Mohon tunggu...
Arra Yusuf
Arra Yusuf Mohon Tunggu... Freelancer - Arra Itsna Yusuf suka jalan-jalan dan nulis suka-suka

Setidaknya, dengan menulis, "Aku menghadirkan diri, meski kau anggap aku mati" (Arra Yusuf)

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Gunung Gede dan Kisah Pendakian Tercihuy

24 Oktober 2019   21:42 Diperbarui: 24 Oktober 2019   22:35 475
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Salah satu daya tarik Gunung Gede-Pangrango via Gunung Putri adalah Alun-alun Surya Kencana. Itulah mengapa saat saya ditanya, "Mau sekalian summit nggak?" setibanya di Alun-alun Suryakencana, saya jawab, "Nggak mau". Kenapa? Capek, rek. Sudah bisa menikmati panorama Alun-alun Suryakencana saja alhamdulillah.

Padahal kalau masih semangat, hanya tinggal mendaki selama satu hingga dua jam lagi menuju puncak. Namun rasanya, dua kaki sudah nggak karu-karuan pegalnya. Kalau bisa gelinding, gelindingin badan aja deh biar cepat sampai ke basecamp lagi di bawah. He he he... iya sih cepat sampai, cepat sampai ke Rumah Sakit.

Inilah mengapa kami, grup CIHUY menamakan pendakian ke Gunung Gede Via Putri ini Pendakian Tercihuy. Mengapa? sini-sini mendekat, biar saya tuturkan kisahnya:

dok. pribadi
dok. pribadi
Once Upon a Time, teman saya Mbakpaw update -update status WhatsApp rencana ke Gunung Gede tanggal 20-22 September 2019. Saya searching dulu dong, cocok ndak nih Gunung Gede buat pemula? Ternyata ya ndak jauh dari ketinggian Gunung Prau (Padahal beda sih sebenernya tapi aman lah, ya...) Dan saya tanya lagi ke Mbakpaw beneran aman nih buat pemula?
Ia bilang, aman.

Tertarik dong eyke, apalagi ini pendakian seperti- seumpama- seolah-olah macam family gathering gitu karena yang ikut buanyak hampir 20 orang. Ada bapak-bapak dan ibuk-ibuk lintas profesi, ada anak kuliah, anak sekolah SMA, ada juga yang baru lulus. Bahkan ada anak kecilnya, Namanya Rantisi, usianya baru 6,5 tahun. Diajak sama Abahnya.

dok. pribadi
dok. pribadi
Kebayang lah ya. Pendakian rame-rame udah kayak keluarga besar. Ribet? maybe.. Cihuy? Banget lah. Toh ini bukan 'jalan-jalan cantik' biasa.

Dengan segala pertimbangan, salah satunya menimang kondisi cuaca, akhirnya pendakian dilakukan via Gn Putri. Kenapa ndak lewat Cibodas?
Karena... kata beberapa kawan yang udah sering mendaki sih, kalau lewat Cibodas jarak tempuhnya bisa lebih panjang dan bisa-bisa nggak kekejar jadwal pulang hari Minggu untuk beraktivitas kembali pada Senin pagi. So, diputuskanlah via Putri.

Dan kalau via Putri, memang ndak banyak "selingan" tempat-tempat kece macam lewat Cibodas. Kalau lewat Cibodas, bisa sambil mampir-mampir melipir sambil foto-foto cantik dulu di beberapa spot seperti telaga dan air terjun.

Kalau lewat gunung Putri, ya cuma tok mendaki rimbunnya hutan yang (kalau kata saya sih) macem latar tempat film Lord of The Rings. Udah gitu, pastinya adem.

Jalurnya menanjak terus jarang ada "bonus" landainya, sehingga perkiraan sampai ke tempat nge-camp di Surken (Alun-alun Surya Kencana) dan turun kembali pun sudah terencana. Aman lah sehingga kami nggak harus absen kerja atau sekolah Senin paginya.

Namun, perencanaan tinggal perencanaan. Ya namanya juga perencanaan manusia.  Ternyata kelompok CIHUY ini nggak bisa jalan beriringan terus hingga Surken.

Ada yang tiba sebelum Magrib. Saya sendiri dan empat teman lainnya tiba setelah Magrib dan kelompok Mbakpaw plus ibu-ibuk malah tiba pukul 11 malam di Surken. Jadi, perjalanan ini nyatanya jauh lebih berat dari perkiraan.

Jalurnya ini, kalau kata teman-teman saya sih, kayaknya baru. Soalnya dulu nggak begitu-begitu banget. So, kali ini jadi kerasa banget capeknya, nyeseknya dan debunyaaa juga ndak nahan. Tapi... kalau hari hujan malah lebih nggak lucu lagi karena pasti jalan setapak menanjak akan sulit dilalui, licin tersebab jadi jalur aliran air.

Hampir ada yang drop di tengah jalur, jika saja tak terus dikuatkan. Itulah kenapa rombongan ibu-ibu dan tiga bapak tertinggal di belakang, karena memang banyak berhenti untuk istirahat. Untung saja tidak sampai ada yang kena hipotermia.

Saya sendiri tipe pejalan yang kayak "cermin" Sama dengan pengakuan Kak Hani teman seperjalanan. Kalau depan-belakang saya kuat, saya pun ikut kuat. Tapi kalau depan-belakang saya nggak kuatan, saya kok jadi ikutan lemah juga. Makanya, saya jadi di posisi kelompok yang tengah. Ditinggal oleh kelompok depan ya... sudah ndak apa-apa, nasib, susah juga ngejarnya.

Tapi ndak sanggup juga jika harus menunggu kelompok yang masih jauh di belakang. Bermodal yakin dalam hati, bismillah semua pasti bertahan dengan cara yang berbeda-beda, asalkan nggak jalan sendirian aja.

Saya juga termasuk pengeluh sih. Rasa hati kepingin berhenti lagi dan lagi tapi semakin lama berhenti bergerak di tengah jalur, hawa dingin semakin menusuk dan kaki menjadi kaku. Tapi ya.. melangkah saja perlahan-lahan hingga akhirnya sampai di tempat nge-camp. Alun-alun Surya Kencana.

Jalur via Putri emang Gimana sih? Kok ya Lebay Amat Ngeluhnya!

dok. pribadi
dok. pribadi
Ya monmaap, bosque ini sih memang cuma pendapat pribadi. Kenyataannya jalurnya biasa aja sebetulnya, terbukti banyak dedek-dedek bayi yang dibawa mendaki sama ortunya.

Ada dedek-dedek emesh ABG yang ramai-ramai mendaki gunung gede demi kebutuhan kegiatan pencinta alam, komunitas acara sekolah, atau sekadar jalan-jalan santai mengisi akhir pekan. Lumayan, kan, demi merapikan feed instagram. Lhoo...?

So, jangan dikira jalur menanjak sepi. Ramai ternyata, bosque...

dok. pribadi
dok. pribadi
Awalnya kita akan melalui rumah-rumah penduduk, kebun-kebun penduduk setempat hingga akhirnya benar-benar masuk hutan dan melewati tebing-tebing. Jalan setapak kadang-kadang diselingi bebatuan dan akar-akar besar maupun kecil yang menjalar. 

Jadi, ya wajar rasa hati nih pas naik, pengen menjerit-jerit karena nyesek.  Pas turun, jiwa-jiwa ngeluhnya akan kembali meronta-ronta misalnya merasa mulai bosen jalan kaki dan pengen berhenti. Kalau nggak kuat-kuat iman, eh mental, mah, bisa-bisa nurutin hawa nafsu pengen berbaring aja sampai pingsan.

Saat itu sih, saat jalan turun, banyak juga pendaki lain yang drop dan cidera sehingga membutuhkan bantuan tim rescue di pos awal. Salut lah itu kaki-kaki para petugas lincah banget walaupun sambil menggendong pendaki yang sakit/cidera sementara saya mah beneran gelosor aja pas tahu turunan begitu curam.

Alhamdulillah, kelompok kami tak sampai berurusan dengan petugas walaupun ada yang drop. Intinya sih, kayak kita lagi di tengah ujian hidup, kali ya. Kalau nyerah gitu aja, berabe, pokoknya jangan putus asa sama jalurnya, deh, sekesel-keselnya, hadapi saja lah! Kalau udah bener-bener nggak sanggup ya minta pertolongan dan lain kali pikir-pikir lagi, "Yakin masih mau nanjak?" He he...

Alun-alun Suryakencana: Bisa Upacara Bendera hingga Berburu foto dengan Latar Belakang Edelweis

dok. pribadi
dok. pribadi
Setelah lelah menempuh empat pos, sampailah kami di Surken. Ya. Alun-Alun Suryakencana. Area ini merupakan padang seluas 50 hektar yang ada di ketinggian 2.750 MdPL.  Itulah mengapa si bunga abadi, edelweis bisa tumbuh di sini. Indah, cantik, menawan.

Tapi apakah boleh dipetik? oh jangan. Jelas dilarang.
Padang luas ini juga dikelilingi bukit-bukit hijau nan cantik. Saking luasnya, kayaknya  bisa nih ngadain upacara bendera.

dok. pribadi
dok. pribadi
Para pendaki menjadikan lokasi ini tempat berkemah. Namun berhati-hatilah memilih tempat nge-camp.  Berkemahlah dekat pepohonan/rimbun tetumbuhan sehingga tenda akan terjaga dari hembusan angin kencang.

Saya, Mety, Ina, Kak Hani dan Kak Hasi tiba pukul 18.30 WIB setelah rombongan Kang Lilik, Dhebay, Tegar, Indy, Agip, CR, Kak Nugrah dan anaknya, Rantisi. Jadi beberapa tenda sudah didirikan, tinggal dialasi matras saja.

Kami langsung berbenah, bersih-bersih alakadarnya, salat dan istirahat. Tapi rasa hati nggak tenang karena rombongan Ummi, Mamake, bu Puspa, Bu P, Bu Wido, Pak Awang dan Pak Wowo juga Kang Baskom masih tertinggal jauh di belakang.

Niat hati ingin istirahat, jadi nggak bisa. Selain khawatir dengan kondisi teman-teman yang belum sampai, hawa dingin nyatanya nggak bisa bikin tidur tenang walau sejenak.

Badan udah dibedong sleeping bag, sudah dibaluri minyak-minyakan agar hangat, pakai kaus kaki, pake jaket, hoodie, tetap saja hawa dingin terasa menusuk tulang. (Makasih buat bontot-qu.. Rifa buat pinjaman SB dan Jaketnya. heehhe. Juga Mety untuk pinjaman kerir "mini"-nya.) 

Kaki pun mulai nyut-nyutan dan kaku. Udah nggak karu-karuan lah rasanya. Tapi teman-teman saya bisa tidur, sih, luar biasa. Saya mah boro-boro. Bahkan di tenda sebelah aja ada yang kedengeran ngorok. Heheheh.. hakiki sekali sementara saya masih berjibaku dengan dingin dan pegal.

Pukul 11, rombongan Mbakpaw, ibu-ibu dan bapak-bapak baru sampai. Alhamdulillah selamat semua, hanya pastinya kelelahan. Mereka cerita, mereka sedih karena ketinggalan (ditinggalin). Awalnya ketinggalan sedikit aja karena ibu-ibu banyak mengambil foto dan waktu yang dibutuhkan untuk istirahat di tengah jalur juga jauh lebih lama dari rombongan di depannya, termasuk kami.

Ya sudah, akhirnya malam itu, kami melupakan sejenak kebaperan dan kelelahan dengan pergi tidur. Tapi saya sama sekali tidak bisa. Satu jam menjelang Subuh, barulah saya bisa memejamkan mata.

Pagi hari kami (masih dengan leyeh-leyeh di tenda) sementara di luar ibu-ibu sudah mulai memasak. Kebetulan ada yang bawa tekwan, ketupat instan, bawa bahan membuat bubur kacang ijo, ada yang bawa tempe kering, kentang kriuk, roti, kopi, madu, jahe, susu dan lain-lain. Banyak lah. Alhamdulillah kalau bareng emak-emak, perutmu aman, Nak...

Pagi itu, selagi ibuk-ibuk memasak, dan bapak-bapak minum kopi, kami berfoto di sekitar alun-alun Suryakencana. Matahari memang sudah terik, tapi hawa dingin tetap menusuk, ditambah angin kencang yang membawa debu tanah pegunungan.

And you know what, Di setiap pos itu ada warung. Di alun-alun Suryekencana juga ada. Tapi memang harga makanan dan minuman yang dijual mahal. Ya.. kebayang sih mereka harus bawa seabreg barang dagangan ke ketinggian demi memudahkan urusan perut para pendaki.

Muncak?
Sementara yang lain tak ada yang berniat muncak, Dhebay dan Tegar melakukannya. Kaki-kaki para anak muda itu rupanya masih kuat melakukan pendakian ke puncak Gunung Gede.

Setelah sarapan dan foto-foto, bongkar tenda, pukul 09.00 WIB kami turun. Kali ini formasinya sedikit berubah. Tapi saya masih juga berada di posisi kelompok yang tengah.

Kelompok yang sampai duluan adalah Ummi, Pak Wowo juga Kak Nugrah dan Rantisi. Saya, Bu Puspa, Mamake, Mety, Ina, Kak Hani, Kak Hasi, Kang Lilik dan Kang Baskom tiba setelahnya disusul Mbakpaw, Bu Wido, Bu P, Pak Awang, Dhebay, Tegar, Agip, CR, yang tiba pukul kurang lebih pukul 10 malam.

Ternyata, semua hampir mengalami kelelahan yang serupa, hampir menyerah,  menolak berjalan. Tapi ya mau tak mau harus terus dikuat-kuatkan. Untungnya perjalanan kelompok belakang dibuat lebih hidup dengan rangkaian wejangan dan kisah lucu yang digulirkan Pak Awang.

