Sayangnya, merebaknya diskursus fiqh al-siyâsah ketika itu, bukan dimaksudkan sebagai anti tesa bagi rezim tiran yang sedang berkuasa. Kajian fiqh al-siyâsah di sini malah lebih terlihat sebagai pembelaan, tidak sebagai bentuk perlawanan yang ditujukan guna melakukan de-legitimasi kekuasaan politik saat itu. Pun diskursus tersebut tidak dimaksudkan sebagai upaya untuk mendeskripsikan pola politik-kekuasaan ala Nabi dan membawa pulang kembali nalar-nalar politik yang pernah eksis di Madinah (‘Izzuddin al-‘Alâm, al-Âdâb al-Sulthâniyah; 2006, 14).
Dalam analisa Abid al-Jabiri yang termuat dalam buku provokatifnya, al-‘Aql al-Siyâsi al-‘Arabi, sejarah mencatat, kajian fiqh al-siyâsah yang didominasi oleh ideologi kerajaan bermula dari sosok Ibn al-Muqaffa’ (145 H.) yang notabene merupakan keturunan Persia. Oleh karenanya, dalam anggapan al-Jabiri, wacana yang berkembang dalam diskursus fiqh al-siyâsah yang berisi pengkultusan terhadap pemimpin merupakan warisan budaya Sasaniyah (Persia) -juga tradisi politik Helenisme dan praktek politik Madinah- yang tertransformasikan melalui figur Ibn al-Muqaffa’. Transformasi ini dapat berlangsung mulus karena secara politik ada kemiripan antara kondisi politik dalam masyarakat Arab dengan masyarakat Persia. Tentu tidak berlebihan jika Abdullah Laroui berasumsi bahwa ada perbedaan yang signifikan antara kajian fiqh al-siyâsah masa Nabi yang masih berentitaskan semangat al-syura dengan kajian fiqh al-siyâsah masa Abasiyyah yang banyak mengadopsi spirit monarki (Abdullah Laroui, Mafhûm al-Dawlah; 1981, 105).
Dengan demikian, agaknya sulit bagi kita untuk membantah “tuduhan” al-Jabiri dan Laroui di atas. Bahkan tuduhan tersebut akan menjadi lebih meyakinkan ketika kita melakukan pengembaraan panjang terhadap buku-buku karangan sarjana klasik yang mengupas tuntas mengenai sistem dan konsep politik-kekuasaan serta relasinya dengan masyarakat. Dari al-Ahkâm al-Sulthâniyah-nya al-Mawardi sampai karya Lisân al-Dîn ibn al-Khathîb berjudul Maqâmat al-Siyâsah dan al-Isyârah ila Adab al-Wizârah, juga buku Sulûk al-Mâlik fî Tadbîr al-Mamâlik-nya Syihâb al-Dîn Ahmad ibn Abi Rabî'.
Pada akhirnya, Islam memang tidak pernah memaksakan kepada setiap muslim untuk tunduk kepada setiap sistem politik apapun. Islam hanya menitipkan semangat al-syura sebagai hal yang harus dipedomani. Islam dan Nabi tidak pernah campur tangan dalam jargon “Khilâfah Islâmiyah” yang tengah diwacanakan. Demikian...
Sumber : Peneliti di Philo School dan Afkar United.
[caption id="attachment_360218" align="aligncenter" width="137" caption="Ketua Jurusan Teknik Elektro - UNP"]
[caption id="attachment_360219" align="aligncenter" width="147" caption="KA. LAB Pemakaian Listrik"]
[/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H