Aku Ra'popo
Sekian tahun hidup barangkali saya memang hanya benalu bagi pohonan subur yang tumbuh di tanah ini. Sungguh, saya rasa saya tidak sedang mengeluh, Tuan, Puan.. saya hanya ingin menulis. Boleh?
Anggaplah saya tak tahu diri pula tak paham arti kata ajaib terima kasih. Benar, anggap saja begitu. Dengan begitu, tak ada yang perlu saya konfirmasi lagi di kemudian hari.
Melihat berbagai peristiwa yang terjadi belakangan ini, bahkan sebelum-sebelumnya. Sejak mula saya melek dunia dalam berita itu berisi informasi seputar negri sendiri dan seluruh dunia, saya paham dunia tak seindah yang orang-orang bisikkan saat saya baru lahir. Welcome to the world, baby.. rasanya kini saya ganti saja, welcome to the dark jungle! Yeah!
Tuan, Puan, pernah muda, kan? Menjadi muda nyatanya tak selalu menyenangkan. Belakangan, menjadi anak muda (seolah-olah) berarti siap menjadi sorotan mata kamera pemburu berita.
Sekali lagi, anggap saya terlalu hiperbol, Tuan, Puan terhormat. saya, sebagai generasi muda, ah dan yang membanggakan katanya saya dan kawan-kawan saya adalah generasi penerus bangsa, benar? Penerus takhta negeri ini? Beberapa kali... rasanya memang seringkali kami dianggap menyebalkan, bukan?
Kami, mungkin adalah sekelompok anak muda yang sering Tuan Puan jumpai di jalan-jalan. Membawa spanduk besar-besar sambil berteriak lantang, menentang! Menantang!
Atau yang biasa kalian jumpai di panti rehab juga di balik jeruji. Wajah bersimbah sesal dengan sedikit tawa sandiwara penutup lara.
Kami juga, yang mungkin pernah Tuan Puan jumpai di terik siang atau tengah malam. Di dalam gerbong, di dalam bus berbau apek, menjulurkan tangan setelah mempertunjukkan kesenian ala jalanan. Dengan sajak pada selembar kertas lusuh, kecrekan, gitar butut, kendang hasil kreasi sendiri, bernyanyi seserak suara hati.
Silakan, kutuk, rutuklah kami... jika itu yang Tuan Puan kehendaki.
Kami juga, mungkin yang pernah Tuan Puan temui di sudut-sudut gedung, pelataran rumah ibadah, atau rumah-rumah sewaan. Tengah duduk dilingkari anak-anak serta remaja tanggung yang haus ilmu pengetahuan. Memberi sedikit bekal pengetahuan agar generasi di bawah kami tak begitu temaram, tenggelam.
Kami juga... yang mungkin pernah Tuan Puan temui di lembaga-lembaga pendidikan, berseragam dinas. Atau di salah satu sudut kasir minimarket, di belakang meja Teller Bank, bermasker di pabrik-pabrik, di atap gedung, di dinding bergelantungan, atau bekerja di dapur-dapur rumah gedongan.
Terserah, bagaimana Tuan Puan menilai. Kami terima saja.
Barangkali yang membanggakan bagi Tuan Puan adalah ketika melihat sebagian dari kami ada yang dengan gagah menggenggam medali emas, perak atau perunggu di rimba kompetisi. Olahraga? Ilmu eksak? Sosial? Kesenian? Sebagian dari kami hampir selalu ada yang mengisi podium juara, yang berprestasi di semua bidang ilmu.
Atau yang lebih keren lagi, beberapa dari kami bahkan bisa mewakili nama negeri ke luar negeri. Sebagai duta muda atau partisipan pertukaran pemuda juga pelajar. Saya membayangkan Tuan Puan akan tersenyum bahagia sambil berdiri bertepuk tangan.
Silakan, silakan... penilaian kembali kepada Tuan dan Puan..
Lihat lagi di sisi lain, bisa jadi beberapa dari kami merenggut simpati sekaligus diludahi saat tertangkap menyimpan ekstasi juga terjaring razia prostitusi. Menutup muka dengan segenggam topi atau bersejingkat karena berusaha lari saat dikejar polisi, lalu terpaksa mereka menembak kaki.
Atau, kiranya Tuan Puan tertarik dengan akisah kami yang di kampung-kampung tak tersentuh dunia yang serba membawa jargon modrernisasi. Beberapa dari kami bekerja serabutan, kuli angkut atau petani..
Beberapa dari kami bahagia menggendong anak yang barangakali lebih pantas menjadi adik di usia belia kami. merelakan ijazah SD yang usang tak bernilai apa-apa selain bahwa kami pernah tahu bahwa satu ditambah satu samadengan dua, nyatanya beberapa dari kami belajar berhitung mengenai anggaran rumah tangga dengan baik setelah masuki jenjang pernikahan dini.
Silakan, lembaran sudah tersedia di depan mata Tuan dan Puan.. tentang kriteria generasi penerus bangsa yang Tuan Puan idamkan...
Kami, saya dan mereka hanya menjalani hidup dengan nasib masing-masing. Tentu saja, tak semua bernasib baik, tapi skenario hidup, siapa juga, sih yang benar-benar tahu? Beberapa dari kami sangat beruntung dan berani bertekad mengejar impian. Beberapa tidak bisa dan kurang beruntung menjalani separuh kehidupannya. tengoklah kejadian pembunuhan berlatar cemburu dan cinta segitiga dan laina hal di media? kami sendiri miris membayangkan dan meragap diri. Beberapa menjalani kehidupan dengan masa-masa suram yang terus mengintai. Beberapa temukan cahaya, beberapa mati muda sebelum sempat bergerak menuju perubahan. Beberapa dari kami terus bertahan. Di tengah gencarnya arus dunia. Di tengah membludaknya budaya tak bisa dicerna yang terus merasuki pikiran kami. Di tengah kisruh para panutan dan pimpinan. Di tengah krisis dan perang. Di tengah maraknya manipulasi berkedok pendidikan. Beberapa dari kamia bahkan (terpaksa bahkan tak sengaja) kehilangan Tuhan.
Kadang kami tak menyadari betapa berbahaya posisi kami seandainya kami tak menyadarkan diri. Ada amanah besar di pundak yang harus kami pikul selepas Tuan Puan tak bertakhta lagi.
Baik buruk kondisi itu, toh, kami yang harus memikulnya kelak, bukan?
Kami tidak sedang menyalahkan siapa-siapa. Jangan berpikiran begitu.
kami, atau mungkin hanya saya, saat ini hanya sedang berpikir. sebagai generasi muda, jangan-jangan saya hanya benalu? Mengganggu!
Pembuat kacau! Lalu bagaimana saya harus kembali agar bisa turut memberi kontribusi membangun negri?
Seharusnya saya dan kami tak lagi bertanya, memang. Kami yang seharusnya kreatif mencari solusi. Benar kan, Tuan, Puan?
Ah, silakan, abaikan saja saya dan tulisan saya. Abaikan saja keluh kesah gundah gulana jiwa kami, anak muda. ah tidak! generasi muda, penerus bangsa, katanya.
Tak ada clue untuk catatan ini, memang. Hanya catatan kegundahan yang tak tersampaikan dengan layak dan semestinya.
Tuan dan Puan, sudilah kiranya memaafkan.
Sebagai salah satu generasi muda saya seringkali masih diliputi kegamangan... saya tahu apa yang harus saya lakukan, memang. Tapi tak bisa dipungkiri... tetap saja ada kegamangan...
Tapi... ya sudahlah...
#aku..rapopo
Pondok Gede, 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H