Mohon tunggu...
Ar rafi Kusumarachman
Ar rafi Kusumarachman Mohon Tunggu... Guru - Guru

Seorang pendidik

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Kebenaran Agama

6 Januari 2023   09:00 Diperbarui: 7 Januari 2023   15:50 251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

KEBENARAN AGAMA

Oleh : Ar rafi' Kusumarachman

A. Pendahuluan

Agama secara etimologi dari bahasa sansekerta adalah a = tidak gama= aturan, dan pada essensi historisnya agama muncul karena ada sikap lemah dalam diri manusia yang berdimensi magic dan supranatural, maka untuk membuat keteratutran tersebut maka agama dijadikan sebagai pedoman dalam berkehidupan dan dijadikan sandaran atas kelemahan manusia mencari jalan kebenaran tentang Tuhan dan kebenaran universal.

Agama merupakan suatu persepektif dalam kehidupan yang dapat membuat manusia hidup dalam tatanana norma dengan nilai yang dibangun dalam asumsi agama, setiap agama yang integral , didalamnya memiliki dimensi -- dimensi intelektual, yang bisa disebut teologi, filsafat dan gnosis. Jika term yang paling belakangan itu dimengerti sebagai suatu yang memancar (illumaties) dan membebaskan.[1]

Agama jika dipandang sebagai pengetahuan  maka akan memunculkan dimensi baru dan dapat mengupayakan segala hal yang berhubungan dengan kebebasan yang akhirnya dapat memberikan ruang yang luas dalam pengembangan keagamaan itu sendiri, dimensi intelektual agama meruapakan salah satu prinsip penting yang harus dikembangkan oleh penganut agama, setiap agama paling tidak mempunyai lima dimensi  yaitu: Ritual, mistikal, ideologikal, intelektual dan sosial. Dalam hal ini masing -- masing dimensi mempunayai bebrapa aspek yang harus dikembangkan dalam, dimensi ritual berhubungan dengan hal -- hal yang bersifat ritual, dimensi mistikal berhubungan dengan pengalaman keagamaan yang meliputi keinginan untuk mengetahui makna hidup (concern), kesadaran akan kehadiran yang maha kuasa (Cognition), serta tawakal dan takwa (Trus and fear), dimensi ideologikal mengacu pada serangkaian kepercayaan yang menjelaskan eksistensi manusia terhadap makhluk Tuhan yang lain, dimensi intelektual menunujukan tingkat pemahaman terhadap ajaran -- ajaran agama yang dipeluknya.[2]

Pemahaman lebih medalam dalam kajian kebenaran agama adalah sebagai wujud dari pada kebenaran yang bersifat mutlak melalui dimensi inetektual keagamaan. Dalam agama intaektual akana memberikan ruang dan waktu yang akan memberikan pertahanan Rasional keyakinan, tetapi juga memberikan suatu pintu masuk wilayah tertinggi bagi kehidupan mistik.[3]

Kebenaran suatu agama juga tidak lepas dari munculnya pemahaman agama secara historis dan lahirnya agama sebagai bentuk kebutuhan akan rasa ketergantugan kepada suatu zat yang bersifat mistik, hal ini merupakan salah satu prinsip dasar dalam mengurai keyakinan dan menumbuhkan kebenaran yang dari ajaran yang dianutnya, maka dalam agama kebenaran merupakan suatu pokok pembahasan yang bersumber dari ajaran utama dari agama yang termaktub dalam wahyu atau al kitab yang dimiliki oleh agama sebagai kebenaran mutlak.

 B. Agama dan Fenomenologi

Pendekatan agama dari berbagai macam displin ilmu merupakan salah satu mempelajari agama secara keseluruhan dan subsatnsi dari agama itu sendiri, dari kajian keilmuan islmaic studies yang berupaya mendekati agama dalam berbagai macam persepektifnya, maka akan muncul berbagai macam pengetahuan yang berasal dari sudut dan analisa berbeda.

