Alkitab dan tradisi Gereja juga seringkali menjadi dasar penyebab terjadinya permasalahan ketidakseimbangan peran dan kedudukan antara laki-laki dan perempuan. Tradisi Gereja selama berabad-abad telah menggunakan konsep-konsep yang diperoleh dari beberapa bagian Kitab Suci dan menjadikannya dasar pemahaman tentang tempat perempuan yang berbeda dengan laki-laki (Retnowati, Â 2002: 79).Â
Perempuan selalu dianggap lebih rendah, kelas dua, lemah dan kurang mampu, mudah dikuasai, sedangkan laki-laki memiliki kedudukan yang lebih tinggi, sebagai pihak yang menguasai, sehingga laki-laki lebih banyak mempunyai kesempatan untuk memegang kekuasaan dan kepemimpinan.
Kedudukan dan peranan perempuan dalam Kitab Suci, khususnya Perjanjian Lama tampak dalam dua pola pemikiran. Pertama, menempatkan perempuan sederajat dan semartabat dengan laki-laki. Di sini perempuan dan laki-laki diciptakan sebagai gambar dan rupa pencipta atau secitra dengan Allah, sehingga mampu mengatur alam yang kacau menjadi teratur:
Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi. Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka (Kej 1:26-27).
Sedangkan pola pemikiran kedua, menempatkan hubungan "saling melengkapi" dalam kehidupan manusia. Hal ini tampak dari kisah Hawa atau perempuan yang lahir dari rusuk Adam atau manusia.
Lalu TUHAN Allah membuat manusia itu tidur nyenyak; ketika ia tidur, TUHAN Allah mengambil salah satu rusuk dari padanya, lalu menutup tempat itu dengan daging. Dan dari rusuk yang diambil TUHAN Allah dari manusia itu, dibangun-Nyalah seorang perempuan, lalu dibawa-Nya kepada manusia itu. Lalu berkatalah manusia itu: "Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku. Ia akan dinamai perempuan, sebab ia diambil dari laki-laki" (Kej 2:21-23).
Kedua pola pemikiran tersebut, secara silih berganti berperan dalam tradisi dan budaya Yahudi sampai pada jaman ketika Yesus hidup.
Sebenarnya kedua perikop dalam Kitab Kejadian (bab 1 dan 2) menyatakan bahwa Allah menciptakan perempuan dan telah menempatkannya sebagai mitra kerja (Kej 2:18 "Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia") yang sederajat bagi laki-laki.Â
Dengan demikian, perempuan berhak untuk berperan serta dan bekerja sama dengan kaum laki-laki dalam rangka mengembangkan hidup manusia itu sendiri dan turut mengambilbagian dalam keseluruhan karya keselamatan Allah.Â
Dengan kata lain, manusia (laki-laki dan perempuan) diciptakan oleh Allah dengan bebas dan bermartabat walaupun di pihak lain sejarah telah mencatat suatu era dimana manusia perempuan hidup terbelenggu di bawah kuasa manusia laki-laki, yang pada dasarnya peristiwa ini bertentangan dengan Kitab Kejadian 1:27 (Seran, Â 1995: 9).
Martabat laki-laki dan perempuan adalah luhur di hadapan Allah. Hal ini tampak dalam pernyataan Allah sendiri ketika menciptakan laki-laki dan perempuan "Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka" (Kej 1:27).
Dari kisah penciptaan nyata bahwa manusia baik laki-laki maupun perempuan memiliki kesamaan martabat di hadapan Allah, yakni mereka diciptakan serupa atau secitra dengan Allah. Tidak dikatakan bahwa perempuan lebih rendah dari laki-laki atau sebaliknya, perempuan lebih tinggi martabatnya dari laki-laki.Â
Mereka memiliki kedudukan yang sama di hadapan Allah. Artinya laki-laki dan perempuan tidak boleh saling menguasai satu sama lain atau yang satu merasa lebih hebat (superior) dari yang lain. Hendaknya laki-laki dan perempuan saling melengkapi dan bekerja sama untuk mengambilbagian dalam keseluruhan karya penciptaan Allah, yakni dengan memelihara dan mengembangkan ciptaan Allah di dunia.
Kehadiran perempuan mulai diakui atau dipandang sejajar dengan laki-laki pada saat kehadiran dan kedatangan Yesus dalam "Perjanjian Baru", dimana tanda eksklusif, yakni sunat diganti menjadi tanda inklusif, yakni permandian bagi semua orang. Dengan kata lain, kehadiran Yesus dalam Perjanjian Baru menjadi titik temu "komunitas baru", yakni antara laki-laki dan perempuan.Â
Karena tanda sebagai umat pilihan khusus yang dibuat Yesus tidak hanya berlaku untuk kaum laki-laki saja, tetapi juga kaum perempuan; baik untuk seorang Yahudi, maupun bukan Yahudi; baik untuk seorang atasan, maupun budak; tanda yang menjadi pembebasan bagi mereka yang kecil, miskin, dihina, dikucilkan, ditindas dan dianggap tidak layak untuk Kerajaan Allah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H