Usai pertandingan, Lionel Messi tampak tenang. Tak seekspresif Christiano Ronaldo yang jika menang sudah seperti telah memenangkan Piala Dunia. Entah apa yang ada di pikirannya? Apakah dia berpikir bahwa Argentina layak menang, atau sebaliknya. Sebab penampilan Argentina menurutnya masih di bawah performa terbaik.
Kemenangan tipis 2-1 atas Australia membawa Argentina ke babak delapan besar, sudah ada Belanda yang menunggu mereka. Siapapun yang menyaksikan laga ini, akan sepakat satu hal, bahwa Argentina telah berkembang, dibandingkan dengan laga perdana mereka melawan Arab Saudi.
Di laga awal tersebut, Argentina tampil amburadul, dan kalang kabut dibuat Arab Saudi yang mengandalkan pressing tinggi.
Syukur, sesudah itu Messi cs perlahan bangkit dan meraih double kemenangan atas Mexico dan Polandia, yang membuat mereka lolos ke babak 16 besar.
Akan tetapi pertanyaannya sekarang adalah apakah Argentina sudah menampilkan performa yang membuat pandit dan penggemar yakin bahwa Argentina akan melaju lebih jauh atau bahkan meraih gelar juara?
Saya harus jujur mengatakan bahwa masih belum. Belumlah cukup melihat performa yang masih menyisakan celah yang dapat dimanfaatkan lawan. Paling tidak saya akan mengemukakan 3 (tiga) hal;
Pertama, transisi dari 4-3-3 ke 5-3-2 yang jelas tidak mulus. Saya akan mulai dari sini terlebih dahulu.
Sesudah unggula 1-0 melalui gol Lionel Messi, di babak kedua, Argentina melakukan pergantian strategi. Alejandro Papu Gomez dikeluarkan dan Lisandro Martinez, bek tengah asal klub Manchester United dimasukkan.
Apa yang terjadi di lapangan, Argentina bermain dengan tiga bek tengah sejajar, yang artinya memaksa dua full back, Acuna dan Molina menjadi wing back. Di posisi ini, Argentina jelas kehilangan power di lini sayap, terutama di agresifitas.
Acuna sebagai bek kiri, dipaksa bekerja keras untuk naik turun membantu serangan dan pertahanan. Begitu juga Molina di sektor kanan. Apakah ini berjalan mulus?
Jelas sekali tidak. Sisi kiri dan kanan Argentina menjadi lebih mudah dieksploitasi, karena ketika kelelahan, kedua pemain ini bermain terlalu ke dalam.
Imbasnya, Australia menjadi lebih mudah menguasai bola, dan lebih rajin menyisir kedua sektor ini. Melihat ini, Lionel Scaloni, pelatih Argentina sempat melakukan pergantian pemain, Tagliafico dimasukan lebih dulu menggantikan Acuna, dan Montiel mengganti Acuna.
Cukup berhasil, meskipun area itu belum tertutup rapi. Beruntung bagi Argentina, Australia tidak mempunyai pemain sayap dengan level tinggi, jikalau ada, saya kira, transisi yang gagal ini, bisa membuat Argentina akan dibuat kepayahan.
Perlu hati-hati di laga selanjutnya, karena Belanda suka bermain dengan eksploitasi sayap, jika salah melakukan pendekatan defensif seperti ini, Argentina bisa dibuat kalang kabut oleh De Oranje.
Kedua, lini tengah yang belum sempurna. Rodrigo De Paul, Enzo Fernandez dan McAllister membuat warna berbeda. Jelas kehadiran mereka lebih baik, terutama Fernandez, jika dibandingkan dengan Leandro Paredes.
Fernandez jelas memberikan tambahan tenaga, dan kemampuan untuk mengcover lini pertahanan, dibandingkan dengan Paredes yang jelas lebih stylish tapi lemah dalam bertahan. Meski demikian rotasi pivotal, antara ketiga pemain tetap diharapkan oleh Scaloni untuk mencaja compactness, kerapatan di lini tengah.