Sopir tronton yang sedianya sudah menjemput kami untuk kembali ke Bekasi pukul 09.00 terpaksa harus menunggu lebih lama dan kelihatannya agak kesal sih. he he... Tapi ya mau bagaimana, perkiraan turun gunung semua bareng kan nggak bisa diprediksi juga.

Tapi alhamdulillah semua bisa pulang dengan selamat meskipun ada drama sopirnya ngantuk dan bawa mobilnya agak "ugal-ugalan". Ngeri, deh, tapi alhamdulillah kami semua selamat sampai tujuan.

Ya, setibanya di Bekasi kami jadi bertukar cerita. Bagaimana kami mengalami kelelahan melalui jalur baru saat naik dan kesan melalui jalur lama gunung Gede saat turun. Bagaimana kami melalui perjalanan malam dan lain sebagainya.

Alhamdulillah... semua perjalanan ada hikmahnya. Baper-bapernya ada, lucu-lucunya banyak. ribetnya juga pasti lebih banyak.

Ingat ya... Alam Bukan Tempat Sampah Raksasa

dok. pribadi
dok. pribadi
Tidak bisa dipungkiri memang, di mana ada aktivitas manusia, di situ ada sampah. So, jangan heran jika di sepanjang jalur pendakian hingga ke Surken bahkan hingga ke puncak, banyak sampah (terutama sampah plastik) berserakan. Ada yang dibuang begitu saja di semak-semak, ada yang ditumpuk di pojok-pojok pinggir bukit Surken dan lain-lain. Rupanya kesadaran para (yang konon) pencinta alam menjaga kebersihan dan kelestarian alam, masih sangat kurang.

Padahal tidak sulit lho, mengumpulkan sampah bekas sendiri/kelompok, lalu dibawa turun lagi untuk dibuang ke tempat sampah. Hanya.. ya.. itu tadi, sulit menumbuhkan kesadaran diri padahal sudah diwanti-wanti oleh petugas sejak awal mendaftar mendaki.

Mendaki Gunung Gede Sekarang Lebih Ribet karena Urus Ini Itu, Kenapa Ya?
Alkisah teman saya mbakpaw yang mengurus pendaftaran dan simaksi ke Gunung Gede.
Sekarang ternyata, pendaftaran dilakukan secara online tapi harus tetap datang juga ke pos petugas Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) di Cibodas untuk melengkapi syarat pendaftaran dan pembayaran.  

Jadi masing-masing pendaki diberi form "Barang-barang yang Menghasilkan Sampah" yang harus diisi. Di Pos Simaksi juga akan diperiksa lagi. Hati-hati juga dengan calo di awal-awal pendakian. Pemeriksaan kelengkapan anggota kelompok dan perlengkapan usahakan di tempat yang sudah ditentukan saja ya. Jangan lupa, minta bantuan orang lokal sana untuk memudahkan komunikasi.

Selain itu, masing-masing pendaki harus membuat surat keterangan sehat. Usut punya usut ternyata pernah ada kejadian yang tidak mengenakkan sehingga petugas sekarang memberi aturan yang lebih ketat.

Tapi, dijalani saja sob, pengalaman itu guru. Tapi monmaap, kayaknya bagi saya cukup sekian dan terima gaji, eh terima kasih deh, saya ndak sanggup lagi jika harus remedial ke Gunung Gede. He he he. Tapi...  Alhamdulillah sudah dikasih kesempatan melihat panorama padang edelweis alun-alun Suryakencana.

Gunung Gede, Di Mana?

dok. pribadi
dok. pribadi
Gunung Gede yang merupakan area Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, terletak di wilayah tiga kabupaten yaitu Bogor, Cianjur dan Sukabumi. Untuk mengaksesnya cukup mudah. Rutenya bisa mengambil Jakarta-Bogor-Cibodas atau Bandung-Cipanas-Cibodas juga bisa Bogor-Salabintana.

Bisa motoran (kalau kuat), bisa juga sewa tronton kayak kelompok kami bisa juga bawa mobil pribadi/rental. Insya Allah di sana sudah banyak tempat penitipan kendaraan. Hanya, sekali lagi hati-hati dengan pihak yang asal memungut bayaran, kalau bisa, sebelum jalan, tanya detail dulu sama orang lokal sana yang bisa dipercaya.
Pokoknya ini adalah pendakian tercihuy bagi kami.

Ingat-ingat saja, Sob intinya dari setiap perjalanan adalah: Ribet itu risiko. Pengalaman itu Niscaya.

Salam Pejalan,
Arra Itsna Yusuf

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun