PKS lalu kembali merespon. Melalui Ketua DPP PKS Bukhori Yusuf, dijelaskan bahwa PKS hanya sedang melakukan fungsi pengawasan terhadap kinerja menteri dan tidak elok, jika harapan Jokowi terhadap Risma sebagai menteri hanya berakhir di level walikota.
"Pekerjaan yang tidak bermutu untuk ukuran seorang menteri," ujar Bukhori.
"Kasihan presiden yang sudah memilih menteri dengan ekspektasi yang sangat tinggi eh ternyata hanya berkelas wali kota" tambah Bukhori.
***
Jika kita lihat dari kacamata relasi legislatif dan eksekutif , bisa benar yang dikatakan oleh PKS bahwa ada fungsi pengawasan yang dilakukan dan itu sah-sah saja.
Hanya memang persoalannya, terlihat jelas bahwa fokus PKS memang terlalu besar untuk Risma, dan itu diungkapkan lewat publik, tidak melalui mekanisme rapat dan sebagainya.
Inilah yang membuat PDI-P merasa perlu turun tangan untuk membantah, membela dan sebagainya.
Apa yang sebenarnya terjadi? Publik sepertinya perlu mafhum bahwa realitas politik bahwa Pilkada DKI 2022 sudah semakin dekat membuat parpol dan politisi akan saling cari atau curi panggung.
Artinya, relasi legislatif dan eksekutif yang dimaksudkan oleh PKS, bisa diduga tidak murni lagi, malah melihat respon PDI-P maka yang terlihat adalah mulai munculnya rivalitas panas antar keduanya menuju Pilkada DKI.
Dalam realitas politik ini, publik akan sering melihat kata-kata, wacana dan energi menjadi amunisi untuk menggempur lawan politik. Apa pun yang dilakukan lawan politik selalu tiada yang benar.
Politikus Amerika Serikat, Hubert Humprey (1911-1978) pernah mengatakan seperti ini; "Berbuat salah itu manusiawi. Namun, menyalahkan orang lain itu adalah (watak) politik".