Koma terdiam beberapa saat memulihkan tenaga, melancarkan aliran darah dan menyegarkan otot-otot supaya lancar bergerak. Perlahan menuju normal. Bersamaan dengan kepulihan, telinga Koma berdengung seperti kemasukan sekumpulan lebah yang bersarang di dalam gendang telinga. Koma tak dapat mendengar apa pun selain dengungan memenuhi rongga telinga. Seperti tersumbat air, Koma memukul-mukul dan memiringkan telinga berharap genangan air itu keluar. Terasa seperti air hangat merembes keluar dari telinga, dengungan itu menghilang, tapi malah tak ada suara sedikit pun yang tertangkap pendengaran. Hanya hening, begitu hening dan sunyi. Bahkan lenguh nafas dan detak jantung sendiri pun tak bisa dia dengar. Koma menjadi tuli, kesulitan berkomunikasi, hanya menerka-nerka menangkap gerak bibir.
"Pangersa. Maaf, saya tak bisa mendengar apa-apa."
"Istirahatkan saja dulu. Ayo lekas bawa ke kobong nya!" saran sang kyai.
Jika dalam seminggu pendengaran Koma masih terganggu, Kyai Mastur menginstruksikan membawa Koma ke rumah sakit. Sejak tuli, Koma berubah tak acuh dan tak lagi mempersoalkan "keberuntungan". Jiwa pemberontakan Koma sudah redam oleh ketakutan yang menjalar di hatinya. Selama ini urat takutnya putus, kini kembali tersambung lagi. Menit demi menit akan dilalui dengan kesunyian mencekam, membuat jumputan takut ramai bermekaran di hatinya. ***
CEPAT sekali pesantren gempar dengan peristiwa Koma terjatuh, epilepsi dan gangguan pendengarannya. Beredar isu si santri aneh itu terkena malapetaka disebabkan hantu yang bercokol di pohon cempedak. Konon ketulian Koma akibat diganggu jurig bonge yang merasa terusik dengan kehadiran santri-santri. Sangat jarang santri-santri menjamah belakang rumah tinggal Kyai Mastur. Daerah itu secara tak langsung menjadi area dengan otoritas penuh, hanya keluarga sang kyai saja yang dapat menginjakan kaki di sana, santri-santri bahkan ustadz-ustadz sungkan memasukinya.
Sebagian penduduk pesantren yang realistis menganggap kabar itu tak masuk akal, takhayul semata, tidak ada benarnya sama sekali. Sebagian penghuni pesantren percaya. Dan sebagian lagi mempertanyakan, kalaulah benar itu gangguan jurig bonge, kenapa Kyai Mastur tak mampu menanganinya. Bukankah jin setan sangat takut pada orang-orang saleh. Lagi pula pohon berhantu itu berada di belakang rumah tinggal sang kyai.Apakah keberkahan Kyai Mastur tak mampu mengusir jin setan, dedemit, genderuwo atau sebangsanya yang bersemayam di sana? Sebagian warga pesantren lain tak acuh, tak menanggapinya serius. Bagi mereka, tiada gunanya peduli pada si santri aneh itu.
Peristiwa itu membuat Koma mengikrarkan diri tak lagi memusuhi keberuntungan. Malah, jika saja keberuntungan benar-benar kasat mata ada di depannya, Koma akan berdamai. Koma tak akan menyalahkan campur tangan keberuntungan lagi atas apa yang telah menimpa padanya. Koma akan biarkan keberuntungan leluasa mencampuri hidupnya. Apakah akan menjauhi, atau masih tetap menguntit ke manapun, dia sudah tak ambil pusing, takkan lagi sengaja menghindari atau mengundang keberuntungan itu.
Setelah Koma tak lagi mempersoalkan keberuntungan, dia berkenalan dengan tingkat relijius dan perenungan mendalam tentang dirinya, perjalanan hidupnya, masa depan dan sesuatu belum pasti bersifat perkiraan. Perenungan sampai ke tingkat filosofis ingin berkenalan dengan apa yang tersembunyi di balik peristiwa-peristiwa yang Koma alami, siapa yang mengendalikan keberuntungan, siapa yang berada di balik skenario, dan siapa yang berkuasa membuat semua yang tak dapat diduga itu terjadi.
Sebelumnya, Koma sudah terasing dari lingkungan pesantren, karena dia sendiri yang menciptakan keterasingan itu. Kini, tetap dan lebih terasing lagi. Dulu tak ada alasan khusus sebagian penghuni pesantren untuk menjauhi, sekarang mereka punya alasan khusus untuk menghindar berdekatan dengan Koma. Lebih-lebih, mereka ketakutan bahkan menghindar dari tatapan Koma. Mereka takut ikut kena pengaruh jurig bonge yang hinggap di telinga Koma, yang membuat dia tuli. Bahkan ada yang mengusulkan agar Koma dipisahkan, atau dijauhkan dari kemungkinan bersentuhan dan menghirup satu udara yang sama, supaya tidak mengkontaminasi. ***
HARI-HARI selepas Isya, tak ada kegiatan lagi bagi Koma. Di saat santri lain menyambung kegiatan mengkaji kitab kuning dan mendengarkan ceramah ustadz-ustadz pengajar, Koma hanya duduk-duduk di teras depan kobong putra di lantai dua. Selama masa sakit, selama pendengarannya belum pulih, Koma diperbolehkan tidak ikut beberapa rutinitas pesantren, terutama salat berjemaah, karena seringkali ketinggalan jauh dari gerakan imam dan jemaah lain. Dianggap akan mengurangi kekhusuan ibadah, atas pertimbangan Kyai Mastur, Koma dibolehkan tidak ikut berjemaah. Dia juga mendapat dispensasi untuk absen mengaji dan mendengarkan ceramah.
Keanehan, keajaiban atau entah bahasa apalagi, kejadian demi kejadian ganjil berantai menimpa. Koma melamun, larut dalam perenungan lebih dalam, mengingati semua kejadian selama ini. Mencari-cari kesimpulan apa di balik semua kejadian ganjil dan keanehan itu. Perenungan semakin jauh. Saat Koma hampir menemukan dan menginterpretasikan kesimpulan, sesosok suara membuyarkan lamunan. "Jalu...!!" Koma terkejut, di tengah hening sepi, tiba-tiba mendengar suara seorang laki-laki menyeru. Koma belum menoleh untuk mencari sumber suara itu berada. Kaget bercampur setitik kebahagiaan. Pikir Koma, jika dia dapat mendengar suara menggema itu, berarti pendengarannya sudah kembali normal.