Rasanya tak akan nyaman berada dalam situasi Komika, Pandji Pragiwaksono saat ini. Pandji yang ceria, lepas dan gembira kali ini mungkin akan lebih memilih berdiam gara-gara kepleset menyampaikan saduran opini dalam salah satu acara vitualnya.
Pandji tak mampu berbicara banyak lagi. Kutipan pernyataan Sosiolog, Tamrin Tomagola yang diakunya sebagai dasar penyataan yang menyebut NU, Muhammadiyah elitis dan FPI merakyat telah diklarifikasi tuntas.
Adalah Tamrin Tomagola yang mengklatifikasi itu sendiri. Tamrin menjelaskan bahwa konteksnya pada saat itu adalah hasil pengamatan sosiologis  di rakyat kumuh miskin Jakarta, bukan secara nasional. Â
Lalu untuk pemilihan diksi elitis dan merakyat, Tamrin mengaku hal itu ditanyakan langsung pada Pandji---berarti Tamrin merasa tak pernah mengatakannya.
Kesalahan pemilihan diksi memang menjadi polemik, karena kader NU dan Muhammadiyah tak terima karena tidak pernah merasa demikian.
Elitis terkesan jauh, padahal dalam konteks ini hanya masalah keterbatasan di salah satu tempat.
Jika ini ibarat pertandingan tinju, maka Pandji sudah tersudutkan. Jab, hook sudah diterima, Pandji hanya bisa bertahan, menunggu, hingga lawan lelah, atau dan berharap agar jangan terus merangseknya.
Pandji hanya bisa bertahan, mencoba untuk tetap berdiri, tak melawan, tak menyerah. Dalam salah satu postingannya di Twitter, Pandji sempat defensif, dia mengatakan bahwa dirinya adalah salah satu yang pro regulasi ganja, dan pro regulasi prostitusi, ini berarti dia tidak berada di pihak FPI.
Jika ditilik, argumen ini terbilang lemah, karena polemik ini sudah masuk dalam frasa per frasa, bukan lagi konteks. Pandji perlu kerja keras untuk menjelaskan, jika tak sanggup, ya itu, mengharap agar lonceng tanda ronde usai berbunyi.
Di tengah polemik ini, politisi PDI-P, Budiman Sudjatmiko ikut berkomentar. Meredakan. Budiman menyarangkan agar Pandji tak usah dilaporkan ke polisi.
"Pernyataan @pandji sangat mudah dibantah & harus dibantah..Sangat retoris & menunjukan keberpihakan-nya secara sadar. Meski mengutip pendapat orang lain, dia sdh mengambilnya sbg pendapatnya JUGA. Itu haknya. Sebaiknya dibantah. Tp tak usah diadukan ke polisi" tulis Budiman di akun twitternya pada 21 Januari lalu.
Budiman lalu mencoba lebih detail menjelaskan maksudnya di cuitan berikutnya.
"@pandji  bukan orang bodoh jd layak diajak berdebat. Spt yg pernah kukatakan: di negara demokratis yg matang, argumen yg cerdas atas opini apapun jgn dipidanakan. Jika lantas argumennya terbukti tak cerdas, itu jg bukan kejahatan, cuma menunjukkan kualitasnya.."
Mungkin begini maksud Budiman. Budiman berpikir bahwa ini soal tarung opini tidak lebih. Ketika Pandji menggunakan hasil pengamatan Tamrin dan dijadikan rujukan maka itu sudah menjadi pendapatnya secara pribadi.Sekarang, ayok, didebatkan.
Budiman berpikir akan lebih baik jika ruang diskursus itu diperlebar, sehingga opini tidak perlu dipidanakan. Apabila di ruang diskursus itu Pandji tidak mampu mempertahankan pendapatnya, maka menurut Budiman, anggap saja Pandji tidak mampu.
Hingga sekarang harapan Budiman itu tidak terlaksana. Meski defensive, tapi Pandji tidak agresif defensif, tidak membela atau mempertanggungjawabkan poin yang dimaksudnya.
Harapan Budiman agar pendapat itu menjadi pendapat Pandji dan dijelaskan secara komprehensif tidak terjadi.
Mengapa tidak terjadi ruang diskursus yang diinginkan Budiman? Paling tidak ada dua hal yang dapat diduga. Pertama, Â kekeliruan terhadap interpretasi parsial yang menjadi kontroversi, telah disadari oleh Pandji.
Pandji tak punya amunisi kuat untuk menjelaskan tentang NU dan Muhammadiyah yang elitis menurut pendapatnya karena dia telah gagal memahami "konteks" dan akhirnya melemahkan jika masuk di ruang argument.
Kedua, ruang kontroversi di dunia maya yang berubah menjadi riuh, membuat Pandji merasa tidak akan efektif jika dia membeberkan perspektifnya terhadap opini yang dipersoalkan.
Memang perlu kehati-hatian soal ini. Kompleksitas terjadi, karena ini bukan saja soal dituduh memihak FPI---yang sudah dibubarkan pemerintah, tetapi juga label-label yang mungkin tanpa segaja diciptakan oleh  Pandji.
Dugaan saya, Pandji---jika tak meminta maaf, akan tetap pasif dan membiarkan isu ini mereda sendiri. Itu pilihan yang bijak, minimal hingga saat ini.
Polemik ini mungkin membuat kita belajar bahwa untuk beberapa hal sensitif, pengatahan tentang konteks terhadap teks, menjadi amat penting.
Jika itu diabaikan, maka yang terjadi pada Pandji bisa terjadi pada kita. Opini terbentuk, malah akan melahirkan diksi-diksi yang sama sekali keluar dari konteks yang dimaksud.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H