Perkembangan Ilmu pengetahuan yang sangat pesat terutama pada saat romawi maka persinggungan keilmuan tersebut sangat signifikan tersebut, teori tentang keagamaan misalnya yang dikaji dari sudut sosio -- historisnya[4] tentang makna dari agama dan dari berbagai disiplin ilmu kemudian menjadi kajian agama semakin dinamis.

C. Kebenaran Agama dan Kitab Suci 

Dalam ilmu modern yang menggunakan "Kitab Suci"  sebagai konsep generik seperti banyak yang digunakan  dalam study agama , berkembang diluar konteks Tradisi yahudi dan khususnya kristen. Belakangan ini saja "Kitab Suci" menjadi hal umum karena konsep ini telah digeneralisasi dan diterapkan secara luas pada teks -- teks normatif tradisi agama -- agama lain. Signifikasi utama dari "Kitab Suci" (Scripture) atau equavalent, disini, paham yang berhubungan dengan "kanon" kitab suci adalah relevan, dalam study akademik  " Kitab Suci" menjadi salah satu kategori Taken for Grated yang digunakan setiap orang sebagai sumber utama, kebanyakan kajian agama menempatkan kitab suci pada tingkatan pertama, setidaknya dalam budaya  kesustraan diantara fenomena keagamaan yang penting.[5] 

Argumen tersebut diperkuat oleh  pernyataan  William A Graham Dalam (An Nasr dan Wiliam C Chitiick. 2011:28) bahwa hasil kajian dari teks -- teks tertulis masih mempunyai keuatan yang normatif serta otoratif. Serta dapat menjadikan firman keuasaan menjadi femomeolog dengan memperkuat delimitasi kitab suci pada teks "hitam dan Putih", kumpulan konon dan tulisan suci serta resmi dalam bentuk suatu tradisi.

Kitab suci sennatiasa menjadi rujukan utama dalam mengkaji agama dalam berbagai persepektifnya, walaupun didalamnya juga ada interprestsi dari kitab suci teks hermrnutika yang akhirnya menjadi bahan dan acuan dalam mencari jalan kebenaran dan resolusi kepada permasalahan yang timbul, kajia terhadap kitab suci meruapakan perdebatan yang sangat panjang dalam agama, dan tidak luput dari perdebatan tersebut telah memunculkan sekte- sekte baru dalam agama, yang semuanya itu tidak dapat disalahkan karena sekte -- sekte tersebut lahir karena pengalaman historikal yang mempunyai prinsip dalam mencari jalan kebenaran namun tetap berpegang teguh pada satu acuan kitab suci utama.

 

Kesakralan kitab suci ini menjadikan pedoman hidup bagi pengikutnya yang kemudian dijadikan landasan pemikiran dalam persepektif agama dan sebagai fondasi dalam menjalankan kehidupan, dari kitab suci inilah manusia menunjukan bahwa mempunyai sisi fundamental  yaitu bentuk penghambaan terhadap yang kuasa, secara teritororial hegemoni dan otoritas teks suci  tersebut masih sangat kuat terhadap perkembangan keagaamaan yang dianutnya.

Sejalan dengan itu perkembangan keagaamaan sebagaimana yang disebutkan oleh cliford greetz[6] dalam The Interpretation of Culture menyebutkan bahwa agama adalah sumber sistem kebudayaan, analisis kebudayaan  bukanlah satu ilmu eksperimental yang mencari makna sebuah hukum, tapi adalah suatu tafsiran yang mencari makna. Yang pada intinya adalah menempatkan agama pada suatu custome atau pembiasaan dalam keseharian yang akhirnya mempunyai truth claim tentang kebenaran yang diyakini sebagai normativitas yang berasal dari makna interpretasi teks suci.

D. Kebenaran Agama dalam Persepektif Islam

Jika membicarakan tentang kitab suci umat Islam tentunya kita tidak dapat melepaskan dalam konteks al Qur'an sebagai teks otoritas sebagaimana yang disebutkan oleh Nasr Abu Hamid disebut sebagai Turats atau teks yang menjadi bahan pemikiran, penempatan al Qur;an sebagai teks sakral dan utama meruapakan salah satu desain besar dalam menentukan keputusan -- keputusan hidup yang didasarkan pada teks tersebut, dan karena hasil turast maka penafsiran al Qur'an akan mempunayai produk budaya yang sangat luas sekaligus melahirkan Cipta (Kreatifitas), Rasa (Emotional) dan Karsa (Karya) yang akan mewarnai dari berbagai sisi kehidupan. Persepektif al Qur'an dan fenomenolgisnya merupakan rangkaian sejarah yang tidak lepas dari harmonisasi waktu dalam pergulatan kausalitasnya teks tersebut turun. Ada beberapa asumsi tentang kebenaran teks dan otoritasnya antara lain: [7]

 

Produk Wahyu dan Pemikiran Rasional

Dengan sifatnya yang umum dan mengatur hal -- hal pokok, al qur'an dipercayai akan selalu mendasari pedoman hidup disetiap zaman. Essensi al Qur'an itu sendiri diterima sebagai Qathi'yah al Wurud (keberdaan yang pasti , tidak lagi dipertanyakan) tentu kepercayaan seperti ini sudah melalui pembuktiaan sejarah dan semacamnya, tidak sekedar percaya secara paksaan, memang al qur'an tidak bisa dipahami secara harfiah , karena antara lain ada ayat yang tergolong jelas dan ada pula yang tergolong samar, ada kata -- kata yang mempunyai arti bercabang (musytarak), sehinggaa harus tahu arti mana yang mendekatinya.

Pendekatan -- pendekatan tersebut juga membuka ruang waktu bagi para ilmuwan Islam dalam memmahami al Qur'an, dalam relasi sejarah dapat disebutkan bahwa pasca Rasululullah wafat kesulitan pertama kali yang dialami sahabat adalah mencari jalan keluar dalam memahamai beberapa interpretasi al Qur'an ,  dari aspek Sejarah para sahabat harus banyak mencari tahu terutama dari otang ahli Kitab yahudi dan Nasrani, dalam bidang pengembangan ilmu pengetahuan para sahabat harus banyak berdialog dengan pemikiran -- pemikiran yang rasional dan itupun disebutkan dalam teks wahyu untuk membincangkan cara memperoleh pengetahuan dan pentingnya pengetahuan sehingga tidak memaknai al Qur'an hanya sebagai teks normatif panduan ibadah yang bersifat eskatologis dan Imanensi, tetapi lebig dari pada itu yaitu al Qur'an dapat Being dan Living dalam kehidupan. 

Penegasan akan tanggungjawab pribadi bukan basa -- basi[8], dalam rangka peningkatan kualitas  manusia, tanggungjawab tersebut adalah tindakan yang dilakukan, agama memandang hilangnya akal atau tiadanya kemauna seseorang untuk beriman sebagai merosotnya kemanusiaan yang paling kontradiksi dengan nilai -- nilai yang dikumandangkan oleh agama "baru" Islam: " Sesungguhnya seburuk buruknya makhluk hidup yang berjalan dimuka bumi adalah disisi Allah adalah yang tuli dan bisu yakni yang tidak mau berpikir"[9], dalam al Qur'an akata Aql digunakan sebanyak 51 kali yang mennandakan sebuah isyarat tentang  mengfungsikan akal secara optimal.

Perlu disadari bahwa persoalan keimanan adalah pilar dasar pertama dalam Islam , sedangkan pilar kedua adalah aspek ekonomi dan politik,  dari sinilah Islam tampil sebagai penyempurna terhadap agama keduanya yaitu Nasrani dan Yahudi. Tanpak jelas bahwa Islam tidak memisahkan antara kehidupan  rohaniyah dasardengan kehidupan materiaal kehidupan.[10]

Munculnya berbagai aliran[11] yang ada didalam Islam merupakan reaksi yang membawa angin segar dalam pemikiran, yang menandakan jalan mencari kebenaran dari suatu teks sangat relatif dan tidak ada truth claim tenytang siapa pemilik kebenaran tersebut, kebenaran tersebut mempunyai standart yang sama yaitu tetap menjalankan  segala perintah Allah dan menjauhi laranganya,. Kebenaran tersebut merupakan salah satu referensi dari pengembangan pengetahuan yang dinamis. 

Korelasi al Qur'an dengan  Al hadis

Sumber yang kedua tentang kebenaran adalah al Hadis[12] , jika al Qur'an yang merupakan teks suci  tidak akan dipertentangkan oleh kebenaranya, namun perlu diketahui bahwa al Hadis tersebut adalah aplikasi serta tidakan atas dasar wahyu yang dilakukan oleh nabi dengan improvisasi dalam posisinya sebagai nabi dan manusia. Maka kebenaran yang berlaku didalam hadis akan sedikit berbeda dengan kebenaran yang berasal dari al Qur'an.  jika al Qur'an bersifat universal dan ada kebenaran yang fundamnetal yaitu artikulasi taqwa dalam keimanan mengakui tentang ketauhidan.

Maka dalam hadis kebenaran tersebut merupakan suatu yang bersifat Measurable (terukur) dan relatif yang bersala dari kualitas hadis tersebut, serta pandangan subjektif dari para perawinya, dan pastinya perbedaan tersebut akan ada karena hadis bersifat dinamis dan kebenaranya juga bersifat subjektif. Namun kebenaran dari hadis tersebut tentunya menjadi bentuk dasar ideologi dalam memaknai nilai -- nilai islam secara filosofis sosiologis.

Karena dari sifat hadis yang mempunyai historis berbeda dalam periwayatanya yang berbeda antara satu sahabat dengan lainya dalam meriwayatkan hadis tersebut maka keniscayaan untuk berbeda pandangan dan redaksi yang dapat meunculkan penafsiran yang berbeda, maka gambarab bijak tersebut adalah suatu hasil dari pemikiran para muhadisin untuk menjadikan perbedaan tersebut sesuai dengan kontekstualnya bukan bersifat generalisasi.

Hadis merupakan second line dalam hukum Islam  namun kebenaranya juga diakui jika tidak disebutkan dalam al Qur'an secara eksplisit, hadis tersebut adakalanya  dijadikan pisau analisis al Qur'an (bi ma'tsur) dan sebaliknya. Maka posisi hadis saling menguatkan dengan al Qur'an.  Teks -- teks hadis yang berjumlah jutaan telah memperkaya khazanah keilmuan serta memunculkan metodologi ilmiah untuk memperkaya keilmuan dari segi teosentris maupun antroposentrisme.

 

Al Qur'an dan Semangat Ijtihad

Penggunaan akal juga dilakukan dalam kajian pendekatan Islam melalui jalur agama, agama ketika memunculkan produk hukum maka maka harus beromantisme dengan kebenaran  yang berasal metodologi hukum Islam yaitu Ushul Fiqh, sumber kebenaran tersebut merupakan  rekayasa dan seni rasionalitas yang akan memperluas dinamika keilmuan Ilmiah Islam dalam menmukan kebenaran sandaran hukum yang bersifat sitematis.

Walaupun dalam metodologi penggalian hukum tersebut masih menggunakan istilah istinbath hukum yang masih merusjuk pada penggalaian ayat -- ayat al Qur'an agar ayat -- ayat yang bersifat muhkamat dapat beroperasional secara penuh, dan juga ayat yang masih musytarak dapat dikopmproomikan dan makan secara implisit dapat diejawantahkan secara ekplisit.

Fungsi ijtihad ini adalah membuka seluas -- luasnya bagi akal untuk menemukan hukum -- hukum kontemprer yang kebenaranya dapat diterima oleh rasionalitas serta tidak bertentangan dengan sumber  utama Al Qur'an. Metodologi dalam ijtihad juga mempertimbangkan kontekstual dan maudhu'i tidak berlaku secara general, karena fungsi akal ini dalam setiap Fuqaha pastinya akan berbeda -- beda.

Namun tidak semua menggap bahwa ijtihad tersebut adalah sebagai sumber hukum, banyak diantara aliran keagamaan hanya mengakui dua hukum besar yaitu al Qur'an dan al hadis. Namun ijtihad ini perlu diketahui dan perlu dilakukan sebagaimana yang pernah terjadi pada Rasulullah ketika ada permasalahan yang bersifat muhkamat tetapi belum adanya wahyu yang turun maka keputusan diambil dengan jalan musyawarah. Begitu juga dengan sahabat -- sahabt ketika ekspansi wilayah  Islam bertambah luas maka hal utama yang dilakukan sahabat adalah berijtihad seperti yang dilakukan oleh sahabt Umar bin Khatab dalam berijtihad.

Ijtihad hanya boleh dilakukan oleh mujtahidin yang mempunyai syarat serta ketentuan yang secara ilmiah mampu dipertanggungjawabkan, Ijtihad seidak -- tidaknya telah membuka nalar ilmiah baru yang akan being religius terhadap suatu kebenaran yang bersifat ilmiah[13].

Lebih lanjut bahwa ijtihad ini adalah persepektif melihat dan menafsirkan hukum islam dari berbagais udut pandang secara filosofis, sosiologis, psikologis dan juga secara antropologis, perbedaan pendapat dalam pemikiran hukum Islam tidak untuk sekedar berbeda, namun semata -- mata memahami wahyu tadi, kemudian untuk mengamlkanya. Yaitu perbedaan dalam hasil ijtihad. Dengan  demikian , para ahli islam yang non muslim, tidaklah masuk ke dalam wilayah ijtihad ini. Kalau toh mereka mendalami Islam.maka staus mereka sebagai kajian  bersifat akademisi yaitu megkaji pemikiran ulama[14].

 

Kesimpulan

  • Agama adalah sumber kekuatan manusia yang bersifat mendasar dan merupakan kebutuhan dari rohani manusia yang bersifat fitrah.
  • Agama merupakan rangkaian wahyu yang dari Tuhan yang tertuliskan pada teks suci melalui Nabi dan Rasul yang membawa nilai universal yaitu membawa katauhidan dengan ajaran kebaikan.
  • Agama merupakan jalan untuk mencari kebenaran dengan sumber utama teks suci yang berupa wahyu dan perintah untuk menggunakan akal.
  • Otoritas kebenaran dalam Islam berada pada sumber utama yaitu al Qur'an dan di ejawantahkan dalam hermenutika al Hadis dan di kontekstualkan dalam al Ijtihad sebagai sumber pemakaian hukum yang jelas.
  • Al Qur'an bukan sebuah kajian teks suci yang bersifat tirani namun bersifat demokrasi karena kebenaranya bersifat demokrasi dan moderat dan dapat ditafsiri secara multidisplin ilmu, sehingga kebenaran al Qur'an bukan tekstual tetapi kontekstual.

 

Daftar Pustaka

 

Azizi, Qodry, Islam dan Permasalahan Sosial Mencari Jalan Solusi, Lkis,Jogjakarta, 1998

 

Arif, Mahmud, Teori Pendidikan Islam (Terj).Tiara Wacana, Jogjakarta. 2002

 

Daniel L.Pals. Seven Theories of Relegion (Terj), Diva Press, Jogjakarta

 

An Nasr dan Wiliam C Chitiick, Islam  Intelektual Teaologi, Filsafat dan Ma'rifat, Perennial Press, Jakarta, 2001

 

Richard.C. Martin. Pendekatan Kajian Islam dalam Study Agama.Muhamadiyah Uneversity Press, Surakarta, 2001

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun