Demonstrasi berujung kerusuhan dan perbuatan anarkis hampir menjadi kebiasaan bagi sebagian masyarakat indonesia jika ada keputusan pengadilan yang tidak disetujui atau dianggap tidak adil. Hal-hal di atas seringkali berujung pada tindakan kriminal yang ditujukan kepada hakim yang memutuskan suatu perkara.Â
Tidak jarang juga tindakan-tindakan negatif ini merugikan berbagai pihak, baik secara materil atau immateril, mulai dari instansi yang bersangkutan bahkan masyarakat yang melakukan demonstrasi itu sendiri. Namun, apakah pada akhirnya perbuatan-perbuatan negatif seperti ini akan terus di normalisasi?Â
Pada faktanya, perbuatan negatif yang bersangkutan dengan ketidakpuasan masa terhadap putusan hakim dalam perkara tertentu memiliki klasifikasinya tersendiri.Â
Perbuatan ini disebut dengan PMKH. Menurut pasal 1 ayat 2 Peraturan Komisi Yudisial nomor 8 tahun 2013, PMKH atau Perbuatan Merendahkan Kehormatan dan Keluhuran Hakim ini adalah perbuatan orang perseorangan, kelompok orang, atau bahkan badan hukum yang mengganggu proses pengadilan, hakim yang memeriksa, mengadili, memutus perkara, serta mengancam keamanan hakim didalam maupun di luar persidangan, atau menghina hakim dan pengadilan. PMKH sendiri dapat dibagi menjadi dua, yakni perbuatan yang dilakukan oleh masyarakat luar (eksternal) dan perbuatan yang datangnya dari hakim yang justru merendahkan keluhuran dan martabat profesinya sendiri(internal).Â
PMKH Eksternal dan Internal.
Bentuk PMKH eksternal merupakan bentuk PMKH yang dilakukan oleh pihak luar pengadilan baik orang perorangan atau masyarakat sampai badan hukum.Â
Bentuk PMKH yang dilakukan oleh pihak luar pengadilan dapat berupa mengganggu dan menghambat proses peradilan, melakukan penghinaan verbal, non verbal, virtual, maupun langsung tehadap hakim dan peradilan, sampai pada melakukan penyerangan.Â
Umumnya, terdapat beberapa faktor yang memicu terjadinya PMKH eksternal antara lain ‘kebiasaan’ masyarakat yang tidak menghormati hakim.Â
Hal ini dipicu oleh kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap regulasi hukum di Indonesia. Selain itu ketidakpahaman masyarakat awam terhadap sistem hukum di Indonesia juga menjadi pemicu ketidakpuasan masyarakat dengan putusan yang hakim putuskan. Oleh karena itu diperlukan advokasi terhadap hakim.Â
Selain dilakukan oleh pihak luar, PMKH juga dapat terjadi karena hakim itu sendiri yang merendahkan harkat dan martabatnya dengan melanggar kode etik yang sudah ditentukan.
 Contohnya adalah kasus hakim PN Rangkasbitung DA yang sempat menggemparkan publik. Pasalnya, meskipun menyandang jabatan sebagai seorang hakim, DA menggunakan sabu di ruang kerjanya bersama beberapa koleganya. Hal ini membuat DA menjatuhkan martabat profesinya sebagai hakim dan membuat DA melanggar kode etik dan pedoman perilaku hakim yang selanjutnya akan kita sebut KEPPH.