Cuaca siang ini panas sekali. Tak banyak penduduk lokal kota kecil Matangglumpang Dua yang lalu lalang di tiap sudut kota. Apalagi di kota kecil apik ini sedang berlangsungnya proyek pelebaran jaran raya. Banyak asap-asap beterbangan dan debu-debu hasil karya kendaran yang melintas di jalanan menjadikan polusi udara yang hampa di setiap sudut kota pelajar kecil ini. Aku dan beberapa teman kuliahku hanya duduk manis di sudut kantin, dan berbicara mengenai dosen genit nan cantik tadi pagi sewaktu jam kuliah kami.
"Munar, kau mau baca buku ini enggak!".
Usulan seorang temanku, Nurdin. Dia seorang ketua Badan Eksekutif Mahasiswa di Fakultas kami. Seorang teman yang punya banyak buku. Orang pintar, pasti banyak membaca, bukan! Menurutku begitu.
"Buku apa? Kalau buku-buku norak gitu tak usah, Din".
Yang ku lihat di tangannya itu hanya sebuah novel. Bagiku novel-novel yang tak bermanfaat itu ku sebut buku norak. Tak baik dikonsumsi. Yaitu seperti buku yang mengandung cerita-cerita cinta yang berakhir dengan sebuah adegan skandal seksualitas, pembunuhan, pencurian dan sebagainya yang tak punya manfaat sama sekali bagi si pembaca. Itu ku sebut buku norak.
"Bukan, ini sebuah novel hebat Nar?"
"Ah, masa sih!". Aku menggerutu.
"Iya, ini buku petualangan yang menakjubkan wahai sobatku Munar. Coba, bacalah dulu...!".
Nurdin menutup sampul belakang buku merah tua itu. Dan memasukkan kedalam tas ku. Aku tak melihat-lihat lebih dulu buku apa yang telah diberikan padaku tersebut. Biarlah, mungkin nanti malam akan ku baca novel hebat usulan si Nurdin pintar itu.
Sambil menggosip. Tertawa terbahak-bahak. Secangkir kopi kecil dihadapanku, habis tak bersisa. Nikmatnya ngerumpi sambil ngopi.
***