Untuk ini, jika jeli diperhatikan, maka khususnya Rodrigo de Paul, jelas beberapa kali out of the position, ketika transisi terjadi, saat menyerang atau bertahan. Ketika itu terjadi, banyak ruang kosong yang diberikan untuk para pemain Australia membuild up serangan mereka, padahal Rodrigo mesti bergotong royong dengan Fernandez menjadi pemutus serangan.
Rantai ini teramat penting, karena ketika itu berjalan, kolektifitas permain Argentina akan terlihat menuju kesempurnaan.
Mengapa ini begitu penting bagi saya? Begini. Bagi saya, keseimbangan atau balance, adalah modal yang mesti dimiliki oleh calon juara. Berkaca pada Perancis di Piala Dunia 2018, maka ini terlihat jelas.
Kita akan melupakan kebintangan Kylian Mbappe bahkan seorang Paul Pogba, karena kita akan mengingat bagaimana Ngolo Kante, menjadi aktor penting menjaga keseimbangan dari lini belakang tengah menuju depan. Keseimbangan yang rasanya masih perlu ditagih dari Argentina, melalui peran para pemain tengahnya, jika ingin menjadi juara.
Ketiga, ketergantungan kepada seorang Lionel Messi. Jika ada yang bertanya kepada saya, apakah salah menggantungkan harap kepada Messi? Saya jelas akan mengatakan, tentu saja tidak. Hanya saya perlu mengingatkan, bahwa ketergantungan kepada Messi bisa menjadi bumerang bagi Argentina.
Maksud saya begini. Kita akan bersorak-sorai ketika bola diberikan kepada Messi, dan Messi bisa meliuk-liuk dengan indah seperti biasa, tetapi bagaimana jika Messi underperform. Maka beban menjadi beran dipikul oleh Messi, dan permainan Argentina tidak bisa berkembang.
Ini bahaya. Lionel Scaloni sebenarnya sudah menyadari hal tersebut. Ada pemain lain yang dia harapkan bisa ikut menanggung beban besar yang dipikul Messi yakni Lautaro Martinez. Sayangnya, entah mengapa, Lautaro tampil buruk di Piala Dunia ini.
Imbasnya, skema 4-3-3 dimainkan dengan Messi menjadi central. Perhatikan gerak Messi yang begitu mobile di posisi ini. Bergerak menjemput bola, menusuk atau membagi bola, peran yang tidak mudah dan menuntut stamina yang luar bisa.
Catat pandangan saya soal ini. Messi bisa kehabisan tenaga, apalagi menghadapi tim yang mengajak bertarung spartan selama 90 menit. Tidak sama dengan Australia yang lebih menyukai bola zonal, daripada terus menerus menyerang.
Saya akan menunggu treatment yang tepat dari Scaloni di poin ini. Ada harapan terhadap Julian Alvarez. Striker muda ini cukup mujarab ketika diminta bermain melebar, atau berduet dalam skema dua striker bersama Messi, hanya saya masih mengkuatirkan pengalamannya. Alvarez tak bisa menjadi pembeda, jika menjadi pendukung, itu yang terbaik untuknya.
Sebenarnya masih ada Paulo Dybala. Entah sampai kapan Scaloni menyimpan Dybala, yang belum diberikan menit bermain. Seharusnya, Dybala bisa dicoba.
Keraguan bahwa Dybala bisa bermain dengan Messi sebenarnya bisa ditepis, karena ketika Lautaro tidak dimainkan, Argentina jelas tidak bermain dengan striker murni lagi.
Tapi, jika Dybala menghadapi masalah kebugaran, maka itu alasan yang lain lagi, karena di babak knockout ini, coba-coba bukanlah sebuah pilihan.
Kita tunggu saja perkembangan penampilan Argentina, dan pendekatan yang aka dilakukan Scaloni saat menghadapi Belanda. Saya yakin akan berlangsung menarik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H