Otto van Bismarck (1815-1898) mengatakan bahwa politics is the art of the possible, politik adalah seni kemungkinan, apa saja mungkin terjadi di dalam politik.
Mungkin, begitulah cara Sekretaris Dewan Pimpinan Daerah (DPD) PDI Perjuangan Gembong Warsono melihat bahwa tidak ada yang mustahil di dunia politik. Termasuk PDIP akan mencalonkan Gubernur Anies Baswedan di Pilkada Jakarta mendatang.
"Ya politik itu kan tidak ada yang tidak mungkin, ini kan soal politik," ucap Warsono, Kamis (4/2/2021), seperti dikutip Tribunnews. com.
Saya sendiri juga berusaha untuk memahami maksud dari politisi ini, meski harus diakui bahwa logika yang perlu dibangun untuk memahami ini tidaklah mudah.
Misalnya, bagaimana mungkin Anies yang selama ini adalah politic enemy bagi PDIP, malah akan dirangkul bahkan menjadi ujung tombak kekuatan bagi PDIP di perhelatan Pilkada atau Pilpres mendatang.
Akan tetapi saya juga harus mafhum, bahwa realita politik menunjukkan bahwa itu mungkin terjadi. Apa contohnya? Bergabungnya Prabowo Subianto dan Sandiagao Uno di kabinet Jokowi sekarang.
Hampir tidak dapat dipercaya, rivalitas kuat yang terjadi di Pilpres 2019 kemarin mencair secair-cairnya saat ini.
Jadi ini berarti kemungkinan bagi Anies untuk digandeng PDIP bisa saja terjadi.Â
Hanya pertanyaan selanjutnya  adalah untuk apa? Apakah PDIP kekurangan kader yang dapat diusung?
Untuk melihatnya, mungkin perlu melihat seperti bandul timbangan, dimana pemilihan Anies ini saling terkoneksi dengan kepentingan politik lainnya, atau saling berhubungan.
Salah satu yang kemungkinan yang dapat disodorkan adalah PDIP menggandeng Anies untuk Pilkada, tapi bukan untuk Pilpres.
Logikanya seperti ini. Anies akan diusung PDIP di Pilkada DKI nanti yang waktunya bersamaan dengan Pilpres, dengan catatan Anies tak maju di Pilpres.
Ini yang namanya negosiasi politik. Hal ini terasa mungkin karena relasi PDIP dan Gerindra cukup kuat, dengan hitung-hitungannya adalah Prabowo akan didorong maju ke Pilpres sedangkan Anies ditahan untuk tetap di DKI. Minimal untuk satu periode.
Secara strategi politik, kemungkinan ini bisa diambil oleh PDIP untuk meminimalisir  biaya politik untuk kebutuhan konsolidasi dan sebagainya.
Salah satu variabelnya adalah Anies nampak akan didukung oleh Nasdem, dan juga Gerindra. Meski relasi dengan Gerindra akhir-akhir mengendur.
Jika diperhatikan dari persona Anies, maka ini juga mungkin. Anies hingga hari ini adalah non partisan.
Membuka diri untuk digandeng dan dirangkul oleh siapa saja. Ini memang keuntungan oleh Anies, selain nilai elektabilitas yang dipunyainya. Anies memang menggoda untuk dijadikan komoditas politik unggulan.
Jadi desainnya adalah Prabowo-Puan untuk Pilpres 2024, dan Anies tetap untuk Pilkada 2024.
Pertanyaan paling pamungkas jika Anies dirangkul PDIP adalah dimana posisi Risma nantinya?
Ada beberapa kemungkinan untuk melihatnya. Bisa saja Risma dipasangkan dengan Anies di Pilkada DKI nanti---meski kemungkinannya amat kecil, atau tetap menjadi menteri jika calon PDIP terpilih nantinya.
Mengapa Risma dikesampingkan? Saya kira ada kemungkinan karena PDIP melihat gesekan yang terlalu sering jikalau Risma disodorkan, Risma menjadi sosok yang nampak belum diterima oleh pihak-pihak tertentu, dan ini membuat biaya politik PDIP akan semakin banyak untuknya.
Akan tetapi sekali lagi politics is the art of the possible. Diskursus ini bisa menjadi sebuah kebenaran, tapi bisa juga tidak. Perhelatan Pilpres masih jauh, sehingga kemungkinan ini akan bergerak dengan begitu dinamisnya.
Apapun bisa terjadi. Kita tunggu saja.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI