lelaki misterius itu, suara gaib itu.

Koma tak terlalu menanggapi kebenaran bahwa suara itu berasal dari seorang tokoh yang konon hidup di masa lalu, dengan segenap kegagahan dan kesaktian. Koma tak begitu percaya suara gaib yang mengaku Rakean Surawisesa. Bisa saja nama sebenarnya bukan Rakean Surawisesa tapi Mbah Jambrong misalnya, atau Mbah Santong, Mbah Semprong, atau siapalah itu. Mungkin hanya mengaku-aku saja. Tapi Koma tak peduli. Yang penting suara itu enak diajak ngobrol, nyambung dan memahami dirinya ketika berbagi pendapat mengenai apa pun.

Dimanapun dan kapan pun suara itu datang, Koma tak mampu menolak. Tak juga mampu mengundang suara itu agar datang pada waktu-waktu tertentu yang dia kehendaki. Suara gaib itu muncul kapan dan dimanapun sesuai kehendaknya sendiri. Hanya ketika Koma bersama Kyai Mastur suara gaib itu tak muncul. Entah tak berani, tak bisa, segan, enggan, atau terlalu menghormati Kyai Mastur. Atau pula, entah sosok di balik suara gaib itu kasihan pada Koma. Sebab, jika suara gaib itu muncul manakala Koma sedang bersama Kyai Mastur, mungkin sang kyai juga ikut-ikutan menganggap Koma gila.

Karena tingkah aneh Koma sering berbicara sendiri, kebanyakan penghuni pesantren semakin yakin kalau si santri aneh itu gila. Santri-santri putra, apalagi santri putri tak berani berada dekat dengan Koma. Seolah seperti bus, di kening Koma tertulis "Jaga jarak aman!" Dulu orang-orang di lingkungan pesantren terbuka dan mencoba memperbaiki psikologi Koma dengan beragam pendekatan persuasif, tapi dia malah menghindar, bahkan menutup diri dari interaksi dengan mereka, seolah mereka yang hendak mendekatinya adalah sekumpulan orang-orang dengan kasta terendah, hina dan patut dijauhi. Kini berbalik, kebanyakan penghuni pesantren memandang bahwa menjauhi Koma hukumnya sunat, bahkan fardhu 'ain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun