Mohon tunggu...
Arofa
Arofa Mohon Tunggu... Lainnya - Universitas Jember

Hallo, saya Arofa, sebagai mahasiswa Ilmu Ekonomi Studi Pembangunan, saya tertarik dengan berbagai isu ekonomi yang menyangkut dengan upaya otoritas moneter maupun fiskal dalam mendorong pembangunan ekonomi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Penguatan Stabilitas Ekonomi Indonesia: Pertumbuhan Kredit Meningkat Disertai Penurunan Risiko Gagal Bayar

4 November 2024   00:02 Diperbarui: 4 November 2024   00:31 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Keuangan yang inklusif mencerminkan tingkat kesejahteraan ekonomi disuatu negara. Inklusi keuangan didefinisikan sebagai kemampuan individu dan bisnis dalam mengakses produk maupun layanan keuangan yang mudah serta terjangkau.

Inklusi keuangan memainkan peran penting dalam perekonomian. Hal ini mengacu pada peningkatan kesejahteraan dan pertumbuhan ekonomi di suatu negara. Tingkat inklusi keuangan yang tinggi memungkinkan masyarakat memanfaatkan secara optimal dari produk maupun layanan keuangan yang disediakan oleh lembaga keuangan.

Perkembangan inklusi keuangan menjadi pembahasan menarik sejak global financial crisis (GFC) yang terjadi pada tahun 2008 lalu. Ketidakmampuan spekulan dalam membaca kondisi ekonomi menyebabkan jatuhnya Lehman Brothers sebagai salah satu lembaga keuangan terbesar di Amerika. Risiko gagal bayar akibat terjadinya bank run pada saat itu mengakibatkan jatuhnya perekonomian global.

Mengacu pada pengalaman pahit di masalalu, inklusi keuangan sejak saat itu mendapatkan perhatian khusus dari pembuat kebijakan, utamanya bank sentral. Tingkat pemahaman yang rendah atas financial akan meningkatkan risiko sistemik yang berdampak pada kejatuhan ekonomi. Dengan kondisi tersebut, otoritas moneter secara pro-aktif terus berupaya dalam meningkatkan literasi dan inklusi keuangan masyarakat.

Perkembangan Inklusi Keuangan di Indonesia

Indonesia menempati posisi tengah-tengah pada tingkat inklusi keuangan di Asia Tenggara. Jika dibandingkan dengan Kamboja, Laos, dan Filipina, inklusi keuangan di Indonesia masih lebih tinggi yakni hingga tahun 2024 telah mencapai 75,02 persen dengan tingkat literasi keuangan sebesar 65,4 persen.

Inklusi keuangan di Indonesia meningkat secara bertahap. Hal ini karena faktor multidimensi yang mempengaruhi prefrensi masyarakat terhadap layanan keuangan yang terintegrasi. Namun belakangan, inklusi keuangan di Indonesia telah mencerminkan perkembangan yang positif sejalan dengan meningkatnya akses teknologi digital.

Meski tantangan sosial-ekonomi masih mempengaruhi sebagian masyarakat yang unbanked, namun perkembangan infrastruktur yang mulai merata telah memberikan implikasi terhadap peningkatan inklusi keuangan di Indonesia. Ketersediaan fasilitas dan akses yang memadai memungkinkan kepercayaan masyarakat meningkat terhadap lembanga keuangan di Indonesia.

Pentingnya tingkat pemahaman individu maupun bisnis terhadap layanan keuangan karena pada gilirannya akan mempengaruhi sektor ekonomi riil. Dengan memiliki pemahaman yang cukup terkait dengan produk dan layanan keuangan, individu maupun bisnis akan mampu memanfaatkan secara optimal untuk meningkatkan taraf perekonomian mereka.

Keuangan yang inklusif memungkinkan peningkatan kredit modal dan kredit konsumsi yang disertai dengan penurunan not performing loan (NPL) atau risiko gagal bayar. Bank Indonesia mencatat pertumbuhan kredit pada tahun 2023 mencapai 10,4 persen yang mana diprediksikan akan terus tumbuh dengan proyeksi pertumbuhan kredit pada akhir 2024 mencapai 9-11 persen. Hal ini sejalan dengan penguatan kebijakan Rasio Pembiayaan Inklusif Makroprudensial (RPIM).

Menguatnya pemahaman masyarakat terhadap produk dan layanan keuangan juga dicerminkan melalui rendahnya NPL. Bank Indonesia mencatat NPL gross bank sebesar 2,26 persen pada Agustus 2024 dengan tingkat pertumbuhan kredit mencapai 10,85 persen. Kondisi ini mencerminkan pemahaman serta kehati-hatian lembaga keuangan dalam menyalurkan kredit ke masyarakat untuk menjaga stabilitas ekonomi.

Tidak hanya itu, Bank Indonesia juga melaporkan dana pihak ketiga (DPK) meningkat mencapai 7,04 persen dibanding bulan sebelumnya yang hanya 7,01 persen. Meskipun perbedaan ini cukup tipis, namun hal ini telah cukup mampu mengindikasikan kemauan masyarakat yang lebih tinggi dalam mempercayai lembaga keuangan.

Peningkatan pertumbuhan kredit dan DPK pada gilirannya akan berpengaruh terhadap sektor riil. DPK yang lebih tinggi dapat disalurkan pada sektor pembiayaan kredit sehingga pelaku bisnis memiliki modal yang lebih banyak untuk perluasan usahanya serta individu mampu meningkatkan konsumsinya yang berdampak pada meningkatnya pertumbuhan ekonomi.

Perkembangan sektor keuangan yang positif mencerminkan kondisi perekonomian Indonesia yang terjaga. Hal ini tentu saja didorong oleh pemahaman individu serta pelaku bisnis dalam memanfaatkan produk dan layanan keuangan secara optimal.

Perputaran uang yang pesat memberikan multiplayer effect yang lebih cepat terhadap perekonomian. Dengan tingkat inklusi keuangan yang tinggi, Indonesia berpotensi mampu mempercepat akselarasi menuju ekonomi maju sebagai tujuan pembangunan ekonomi di Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun