Menurut Fajrie, Kedekatan dan mengakar ke masyarakat inilah yang membuat NU menjadi kuat.
"Tidak ada yang disebut elitis itu. NU menjadi kuat karena dia berakar dan menjadi bagian dari masyarakat" kata Prof Fajrie Alatas.
Bertambah menarik, Â ketika dialog ini juga membahas tentang konteks asli Tamrin Tomagola yang mengamati secara sosiologis bahwa FPI di Jakarta---daerah miskin kota, lebih merakyat daripada NU dan Muhammiyah.
Ada 2 poin menarik yang dibahas disini;
Pertama, Fajrie mengatakan bahwa jika benar memang demikian, harus diakui bahwa pendekatan yang dipakai FPI tidak berdiri sendiri, tidak lahir sendiri, namun bisa dikatakan berasal atau berorientasi kepada tradisi NU.
Hal ini menurut Fajrie dimungkinkan karena memang ada tokoh-tokoh FPI yang berasal dari NU atau Nadhliyin, sehingga identitas yang ditunjukan---buka rumah dsb bisa dikatakan meniru cara Nahdliyin.
Kedua, di Jakarta, dengan karakteristik FPI yang ada dengan kiai yang berasal dari Betawi bisa saja lebih memahami persoalan di Jakarta, sehingga lebih mudah melakukan pendekatan.
Ini selaras dengan penjelasan Tamrin Tomagola yang menggarisbawahi bahwa pernyataannya itu berlaku di Jakarta, tetapi bukan berarti berlaku disemua tempat apalagi di pedesaan Jawa.
Tsamara lalu seperti memberi konklusi bahwa pernyataan tentang NU yang elitis terlalu simplitis, tanpa pemahaman yang komprehensif.
"Orang-orang ini hanya melihatnya dari jauh, tanpa betul-betul memahaminya" kata Tsamara.