Sedangkan dalam Agama Hindu ajaran Cinta Kasih diimplementasikan dalam interaksi sosial religius, yaitu antara pawongan (sesama manusia), palemahan (manusia dengan lingkungan), dan parahyangan (manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa), ketiga hal ini dikenal dengan istilah Tri Hita Karana. Adapun yang mendasari ajaran Cinta Kasih dalam Hindu ajaran yang disebut Tat Twan Asi (dalam Kitab Chandogya Upanisad VI. 14.1) yang menyatakan bahwa "aku adalah kamu". Maknanya kemudian dikembangkan lagi menjadi "engkau adalah dia" atau "dia adalah mereka".
Agama Khonghucu mengajarkan bahwa Cinta Kasih termasuk dalam salah satu Watak Sejati yang dimiliki manusia sejak lahir, bahkan sejak dalam kandungan. Penghayatan Cinta Kasih dapat menghantar manusia mencapai keharmonisan dan keselarasan dengan Tuhan, manusia dan alam semesta. Maka ada beberapa cara untuk melatih Cinta Kasih dalam diri seseorang, yaitu: ikhlas menerima diri dan orang lain, ikhlas memberi kepada sesama, berpikir positif agar terarah dan fokus dalam menyelesaikan suatu masalah, membahagiakan orang lain, menyelami hati untuk membersihkan diri dari perasaan-perasaan negatif.
Kita menemukan dengan ungkapan berbeda dan indah dalam Agama Islam yaitu ajaran "Rahmatan lil'Alamin" yaitu mengajarkan tentang Cinta Kasih dan Kasih Sayang, baik itu dalam hubungannya dengan Allah, hubungan dengan sesama manusia, maupun dengan alam semesta.Â
Cinta dan kasih sayang kepada sesama manusia dalam Islam tidak sebatas cinta kepada keluarga atau cinta kepada sesama umat Islam saja, tetapi cinta dan kasih sayang itu sudah melampaui semua itu. Maha Rahman artinya pengasih dan Maha Rahim adalah penyayang. Kedua sifat ini menjadi dasar pertama umat Islam dalam membangun kehidupan dengan umat lain dan dengan alam semesta.Â
Dalam hubungan dengan makhluk Allah, umat Islam diperintahkan untuk menghormati, mengasihi dan memelihara hubungan yang baik dan harmonis. Bahkan dikatakan Cinta dan Kasih Sayang adalah bagian dari iman seseorang. Cinta kasih kepada sesama manusia merupakan bentuk keimanan kepada Allah.
Kebenaran objektif dalam setiap agama bersifat hakiki yang merupakan identitas sejati hidup beragama. Bukti bahwa "semua Agama sama", yaitu sama-sama mengajarkan nilai-nilai universal, berlaku umum, untuk semua. Agama-agama mengajarkan bagaimana caranya membangun kehidupan yang harmonis, humanis, rukun, toleran, adil, damai, sejahtera dan bahagia di dunia dan di akhirat. Agama-agama mengajarkan kepada setiap penganutnya untuk saling menghormati dan menghargai, menerima dan mengakui perbedaan. Membangun kehidupan yang lebih baik dengan cara hidup yang baik.
Oleh sebab itu, kebenaran objektif agama-agama di dunia adalah kebenaran yang dapat menjadi dasar kerja sama dan dialog antarumat beragama. Bertolak dari keprihatinan dan permasalahan bersama untuk mencari solusi bersama dalam membangun kehidupan yang semakin meneguhkan, menguatkan, mengembangkan, memotivasi, memanusiawikan antar makhluk ciptaan Tuhan.
Lalu pertanyaan selanjutnya "Apakah hanya ada satu agama saja yang benar?" Sebenarnya jawaban atas pertanyaan ini lebih mudah dipahami jika kita melihat kebenaran agama-agama yang bersifat subjektif, artinya kebenaran yang hanya bisa dipahami, diterima, diakui dan dihayati oleh masing-masing penganut agama saja.Â
Kebenaran subjektif lahir dari konteks asal dan sumber dari mana agama itu muncul. Maka sangat kental dengan nuansa budaya, sosial, adat, simbol, kepercayaan, bahasa, cara berfikir, merasakan dan mengungkapkan keyakinan dan kepercayaan. Kebenaran subjektif ini tidak bisa dipahami dan diterima oleh penganut kepercayaan lain, maka kebenaran ini menjadi kekhasan agama yang membedakannya dengan agama lain.Â
Kekhasan masing-masing agama terutama menyangkut pengungkapan iman dan simbol-simbol yang digunakan untuk berhubungan dan berkomunikasi dengan Tuhan. Oleh sebab itu, kebenaran subjektif ini hanya benar menurut penganut agama yang bersangkutan, seharusnya tidak diperdebatkan apalagi diberlakukan kepada penganut agama lain.Â
Singkatnya, agama-agama berbeda satu sama lain jika dinilai dari kebenaran subjektif atau benar menurut masing-masing agama, bukan paling benar dibandingkan dengan yang lain.