Mohon tunggu...
Arolina Sidauruk
Arolina Sidauruk Mohon Tunggu... Pengacara - Waktu itu sangat berharga

Bagai menegakkan benang basah

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Sisi Lain dari Baju dan Barang Bekas

20 Maret 2023   22:23 Diperbarui: 2 April 2023   23:42 630
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar: Tribunnews.com

Tanggal 15 Maret 2023 yang lalu kita dihebohkan dengan pernyataan Presiden tentang Impor Baju Bekas. Katanya dianggap mengganggu industri tekstil dalam negeri. Informasinya baju bekas tersebut bisa masuk melalui lima pelabuhan laut utama secara illegal, salah satunya Sumatera (Tanjung Balai Asahan). Dirjen Bea dan Cukai mencatat telah melakukan 278 penindakan terhadap 7.881 bal pakaian bekas impor sejak Januari 2022 hingga Pebruari 2023.

Menarik juga cerita tentang Baju bekas ini. Kalau di Medan namanya Monza (Mongonsidi Plaza) nama suatu tempat di Tanjung Balai. Padahal lokasi serupa sudah ada di setiap pasar seperti di Pasar Sambu, bahkan di rumah-rumah penduduk yang mempunyai modal besar. Kalau di Pematangsiantar namanya Rojer (tidak tahu apa arti nama itu) dan Lokasinya ada di Pajak Parluasan dan Pajak Horas. 

Mungkin karena mudahnya barang bekas itu masuk ke Indonesia khususnya Medan dan Siantar maka saat ini para pemodal sudah berani membuka toko dirumahnya sendiri dengan merubah bentuk depan rumah tersebut seperti Ruko. Sehingga pembeli pun bebas memilih baju berjam-jam lamanya. Mobil tersusun rapi di tepi jalan. Tukang parkir dadakan pun ikut menikmati. 

Teringat kala itu ketika pertama sekali Pemerintah mengharuskan PNS memakai seragam Hitam Putih. Maka berbondong-bondonglah PNS ke Parluasan dan Pajak Horas untuk membeli baju/ kemeja bekas.

Penjual pun membuka Bal (karung goni plastik) yang isinya khusus kemeja putih, untuk pria dan wanita. Kalau kita sabar kita pasti dapat yang Jonggol (terbaik) dan harganya juga berbeda dengan yang biasa. 

Saya kebagian 1 (satu) blouse putih, memang masih bagus dan cantik, harganya Rp100.000 ketika itu belum ada Covid, tapi saya menutup mulut dan hidung dengan saputangan. Karena aromanya menyengat, sepertinya ada bau-bau disenfektan. 

Saya tidak ingin lanjut untuk membongkar, selain perih dimata, saya berpikir Rojer kog mahal? Dibenak saya, lebih baik beli yang baru, harganya mungkin selisih Rp50.000 karena untuk kemeja kerja warna putih seharga Rp150.000 sudah lumayan bagus. 

Kalau alasan Pemerintah tentang pelarangan impor Baju bekas sangat mengganggu UMKM, rasanya jauh sekali. Tapi kalau alasan Kesehatan baru bisa diterima akal. 

Aromanya memang beda sekali. Sedangkan aroma baju baru kita terkadang tidak suka. apalagi yang bekas. Banyak pula kawan-kawan tega membeli pakaian dalam, katanya enak dipakai.

Saya lalu bertanya "tidak takut kena virus"? Jawab mereka "kan dicuci sampai di rumah, direndam pakai air mendidih dan dikasih deterjen" (ada juga yang pakai Ajinomoto). Tapi tetap saja saya merasa geli, terbayang orang sana memakai itu, lalu kita pakai juga ......tapi gumam saya hanya dalam hati, takut kita dibilang sombong. Padahal sebenarnya menurut saya harganya mahal untuk ukuran bekas. Hampir sama dengan produk pakaian yang baru. 

Saya punya teman, pebisnis barang bekas yang di Impor katanya dari Singapur dan Thailand. Kalau barang - barang tersebut datang kerumah teman saya sudah pakai Truck Diesel, dia cukup terkenal dikota kami, dan memang kwalitas barangnya masih bagus (80%), bahkan masih ada cap di setiap baju. Pelanggannya pun banyak, bahkan pembeli nya ada dari luar kota,yang belanja untuk dijual kembali di kota asalnya.

Saya bertanya kenapa tidak langsung ke sono belanja? Mereka beralasan bahwa baju bekas itu tidak boleh lagi diimpor, tidak boleh lagi lewat pelabuhan resmi. Harus punya koneksi orang Pelabuhan. 

Kalau Pedagang langsung ke lokasi tidak akan diperbolehkan, bisa kena tangkap petugas, maka toke-toke tersebut sudah menggunakan jalur komunikasi selular,dan senyap. Saya sendiri angkat topi kepada teman saya atas keberaniannya. Jiwa bisnisnya memang jago... darahnya mungkin darah biru. 

Itu tadi tentang baju bekas. yang tidak kalah dahsyatnya adalah tas-tas ber merk (branded) luar biasa......Mehongnya ampun...saya rela dibilang kampungan karena tidak mau membeli tas itu yang dibandrol dengan harga antara 1 juta -6 juta. mulai dari merk LV, Chanel, Burberry, Balenciaga, Prada, Fendy, Hermes dan lain sebagainya. tapi anehnya banyak juga yang beli cong........ mungkin pembeli itu sudah terbiasa membeli yang Original, sehingga dengan harga segitu, mereka tanpa segan-segan langsung Transfer. 

Saya mungkin masih berpikir 2 kali lah untuk membeli tas tersebut, alasan saya lebih bagus beli yang baru.. Bocorannya dari teman saya, katanya para pembeli itu pedagang juga, dia merapikan tas-tas itu dengan alat pembersih khusus, lalu dipajang di toko dengan harga yang 2x lipat, bahkan dijual dengan cara diangsurkan 4x bayar..wowwwww.

Pertanyaan saya kemudian,, pernahkah Pemerintah mengulik keberadaan tas-tas branded tersebut, kenapa baju saja yang dipersoalkan. Bahkan katanya Pegadaian pun mau menerima tas-tas tersebut sebagai jaminan utang. Apakah Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 40 tahun 2022 tentang Perubahan atas Permendag nomor 16 tahun 2021 tentang barang dilarang ekspor dan barang dilarang Impor sudah menjawab itu? 

Mengacu pada data BPS (Badan Pusat Statistik ) volume dan nilai Impor pakaian bekas ke Indonesia relatif meningkat setiap tahunnya dan memuncak pada tahun 2019, di tahun itu impor pakaian bekas mencapai volume 392 ton dengan nilai US $6,08 juta.

Pada tahun 2021 BPS mencatat impor pakaian bekas hanya 8 ton dengan nilai USD 44 ribu, adanya perbedaan angka tersebut menimbulkan kecurigaan banyaknya pakaian bekas yang masuk ke Indonesia melalui jalur ilegal. 

Nah, kalau barang bekas tersebut lewat jalur tikus, bagaimana dengan pajaknya? Berapa banyak kerugian negara atas aktivitas illegal itu?

Bagaimana penegakan hukum terhadap impor pakaian bekas tersebut?

Dalam UU Perdagangan diatur bahwa Importir wajib mengimpor barang dalam keadaan baru, kecuali ditentukan lain oleh Pemerintah pusat. Bahkan Pasal 46 angka 17 UU Cipta Kerja yang mengubah pasal 51 ayat 2 UU Perdagangan menegaskan kembali bahwa importir dilarang mengimpor barang yang ditetapkan sebagai barang yang dilarang untuk diimpor atau dalam hal ini pakaian bekas.

Importir yang melanggar larangan tersebut diancam pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Rp5 milliar. Jika dalam pengawasan ditemukan bukti awal dugaan terjadi tindak pidana, petugas pengawas (Bea dan Cukai) harus melaporkannya kepada penyidik untuk ditindaklanjuti.

Jadi menurut saya, terjadinya Impor baju bekas tersebut, kurang pas disebut mematikan industri kecil UMKM. Rezeki kita berbeda satu dengan yang lain. Pertanyaannya, apa upaya pemerintah untuk mencegah bisnis itu berhenti? Apa mutu/kualitas hasil UMKM harus lebih ditingkatkan lagi supaya mampu bersaing dan konsumen tidak beralih ke Monza atau Rojer?

#berharapau#

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun