Kali ini giliran politisi muda PSI, Tsamara Amany membahas polemik Nadhatul Ulama (NU), Muhammadiyah yang dianggap elitis daripada FPI yang merakyat oleh Komika, Pandji Pragiwaksono.
Melalui dialog virtual di akun Youtube Tsamara  & The Profesor, polemik ini dibahas dengan apik dan tuntas oleh Tsamara yang ditemani Prof Ismail Fajrie Alatas dengan tajuk "NU jauh dari Kata Elitis".
Konteks dialog ini lalu dijelaskan oleh keduanya sedikit dipersempit lebih kepada NU karena pengalaman keduanya bersama NU.
Pendekatan yang dipakai Tsamara juga boleh dikatakan komprehensif, bahkan tidak nampak seperti justifikasi personal, karena menggunakan pengalaman Tsamara bersama nadhliyin yang disandingkan dengan pengalaman etnografi Fajrie Alatas  dengan Kiai NU.
Pengalaman hidup dengan Kiai NU dan nadhliyin inilah yang menjadi dasar dan fokus dari dialog ini.
Salah satu cerita dari Prof Alatas yang menarik adalah soal pengalamannya tinggal bersama Habib Luthfi bin Yahya selama bertahun-tahun.
Fajrie Alatas menjelaskan bahwa gerbang dan pintu rumah Kiai NU ini selalu terbuka bagi masyarakat pada umumnya. Â
Fajrie Alatas juga melihat bahwa setiap orang datang dengan membawa segala persoalan kepada para Kiai, dan membahas banyak hal dengan setiap orang, dan dilakukan dengan begitu cair.
"Setiap orang boleh masuk, toilet bisa digunakan. Kopi, makan disediakan. Sampai-sampai privasi keluarga hampir tidak ada karena begitu menyatunya dengan masyarakat" cerita Fajrie Alatas.
Menjadi menarik ketika presiden suatu kali datang berkunjung, dan gerbang itu tidak bisa tertutup karena saking lamanya terbuka dan sudah berkarat.
Menurut Fajrie, Kedekatan dan mengakar ke masyarakat inilah yang membuat NU menjadi kuat.
"Tidak ada yang disebut elitis itu. NU menjadi kuat karena dia berakar dan menjadi bagian dari masyarakat" kata Prof Fajrie Alatas.
Bertambah menarik, Â ketika dialog ini juga membahas tentang konteks asli Tamrin Tomagola yang mengamati secara sosiologis bahwa FPI di Jakarta---daerah miskin kota, lebih merakyat daripada NU dan Muhammiyah.
Ada 2 poin menarik yang dibahas disini;
Pertama, Fajrie mengatakan bahwa jika benar memang demikian, harus diakui bahwa pendekatan yang dipakai FPI tidak berdiri sendiri, tidak lahir sendiri, namun bisa dikatakan berasal atau berorientasi kepada tradisi NU.
Hal ini menurut Fajrie dimungkinkan karena memang ada tokoh-tokoh FPI yang berasal dari NU atau Nadhliyin, sehingga identitas yang ditunjukan---buka rumah dsb bisa dikatakan meniru cara Nahdliyin.
Kedua, di Jakarta, dengan karakteristik FPI yang ada dengan kiai yang berasal dari Betawi bisa saja lebih memahami persoalan di Jakarta, sehingga lebih mudah melakukan pendekatan.
Ini selaras dengan penjelasan Tamrin Tomagola yang menggarisbawahi bahwa pernyataannya itu berlaku di Jakarta, tetapi bukan berarti berlaku disemua tempat apalagi di pedesaan Jawa.
Tsamara lalu seperti memberi konklusi bahwa pernyataan tentang NU yang elitis terlalu simplitis, tanpa pemahaman yang komprehensif.
"Orang-orang ini hanya melihatnya dari jauh, tanpa betul-betul memahaminya" kata Tsamara.
Di akhir dialog, Tsamara mengeluarkan pernyataan yang positif.
Menurut Tsamara, statement Pandji dapat menjadi sebuah diskursus yang bisa mengajak untuk berpikir tentang persoalan negara, dan lebih daripada itu bisa memberikan pencerahan kepada yang belum paham, apa yang sebenarnya yang terjadi di kehidupan NU.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H