Mohon tunggu...
Arnold Adoe
Arnold Adoe Mohon Tunggu... Lainnya - Tukang Kayu Setengah Hati

Menikmati Bola, Politik dan Sesekali Wisata

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Pelukan Chiellini, Pelukan Kemenangan Italia

7 Juli 2021   05:58 Diperbarui: 7 Juli 2021   08:56 1442
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pelukan Chiellini untuk Alba I gambar : irishtime

Sambil tersenyum Giorgio Chiellini memeluk Jordi Alba saat tos koin sebelum adu penalti. Wajah Alba nampak kalut, terlihat sangat khawatir,  Chiellini berusaha menenangkannya, Chiellini lagi memeluknya hangat. Gestur yang membuat seisi stadion untuk pertama kali bersatu dan bertepuk tangan bersama. 

Ketika Jorginho maju sebagai eksekutor terakhir Italia, Chiellini memeluk Locatelli yang gagal menunaikan tugasnya. Chiellini tak mau melihat eksekusi Jorginho dan tak lama kemudian, Chiellini sudah berlari dengan puluhan orang untuk memeluk Jorginho. Italia lolos ke final Euro 2020.

Kedua pelukan monumental dari sang il capitano, pelukan kemenangan untuk Italia.

Saya kira penikmat bola di seantero bumi setuju bahwa laga semifinal di Stadion Wembley adalah lagi tersulit bagi kedua tim, baik Italia Vs Spanyol. Bukan saja secara taktikal, tetapi secara fisik maupun mental kedua tim memacu diri untuk tampil mungkin lebih dari 100 persen kemampuan mereka.

Kedua pelatih mempersiapkan laga ini dengan matang.  Allenatore Spanyol, Luis Enrique  misalnya yang secara mengejutkan memainkan false nine. Enrique meninggalkan dua striker murninya, baik Alvaro Morata maupun Gerard Moreno di bench.

Siapa yang dimainkan oleh Enrique untuk menggantikan kedua pemain ini? Dani Olmo dan Oryzabal, dua penyerang sayap yang biasanya berperan sebagai supersub, kedua pemain ini  yang memporak-porandakan Kroasia dan Swiss di babak sebelumnya.

Tanpa striker murni, Spanyol bermain dengan pola false nine, tanpa striker dengan mengandalkan pegerakan dinamis dari Olmo, Oryzabal dan Ferran Torres.

Tentu saja ini dapat dimengerti. Tujuan Enrique jelas, menahan laju lini tengah Italia yang selama ini terkenal solid, dan tentunya memastikan bahwa penguasaan bola Spanyol tetap terjaga. Filosofi yang dipegang Enrique nyata; siapa yang memegang bola lebih banyak, dia yang akan menang.

Apakah strategi Enrique ini berhasil? Yup, dapat dikatakan berjalan sempurna, khususnya di babak pertama. Pergerakan gelandang bertenaga Italia seperti Marco Verrati dan Nicolo Barella berhasil dihambat. 

Dari data, diketahui bahwa ball possession Spanyol mencapai 70 persen. Artinya apa, Gli Azzuri yang dikenal atraktif di Euro 2020 menjadi melempem, dan dipaksa El Matador  untuk lebih banyak untuk bertahan.

Jika bicara babak pertama, Roberto Mancini tentu dibuat pusing oleh keadaan tersebut. 

Mancini mungkin juga tidak percaya bahwa shoot on goal timnya nihil, sedangkan Olmo dan Oryzabal bergantian membuat kelabakan duet Chiellini dan Bonnuci di jantung pertahanan Italia yang menyebabkan Donnaruma harus menerbangkan diri menghentikan laju bola tendangan Dani Olmo.

Italia seperti kebingungan di babak pertama.

Jika ditilik, salah satu titik kelemahan Italia di babak pertama khususnya dalam membangun serangan adalah memaksakan pakem kedua penyerang sayap mereka, Lorenzo Insigne dan Fernando Chiesa untuk tetap bergerak dari garis pinggir.

Padahal mesti dimengerti bahwa strategi ini  akan berjalan jika Leonardo Spinazzola masih bisa bermain, tapi cedera tendon Achilles yang memaksa Spinazzola menepi itu,  membuat pakem ini seperti stagnan, tidak berjalan semestinya.

Wingback pengganti Spinazzola, Emerson, yang diharapkan bisa bergerak dinamis, harus diakui tidak memiliki balance yang baik soal defensif dan agresifitas seperti Spinazzola. 

Akibatnya, Italia kebingungan bergerak dari sisi sayap, apalagi Cesar Azpilicueta dan Jordi Alba amat disiplin menjaga area mereka.

Sehabis rehat babak bertama atau selepas dari ruang ganti, Roberto Mancini seperti ingin membuktikan kejeniusannya.

Perhatikan proses gol yang terjadi dari Federico Chiesa di menit ke-60 itu. Ini yang berbeda dari pendekatan Mancini di babak pertama.

Jikalau sebelumnya pergerakan Ciro Immobile selalu berjarak dengan Chiesa atau Insigne, yang kerap bergerak melebar,  maka dalam proses gol ini, ketika counter attack dilakukan Italia, Chiesa sudah bergerak ke tengah bahkan mendekat ke Ciro Immobile.

Il Capitano, Ciorgio Chiellini ( Photograph: Carl Recine/EPA
Il Capitano, Ciorgio Chiellini ( Photograph: Carl Recine/EPA

Italia menuai hasilnya, dalam prosesnya bola memang sudah dihentikan bek tengah Spanyol, Aymerec Laporte, tetapi reboundnya masih bisa dijangkau oleh Chiesa, dan melalui pressing kick cantik, kiper Unai Denis yang sebenarnya nampak lebih banyak santai di babak pertama, berhasil ditaklukkannya.

Sesudah itu, Italia bahkan berbalik menguasai laga. Mancini juga mengubah pola Italia menjadi false nine  dengan menarik Immobile lalu memasukkan Berardi dengan Insigne menjadi titik pusat pivotal.

Giliran Luis Enrique di kubu Spanyol  yang pusing. Dia terpaksa membuat La Furia Roja mengkhianati false nine karena dalam posisi ketinggalan. 

Duet striker yang disimpan oelh Enrique di babak pertama, Alvaro Morata dan Gerard Moreno dimasukkan dalam waktu berdekatan.

Kontra strategi ini untuk beberapa saat belum berhasil, hanya Morata yang lebih cepat, dan pintar dalam penempatan posisi sudah mulai merepotkan lini belakang Italia, meskipun secara permainan, Italia masih percaya diri.

Mancini juga memasukkan Marco Pessina dan Locatelli untuk menjaga kedalaman bertahan Italia, dan saya yakin hal ini membuat pendukung Italia, Azzurini hingga menit ke-80 sudah semakin yakin Italia akan lolos ke babak final.

Akan tetapi sepakbola selalu sulit untuk diduga. Kejadian yang tak diinginkan terjadi bagi Italia, operan satu dua sederhana dari Dani Olmo dan Morata berhasil mengoyak gawang Donnaruma di menit ke-80. Skor berubah menjadi,  1-1.

Tensi laga berubah, Italia tertekan sesudah itu. Kontra strategi dengan mengganti pemain, membuat mereka harus membangun lagi transisi untuk menyerang, ketika pada kenyataannya kepercayaan diri Spanyol semakin meningkat.

Bukan saja dalam waktu tersisa hingga wasit Felix Brych meniup peluit panjang 90 menit, tetapi dalam perpanjangan waktu 1 x 15 menit, Italia benar-benar dibuat menderita oleh Spanyol. Italia dikurung dan dipaksa tak mampu melakukan serangan berbahaya.

Sampai di titik ini, mungkin ada yang sudah bergumam, Italia sudah habis. 

Hanya, mungkin banyak yang lupa bahwa pergerakan pemain Spanyol yang spartan menguasai dan memainkan bola, selalu mempunyai kelemahan yakni, stamina yang cepat terkuras. Dalam beberapa kesempatan, Luis Enrique juga mengungkapkan hal tersebut, menjaga tiki taka terus berjalan beresiko secara stamina. 

Benar. Di babak kedua perpanjangan waktu, Spanyol amat lelah. Sergio Busquets yang menjadi sentral permainan tiki taka dan pergerakan dinamis para pemain La Furia Roja terengah-engah setelah ditarik keluar lapangan. 

Sesudah itu, Italia yang lebih banyak menguasai bola.

Ini nampak memang seperti sebuah drama, ketika kondisi menekan yang saling berganti ini membuat emosi para penikmat bola bergejolak. 

Sebelumnya Spanyol diunggulkan, dan menguasai laga, tapi di sisa 15 menit menuju genap 120 menit, Italia hampir mengakhiri laga lebih cepat.

Jika, sebelumnya Italia yang beruntung tidak kebobolan di 1x15 menit, maka di babak kedua, Spanyol yang beruntung, dan pemenang laga harus ditentukan dari babak adu penalti.  

Di babak ini, saya yakin tak ada satu panditpun di muka bumi yang dapat memastikan siapa yang akan menjadi pemenang. Semua terdiam, dan hanya bisa menunggu dimana ruh keberuntungan itu akan memihak.

Saya sendiri yang sempat tak yakin bahwa Italia mampu melalui babak ini---karena Spanyol sudah lebih dulu berpengalaman melalui adu penalti melawan Swiss, di dalam hati lalu bergumam "Italia akan menang" karena momen monumental yang terjadi di lapangan hijau sebelum adu penalti. 

Pelukan Chiellini untuk Alba I gambar : irishtime
Pelukan Chiellini untuk Alba I gambar : irishtime
Momen ketika kapten, Chiellini dan Jordi Alba berdiri di hadapan wasit, Felix Byrch untuk tos koin, membuat saya yakin, Italia yang akan menang.

Jika harus ada yang paling lelah dalam laga itu, saya kira Chiellini adalah orangnya. Di usia 36 tahun, staminanya tidak bisa dibandingkan dengan darah muda Spanyol seperti Pedri atau Morata sekalipun. Apalagi bersama Bonnuci, Chiellini sibuk menghalu bola sepanjang 120 menit dalam tekanan Spanyol.

Akan tetapi, hal yang membuat menjadi pembeda adalah semangat dan kharisma Chiellini sebagai pemimpin. Dia nampak tersenyum saat tos-tosan itu, bahkan ketika wajah Alba terlihat kalut, Chiellini lalu memeluk Alba.

Seantero Wembley bertepuk tangan di momen itu, dan saya kira itu untuk pertama kalinya pendukung dari kedua tim bersatu untuk gestur humanis itu.  

Kehadiran pemimpin yang berkharisma membuat satu poin lebih bagi Italia. Ketika Manuel Locatelli gagal melakukan tugas sebagai algojo, Chiellinilah yang pertama memeluk, menghibur, menemani sekaligus memompa semangat pemain yang lain.

Saya yakin itulah yang membuat Gianluigi Donnaruma nampak tenang di  bawah mistar, ketika di lain pihak, Unai Denis bergerak tak karuan ketika akan menerima tendangan penalti lawan. 

Saya setuju bahwa kemenangan adu penalti itu berbau keberuntungan, tapi saya juga tak bisa mengelak, bahwa gestur Chiellini sebagai seorang pemimpin saat laga waktu normal dan adu penalti juga menjadi pembeda.

Apapun itu, dapat dikatakan ini adalah sebuah laga yang sangat hebat yang berakhir dramatis. Spanyol sudah tampil maksimal, tetapi Italia lebih siap untuk ke final. Salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun