Selain mendamba agar tim favorit dapat menjadi juara, salah satu yang saya akan nikmati adalah kejutan. Menikmati kedua kutub yang berlawanan itu secara berbarengan terkadang dapat memacu adrenalin sampai di titik tertinggi. Nikmat.
Itulah yang membuat saya memaksa ingatan saya mundur melambung cukup jauh ke perhelatan Piala Eropa 2004 ketika tim Dewa Olympia, Yunani membuat jagat terkejut setelah menjadi juara dengan mengalahkan tuan rumah, Portugal.
Pada 4 Juli 2004 di Lisboa, gol tunggal dari striker, Angelo Charisteas yang membobol gawang Ricardo tak mampu dibalas oleh skuad Portugal yang lebih diunggulkan karena kualitas pemain di dalam tim.
Selain mengandalkan lini serang yang dikoordinir gelandang Barcelona, Deco, Pauleta, dan Cristiano Ronaldo yang masih belia pada saat itu, lini pertahanan de Selecao juga kokoh dengan Ricardo Carvalho, Jorge Andrade, dan Costinha.
Itulah yang membuat pelatih Portugal, Luiz Felipe Scolari nampak tak percaya atas kekalahan tersebut sedangkan pelatih asal Jerman, Otto Rehhagel yang membesut Yunani percaya bahwa Dewa Olympia menaungi tim kelas dua saat itu.
Kelas dua? Ya, saat itu nama-nama seperti Angelos Charisteas, Angelos Basinas, Giorgios Karagounis, Theodoros Zagorakis, dan sang kiper Antonios Nikopolidis yang rambutnya telah memutih, bukan saja tidak dikenal tapi juga nama mereka saja sulit untuk dilafalkan.
Selepas laga tersebut, sang pahlawan, Charisteas menyebut apa yang dilakukannya memang seperti mimpi, sesuatu yang tidak pernah dibayangkannya.
"Sebagian besar mimpi tidak akan pernah diceritakan kepada orang. Namun, mimpi saya sejak pertama kali bermain sepak bola adalah bisa mencetak gol pada final Piala Eropa. Hal ini karena saya melihat Marco van Basten mencetak gol pada final 1988. Setelah 57 menit, semuanya menjadi kenyataan," kata Charisteas.
Sayangnya seperti sebuah periode yang lama untuk berulang, kisah seperti dongeng Olympia itu hingga 2016 tidak terjadi lagi. Setelah kejutan Yunani, tim mainstream kembali membuat sangat sempit ruang kejutan itu terjadi lagi.
La Furia Roja, Spanyol bahkan dua kali menjadi juara pada 2008 dan 2012 setelah gaya permainan tiki-takanya bukan saja menghipnotis penikmat bola tapi mampu merajai Eropa.