Mohon tunggu...
Array Nuur
Array Nuur Mohon Tunggu... -

krusuk-krusuk... pletuukkk... ketimprang..... bledugg.... jedoorrrr.... hapooowww.... cleebbb.... deziiiigggg... deziiiiggg..... tuuuuuuiiiiiingggg... duaaarrr.... 2654042D

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Rindu Itu Koma: Kisah Kecil Epilepsi #Stadium 4 Empat Puluh Lima

17 Oktober 2013   01:08 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:26 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kebetulan lagi, kebetulan yang sering mempertemukan Koma dengan Kyai Mastur. Di saat yang lain sangat langka mendapatkan kesempatan itu, kebetulan sang kyai sedang berada di rumah. Koma dibaringkan di beranda bambu, tempat biasa sang kyai bersantai menikmati waktu luang. Segelas air putih didoakan sang kyai, diminumkan, lalu diusapkan ke ubun-ubun dan wajah Koma. Doa orang saleh yang penuh ketulusan, sumber dari keberkahan dan keberuntungan, lekas terkabul Allah. Kejang-kejang Koma mereda, tapi tubuh masih lemah, dia tak dapat bangkit. Seluruh tubuh tak mampu digerakkan. Koma gagu, suaranya seakan hilang dirampas angin. Sekadar beruluk salam menyapa dan mengucap terimakasih pun dia tak bisa, apalagi salam takzim dengan mencium tangan sang kyai. Darah Koma serasa membeku, jantung berdegup pelan, sangat pelan, seakan bersiap berhenti.

Koma terdiam beberapa saat memulihkan tenaga, melancarkan aliran darah dan menyegarkan otot-otot supaya lancar bergerak. Perlahan menuju normal. Bersamaan dengan kepulihan, telinga Koma berdengung seperti kemasukan sekumpulan lebah yang bersarang di dalam gendang telinga. Dia tak dapat mendengar apa pun selain dengungan memenuhi rongga telinga. Seperti tersumbat air, Koma memukul-mukul dan memiringkan telinga berharap genangan air itu keluar. Terasa seperti air merembes keluar dari telinga, dengungan itu menghilang, tapi malah tak ada suara sedikit pun yang tertangkap pendengaran. Hanya hening, begitu hening dan sunyi. Bahkan lenguh nafas dan detak jantung sendiri pun tak bisa dia dengar. Koma menjadi tuli, kesulitan berkomunikasi, hanya menerka-nerka menangkap gerak bibir.

"Pangersa. Maaf, saya tak bisa mendengar apa-apa."

"Istirahatkan saja dulu. Ayo lekas bawa ke kobongnya!" saran sang kyai.

Jika dalam seminggu pendengaran Koma masih terganggu, Kyai Mastur menginstruksikan membawa Koma ke rumah sakit. Sejak tuli, Koma berubah tak acuh dan tak lagi mempersoalkan "keberuntungan". Jiwa pemberontakan Koma sudah redam oleh ketakutan yang menjalar di hatinya. Selama ini urat takut yang putus, kembali tersambung lagi. Menit demi menit akan dilalui dengan kesunyian mencekam, membuat jumputan takut tak henti bermekaran di dirinya.

***

Cepat sekali pesantren gempar dengan peristiwa Koma terjatuh, epilepsi dan gangguan pendengarannya. Beredar isu si santri aneh itu terkena malapetaka disebabkan hantu yang bercokol di pohon cempedak. Konon ketulian Koma akibat diganggu jurig bonge yang merasa terusik dengan kehadiran santri-santri. Sangat jarang santri-santri menjamah belakang rumah tinggal Kyai Mastur. Daerah itu secara tak langsung menjadi area dengan otoritas penuh, hanya keluarga sang kyai saja yang dapat menginjakan kaki di sana, santri-santri bahkan ustaz-ustaz sungkan memasukinya.

Sebagian penduduk pesantren yang realistis menganggap kabar itu tak masuk akal, takhayul semata, tidak ada benarnya sama sekali. Sebagian penghuni pesantren percaya. Dan sebagian lagi mempertanyakan, kalaulah benar itu gangguan jurig bonge, kenapa Kyai Mastur tak mampu menanganinya. Bukankah jin setan sangat takut pada orang-orang soleh. Lagi pula pohon berhantu itu berada di belakang rumah tinggal sang kyai.Apakah keberkahan Kyai Mastur tak mampu mengusir jin setan, dedemit, genderuwo atau sebangsanya yang bersemayam di sana? Sebagian warga pesantren lain tak acuh, tak menanggapinya serius. Bagi mereka, tiada gunanya peduli pada si santri aneh itu.

Peristiwa itu membuat Koma mengikrarkan diri tak lagi memusuhi keberuntungan. Malah, jika saja keberuntungan benar-benar kasat mata ada di depannya, dia akan berdamai. Koma tak akan menyalahkan campur tangan keberuntungan lagi atas apa yang telah menimpa padanya. Dia akan biarkan keberuntungan leluasa mencampuri hidupnya. Apakah akan menjauhi, atau masih tetap menguntit ke manapun, dia sudah tak ambil pusing, takkan lagi sengaja menghindari atau mengundang keberuntungan itu.

Setelah Koma tak lagi mempersoalkan keberuntungan, dia berkenalan dengan tingkat relijius dan perenungan mendalam tentang dirinya, perjalanan hidupnya, masa depan dan sesuatu belum pasti bersifat perkiraan. Perenungan sampai ke tingkat filosofis ingin berkenalan dengan apa yang tersembunyi di balik peristiwa-peristiwa yang dia alami, siapa yang mengendalikan keberuntungan, siapa yang berada dibalik skenario, dan siapa yang berkuasa membuat semua yang tak dapat diduga itu terjadi.

Sebelumnya, Koma sudah terasing dari lingkungan pesantren, karena dia sendiri yang menciptakan keterasingan itu. Kini, tetap dan lebih terasing lagi. Dulu tak ada alasan khusus sebagian penghuni pesantren untuk menjauhi, sekarang mereka punya alasan khusus untuk menghindar berdekatan dengan Koma. Lebih-lebih, mereka ketakutan bahkan menghindar dari tatapan Koma. Mereka takut ikut kena pengaruh jurig bonge yang hinggap di telinga Koma, yang membuat dia tuli. Bahkan ada yang mengusulkan agar Koma dipisahkan, atau dijauhkan dari kemungkinan bersentuhan dan menghirup satu udara yang sama, supaya tidak mengkontaminasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun